9
Setelah dibujuk setengah mati, akhirnya Deni mau juga dibawa ke rumah sakit. Dea membawanya ke rumah sakit yang ada di kota.
Jujur saja, Deni memang tak merasakan apa-apa di kakinya. Hanya saja lukanya malah semakin melebar. Hal itu membuat Dea cemas dan memaksa Deni ke rumah sakit.
Mereka hanya berdua saja ke kota. Dan yang mengendarai sepeda motor adalah Dea. Sementara Deni dibonceng, karena Dea tak mau Deni kenapa-napa kalau terlalu banyak beraktivitas berat.
Sesampainya di rumah sakit, Deni langsung ditangani oleh dokter. Dan kata-kata dari sang dokter membuat Dea shock.
"Kenapa Pak Deni baru dibawa ke rumah sakit sekarang? Luka di kakinya cukup parah. Memang tidak terasa sakit, tapi ada racun di peluru tersebut," kata seorang dokter laki-laki berusia paruh baya.
Dea hanya bisa merutuki diri sendiri. Ia menunduk dalam-dalam sambil meremas tangan kananya kuat-kuat.
Kemudian Dea mengangkat kepalanya lalu bertanya. "Seberapa bahayanya racun tersebut, Dok?"
"Racun tersebut bukan sembarang racun. Racun tersebut memberikan efek tidak terasa sakit sama sekali meskipun penderita mengalami luka serius," kata dokter tersebut sambil melipat tangannya di atas meja.
Saat ini mereka sedang mengobrol di ruangan sang dokter.
"Mirip bius?" tanya Dea.
"Iya. Tapi bedanya, racun ini akan bekerja merusak seluruh bagian tubuh korban. Lalu lama-lama membusuk," kata sang dokter.
Dea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Matanya sudah terasa panas, tapi ia mencoba sekuat tenaga agar air matanya tidak tumpah di depan sang dokter.
"Tapi itu masih bisa disembuhkan, kok. Melalui operasi. Kami akan mengeluarkan racun yang ada di tubuh Pak Deni."
Setelah dibanting ke jurang terdalam, akhirnya Dea diberikan harapan. Dalam hati ia mengucap syukur. Dan semoga saja proses operasi berjalan lancar.
***
Beberapa kali Dea menghubungi ibunya, tapi tidak diangkat. Lalu ia mengirimkan pesan teks dan juga belum dibalas.
Dea memberitahu keadaan ayahnya kepada sang ibu. Biar bagaimana pun, ibunya berhak tahu. Karena saat ini Dea sedang bersama ayahnya. Otomatis semua tentangnya atau tentang ayahnya, sang ibu wajib tahu.
Setelah satu hari di rumah sakit dan mengurus berkas-berkas yang sangat banyak. Sekarang Deni sedang menjalani operasi. Untung saja Deni memiliki BPJS kesehatan, sehingga biaya operasi tidak terlalu mencekik lehernya.
Dea menunggu proses operasi dengan perasaan was-was. Takut jika kemungkinan terburuk akan terjadi.
Dea duduk di bangku panjang rumah sakit sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ia memejamkan matanya kuat-kuat sambil memijit pelipis yang berdenyut.
Sementara itu di lain tempat, Anis baru saja selesai memproses berkas nasabah. Ketika ia melihat ponselnya dan membaca pesan dari Dea, ia merasa sangat khawatir.
Bukan karena ia masih mencintai Deni, melainkan hanya perasaan khawatir atau simpati sesama manusia.
Setelah istirahat siang, Anis langsung menelepon Dea. "Di rumah sakit mana, De?"
"Rumah Sakit Mutiara, Mak," jawab Dea dari seberang sana. "Sekarang baru selesai operasi, Ayah masih pingsan," beritahunya.
"Jaga kesehatan ya, De. Mamak nggak mau Dea juga sakit," kata Anis lalu mengunyah menu makan siangnya. Karena cacing di perutnya yang sudah meronta-ronta minta jatah, akhirnya ia terpaksa makan sambil menelepon. "Barusan Mamak kirim uang untuk biaya darurat," kata Anis sambil meraih botol minumnya yang ada di atas meja.
