8
Sejak makan malam kemarin, Deni lebih sering membahas hal tentang Herman kepada Dea. Tentu saja hal tersebut membuat Dea malas.
"Herman itu yatim piatu. Orang tuanya sudah meninggal," kata Deni di tengah-tengah aktivitas menyemprot hama di kebun.
Dea hanya diam saja sambil menunggu ayahnya melanjutkan ucapannya. Ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman kacang panjang.
"Dia itu baik. Sopan. Dan juga pintar." Jeda beberapa detik. Deni melihat ke arah putrinya yang sedang mencabut rumput sambil memperhatikannya. "Rencananya tahun ini dia mau lanjut kuliah. Tapi gagal dapat beasiswa. Katanya, dia mau daftar lagi tahun depan," lanjutnya.
"Ooo .... Gitu?" kata Dea sambil menganggukkan kepalanya. Karena jujur saja, Dea tidak tahu harus merespon bagaimana.
Lalu sorenya, Deni kembali membahas Herman. "Masak yang banyak ya, De. Sekalian ngajak Herman makan malam di sini," kata Deni sambil mengaduk kopi yang baru ia beri air panas.
"Kayaknya ayah ada sesuatu sama Herman. Sayang banget," sahut Dea sambil mengiris bawang merah. "Mau ayah jadiin anak angkat secara legal? Terus dimasukin KK?" ujar Dea lagi sambil tertawa kecil.
Mau ayah jadiin mantu.
Ingin sekali Deni berkata seperti itu, tapi ia tak memiliki keberanian. Takut menyinggung perasaan Dea. Biar bagaimana pun, ia sangat menghargai perasaan anaknya. Ia tak berniat memaksa Dea untuk menikah dengan Herman.
"Bukan gitu," jawab Deni. "Herman kan murid ayah," lanjutnya. Ia lalu menyeruput pelan kopi yang masih panas.
Dea tersenyum lebar ke arah Deni. Ia suka ayahnya sekarang mulai hangat. Tidak sedingin kemarin. Sepertinya kebersamaan mampu melelehkan dinding es milik Deni. Deni sekarang sudah mulai banyak bicara.
"Kamu sudah punya pacar?"
Pertanyaan Deni membuat Dea kaget. Ia nyaris mengiris tangannya sendiri. Tapi untung saja itu tidak terjadi.
"Belum, Yah," jawab Dea sambil menatap ayahnya bingung.
Deni mengangguk pelan. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk bertanya pertanyaan sensitif kepada Dea.
"Kenapa, Yah?" tanya Dea sambil terus menatap ayahnya. Ia benar-benar tidak dapat membaca pikiran ayahnya.
"Mau nggak kalau sama Herman?" tanya Deni ragu-ragu.
Sontak saja pertanyaan Deni membuat Dea kaget dan tersedak ludahnya sendiri. Ia terbatuk-batuk hebat.
Dengan sigap ia mengambil minum lalu meminumnya pelan-pelan. Dea benar-benar shock. Tidak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu. Walaupun sebelumnya sang ayah sudah memberi kode, mulai dari membicarakan soal Herman yang menurut Dea tidak menarik, tapi ia terpaksa harus mendengarkan untuk menghargai sang ayah. Tapi jujur, saat itu Dea merasa biasa saja dan tak merasa kalau itu adalah sebuah kode.
Sementara itu, melihat reaksi Dea, Deni hanya bisa berdehem untuk menetralisirkan rasa cangungnya.
Setelah tenang, Dea langsung menjawab pertanyaan ayahnya dengan tegas. "Dea nggak suka sama Herman, Yah. Saat ini Dea lagi suka sama orang lain. Kami lagi dekat. Maksudnya, sekarang kami lagi proses pendekatan. Jadi tolong, ayah jangan paksain Dea untuk sama orang pilihan ayah. Dea punya pilihan sendiri," kata Dea tegas.
Jujur saja, Herman bukanlah laki-laki idaman Dea. Selain itu, Herman juga seorang Cindaku. Dea tidak suka itu. Ia tidak mau mempunyai seorang kekasih seorang Cindaku.
Deni hanya bisa mengangguk kikuk. Ia baru menyadari kalau tindakannya adalah gegabah dan bodoh.
Untung, belum ngomong sama Herman, pikir Deni.
