6

Deni sedang duduk di teras rumah sambil menghisap rokok. Ia baru pulang dari rumah sakit mengurus jenazah Sobri dan teman-temannya. Ia yang menjabat sebagai kepala dusun, berstatus sebagai saksi. Dan tadi sudah ditanya-tanyai oleh polisi yang bertugas. 

Sementara itu, diam-diam Dea menghampiri ayahnya. Ia ingin meminta kejelasan. Di tengah suara bising binatang malam, Dea berdehem. Memberikan kode bahwa ia ingin duduk di sebelah ayahnya. 

"Duduk aja," kata Deni tanpa menoleh ke arah Dea. 

Pelan-pelan Dea duduk di kursi kayu panjang di sebelah ayahnya. "Dea mau tanya," gumam Dea nyaris tanpa suara. 

Deni menarik nafas berat, ia menginjak puntung rokoknya yang tinggal sedikit. Lalu kemudian mulai berkata. 

"Ayah sama Mamak kamu pisah gara-gara Ayah punya ilmu ini," kata Deni sambil melihat lurus ke depan. "Mamak kamu nggak mau punya suami jadi-jadian. Waktu kamu berusia tiga bulan, Mamak kamu bawa kamu kabur dari rumah ini."

"Ayah nggak nyari?" tanya Dea sambil memandang ayahnya lekat-lekat. 

"Nyari. Tapi pas ketemu, Mamak kamu kekeuh minta pisah. Ya, Ayah nggak bisa berbuat banyak. Akhirnya, Ayah dan Mamak kamu pisah."

Dea mendengarkan sambil menahan nafas, karena ia sungguh tidak ingin terlewatkan barang satu kata pun. Ia terus melihat ke ayahnya tanpa berkedip. 

"Di sini yang punya ilmu ini tinggal Ayah sama Herman. Herman itu murid bela diri Ayah sekaligus anak angkat ayah."

"Kenapa yang lain nggak belajar juga?" tanya Dea penuh keingin tahuan. 

"Karena yang bisa punya ilmu ini cuma yang punya darah Tingkas," jawab Deni sambil menepuk nyamuk yang hinggap di kakinya. 

"Tingkas?"

"Nenek moyang orang Kerinci asli," beritahu Deni sambil melihat sekilas ke arah Dea, lalu ia kembali melihat ke depan. 

"Jadi di sini yang punya darah Tingkas cuma Ayah sama Herman aja?"

"Ada beberapa."

Dea mengangguk beberapa kali. Ia paham, pasti Tingkas yang lainnya tidak mau memiliki ilmu Cindaku karena berbagai hal. Bisa karena agama atau lainnya. 

Memang Cindaku bukan termasuk ilmu hitam, akan tetapi di beberapa agama ada yang melarangnya. Karena Cindaku ini termasuk siluman atau manusia setengah harimau. Tujuan Tuhan menciptakan manusia ya untuk menjadi manusia, bukan? Bukan untuk menjadi manusia setengah hewan.

Akan tetapi, kita juga tidak bisa menyalahkan orang yang mempunyai ilmu Cindaku, bukan? Karena mereka mempunyai ilmu tersebut pasti dengan berbagai alasan. 

"Selain Herman, ada yang tau kalau Ayah Cindaku?"

"Nggak ada. Masyarakat sekarang sudah modern, sudah nggak percaya ilmu-ilmu kayak gitu."

"Berarti, yang tau Herman Cindaku, cuma ayah?"

"Iya."

"Terus kenapa Ayah nggak mau ke dokter?" tanya Dea sambil menaikkan kedua kakinya di kursi, lalu duduk bersila. 

"Ayah pobia jarum suntik."

"Serius?"

"Iya."

"Sama kayak Mamak, dong. Mamak juga pobia jarum suntik," kata Dea antusias. 

Hening. 

Deni tak berniat menyahuti kata-kata Dea tersebut. Ia memilih memandang lurus ke depan sambil mengingat masa lalu. 

"Kenapa manusia mau jadi Cindaku?" Dea memecah keheningan di antara keduanya. 

"Karena Ayah mau melindungi hutan. Dahulu kala, manusia dan harimau memiliki perjanjian. Manusia nggak boleh merusak hutan, juga sebaliknya. Harimau nggak boleh masuk perkampungan. Nggak boleh ganggu manusia, kecuali manusia itu ngerusak hutan." Jeda beberapa detik. Kemudian Deni melanjutkan ceritanya. "Cindaku di sini berperan sebagai penengah jika terjadi pelanggaran kayak kemarin malam."