"Iya, Mak. Makasih. Mamak juga jaga kesehatan, jangan sampai lambungnya kambuh," jawab Dea.
***
Sudah dua hari Deni dirawat di rumah sakit. Dea hanya sendirian di sini. Ibunya berada jauh di kota Jambi. Kalau saja ibunya sedang libur, atau jarak antar kota tidak terlalu jauh, pasti Dea sudah meminta ibunya untuk datang barang sebentar.
Kondisi Deni memang berangsur-angsur membaik. Kata dokter, besok Deni sudah boleh pulang. Dengan catatan, harus rajin kontrol seminggu sekali.
Saat Dea hendak menuju kantin rumah sakit, tiba-tiba saja di koridor ia berpapasan dengan Herman.
"Kok? Kapan datang?" tanya Dea bingung. Pasalnya ia tidak memberi tahu Herman kalau ayahnya dirawat di sini. Tapi bagaimana ceritanya Herman bisa sampai di sini?
"Barusan sampai. Tuk Deni gimana? Udah baikan?" tanya Herman sambil membawa sebuah plastik di tangan kanannya.
"Sudah. Besok sudah boleh pulang, kok. Ngomong-ngomong, tau dari mana kalau Ayah dirawat di sini?" tanya Dea seraya menepi karena ada pasien menggunakan kursi roda yang lewat.
"Dari Tuk Deni," jawab Herman. "Kamu mau kemana?" tanyanya.
"Ke kantin. Kalau gitu kamu langsung aja ke kamar Ayah. Aku mau beli sarapan dulu," kata Dea.
Setelah memberi tahu kamar di mana ayahnya dirawat, Dea langsung bergegas menuju kantin.
Sementara itu, Herman pun langsung menuju kamar Deni. Karena rumah sakit ini terlalu asing baginya, ia harus bertanya ke beberapa orang untuk menuju kamar Deni.
Sesampainya di kamar Deni, guru bela diri sekaligus ayah angkatnya itu sedang membaca sebuah koran. "Sama siapa, Man?" tanya Deni sambil melipat kembali korannya.
"Sendiri, Tuk," jawab Herman.
Herman duduk bersila di lantai yang beralaskan tikar plastik setelah menyalami Deni. Kamar rawat inap Deni bukan kamar VIP, sehingga bagi sanak saudara atau siapapun yang menjaga harus duduk atau tidur di lantai. Tidak ada sofa di sini.
"Aku bawa buah, Tuk. Datuk, mau?" tanya Herman sambil mengeluarkan buah-buahan yang ia bawa. Ada jeruk, strawberry, apel dan pir.
"Nanti aja, Man. Belum sarapan soalnya. Sarapannya lagi dibeli Dea di kantin," kata Deni dan diangguki oleh Herman.
"Kaki Datuk nggak sakit sama sekali?" tanya Herman heran.
"Enggak," jawab Deni santai. Kakinya memang tidak sakit sama sekali.
"Kok bisa, ya? Ramuan apa yang dipakai Wak Sobri? Aneh bin ajaib. Biasanya dimana-mana orang kalau mau mencelakai lawan, pasti milih cara yang sangat menyiksa. Lah ini ... masa nggak ada rasa sakitnya sama sekali?" kata Herman sambil berfikir keras. Siapa tahu ia pernah mendengar tentang ramuan aneh tersebut. Tapi nihil, ia tak mengingat apa-apa. Pertanda kalau memang ia tak pernah mendengar ramuan aneh itu sebelumnya.
Begitupun dengan Deni. Ia menggeleng pelan. Karena ia sendiri pun tidak tahu. Memang ia sepuh, banyak makan asam garam tapi bukan berarti ia mengetahui semuanya, bukan? Pasti ada satu atau beberapa hal yang ia pun tak tahu.
"Aku jadi penasaran," gumam Herman. "Aku bakal cari tau, Tuk. Penasaran, soalnya," kata Herman lagi.
Dan lagi-lagi hanya diangguki pelan oleh Deni. Ia tak tahu harus merespon bagaimana lagi.
Tak lama Dea pun datang dengan membawa tiga mangkok bubur ayam. Lalu mereka menyantap sarapan secara bersama-sama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top