"Ayah mau ke depan. kamu lanjutin aja masaknya," kata Deni sambil berlalu dengan membawa gelas kopinya yang masih separuh.
***
"Herman, mau kemana kau?" tanya Retno saat melihat Herman jalan sambil menunduk.
Merasa ditanya, Herman langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Retno. Retno sedang ada di teras rumahnya. "Ke rumah Tuk Deni, Mak," jawab Herman. "Mak lagi ngapain? Nyari kutu?" tanya Herman saat melihat Retno memakai sisir kecil sambil menampung hasil sisiran menggunakan kertas.
"Bukan. Mamak nggak punya kutu," sanggah Retno. "Mamak lagi ngerontikin ketombe. Ngomong-ngomong sini, lah, dulu kau! Mamak mau ngomong!" kata Retno sambil melambaikan tangannya, pertanda menyuruh Herman mendekat.
Mau tak mau Herman pun mendekat. Ia lalu duduk lesehan di lantai, bersebelahan dengan Retno. "Ada apa, Mak? Kayaknya penting," kata Herman.
"Anu ... itu si Dea. Sekarang sudah besar dia. Cantik betul, lah. Nggak nyangka Mamak kalau itu anaknya Tuk Deni. Nggak mirip. Lebih mirip ke mamaknya," kata Retno penuh semangat. "Kau masih ingat nggak si Anis, mamaknya Dea?" tanya Retno dan diangguki oleh Herman.
"Berapa umurmu dulu? Waktu mamaknya Dea kabur? Lima atau enam?"
"Enam kayaknya, Mak," kata Herman.
"Bodohnya si Anis itu ninggalin Tuk Deni. Mamak jamin, pasti sekarang si Anis itu menyesal dia. Makanya dia nyuruh Dea ke sini. Udah gitu mereka rujuk," kata Retno sambil menepuk-nepuk pahanya karena saking semangat bergosip. "Udah kebaca taktik si Anis," lanjutnya. Ibu Batak satu ini kalau sudah bergosip sangat antusias sekali.
Herman hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum kaku. Entah mengapa, hati kecilnya mengatakan kalau semua kata-kata Retno adalah omong kosong. Pasalnya selama ini, Retno terkenal sebagai tukang gosip alias gibahers.
"Kau kenapa geleng-geleng? Mau ngomong kalo Mamak ini tukang ngibul? Tukang gosip?" tanya Retno sambil menepuk pelan bahu Herman. "Kau dengar ya, Man. Mamak ini ngomong yang sebenarnya. Kau tengok lah besok. Pasti yang Mamak omong jadi kenyataan," kata Retno penuh percaya diri.
"Herman mau pamit lah, Mak, ya. Mau lanjut ke rumah Tuk Deni. Sebentar lagi magrib," kata Herman. Ia hendak berdiri tapi ditarik lagi oleh Retno untuk kembali duduk.
"Mau apa kau ke sana?" tanya Retno curiga. "Jangan-jangan kau mau ngapelin si Dea Dea itu, kan? Ngaku sama Mamak!" tuduh Retno sambil menunjuk-menunjuk Herman sambil tersenyum misterius.
Melihat itu Herman jengah sekali. Kalau bukan orang tua, sudah ia maki-maki dari tadi.
Memang emak-emak kalau sudah bergosip, bikin orang pusing.
"Bukan, Mak. Herman mau latihan silat," kata Herman sambil membuang muka ke depan. Ia tidak berdusta, karena ia memang akan berlatih silat. Menggantikan hari esok, karena esok Deni akan ada urusan ke kota bersama Dea.
"Sudah dulu, ya, Mak. Matahari hampir tenggelam." Herman langsung berlalu setelah berpamitan secara paksa.
"Titip salam ya, Man. Kau tau lah buat siapa," teriak Retno saat Herman sudah agak jauh.
Namun tidak dijawab apa-apa oleh Herman. Ia pura-pura tidak mendengar kata-kata Retno.
Herman melangkahkan kakinya lebar-lebar. Pasalnya hari sudah semakin menggelap. Ia harus segera sampai di rumah Deni.
Tadi Deni meneleponnya untuk datang ke rumah sebelum magrib. Namun di tengah perjalanan ia harus berhenti mendengarkan Retno bergosip. Alhasil ia telat sampai di rumah Deni.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top