Dea mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Ia sungguh tak percaya mendengar rentetan kalimat panjang yang keluar dari mulut ayahnya. Pasalnya selama kurang lebih seminggu ini, ia tak pernah mendengar ayahnya berbicara banyak. 

"Ngomong-ngomong soal kemaren malam, kok bisa polisi nggak curiga? Dea takut kalau Ayah ditangkap," kata Dea sambil menggeleng kuat. 

"Karena yang bunuh penjahat itu harimau. Dan nggak salah harimau itu bunuh manusia. Kan, manusia sendiri yang maksa masuk hutan. Makanya dibunuh."

Dea menganggukkan kepalanya sambil sesekali menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Meskipun ia memakai jaket tebal dan celana panjang tebal, tapi di suatu momen, si nyamuk bisa menembusnya. 

"Cindaku punya pantangan nggak, Yah?" tanya Dea. 

"Nggak ada," jawab Deni asal. 

"Kalau gitu, boleh dong Dea jadi Cindaku juga? Kan Dea Tingkas juga," kata Dea. "Eh ... Mamak bukan Tingkas, deng. Dea lupa." Karena ibunya orang kota asli. Bukan Tingkas. 

Deni menatap Dea tanpa berkedip. Meskipun ia tahu Dea hanya bercanda, tapi tetap saja. Ia tak suka mendengar anaknya ingin menjadi Cindaku sepertinya.

"Dea cuma bercanda, kok, Yah. Mana berani Dea punya ilmu kayak gitu," kata Dea sambil terkekeh. Ia tahu ayahnya menganggap kalau kata-katanya barusan adalah serius. Padahal mah, Dea hanya bercanda saja. Ia sengaja ingin menjahili ayahnya yang datar ini. 

Deni hanya berdehem kecil menanggapi kata-kata Dea. Ia memang terlalu serius dan kaku. Tidak bisa diajak bercanda. 

"Dea seneng, Ayah udah cerita semuanya. Dea nggak penasaran lagi sekarang," kata Dea diselingi dengan tawa kecil. "Eh, beneran udah semua kan, Yah?" tanya Dea sambil memandang ke wajah sang ayah. 

"Udah semua. Nanti kalau ada yang kelupaan, Ayah kasih tau lagi. Sekarang tidur, sana! Ini udah malam," kata Deni sambil menunjuk pintu menggunakan dagunya, kode untuk menyuruh Dea masuk rumah. 

Dea melihat ke jam di pergelangan tangannya. Baru pukul 20:30. Masih terlalu dini untuk tidur. Tapi ia tak punya pilihan, ia tak berani menentang ayahnya. Lalu ia pun bergegas masuk ke kamar. Meninggalkan ayahnya sendirian di teras rumah. 

Sesampainya di kamar, Dea tidak bisa langsung tidur. Ia mengirimi pesan kepada ibunya di kota. Karena memang sang ibu sangat protektif. Apalagi ketika berjauhan seperti ini. Inginnya, setiap saat Dea harus mengirim laporan sedang apa dan di mana. Tapi kan, itu tidak mungkin. 

Dea : Mamak udah tidur, belum? 

Anis : Belum, De. Sehat kan, Nak? Mamak rindu. 

Dea : Sehat, Mak. Dea juga rindu Mamak. Ngomong-ngomong, Dea sudah tau semuanya. Ayah sudah cerita semuanya ke Dea. 

Anis : Sudah semuanya? Ya Tuhan! Bahaya, De! Cepet pulang! Mamak nggak mau Dea kenapa-napa. 

Dea : Mamak ini lho. Dea nggak kenapa-napa. Dea aman. 

Dea dan ibunya terus berkirim pesan. Dea tahu, sang ibu memang sangat panikan. Oleh karena itu, Dea tak menanggapi serius perkataan sang ibu tentang dia yang dalam bahaya. Dea percaya kalau dia aman. Toh memang benar-benar aman. Hanya ibunya saja yang terlalu berlebihan. 

Sementara itu, di luar sana Deni menghembuskan nafas lega karena sudah menceritakan semuanya kepada Dea. Deni tak pernah merasa selega ini sebelumnya. Ia kembali menghidupkan rokoknya lalu menghisap pelan-pelan. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top