5

Pagi-pagi sekali Dea sudah bangun. Ia bangun lebih dulu dibandingkan Deni. Lalu ia langsung bergegas memasak di dapur. 

Karena bahan di dapur hanya ada kentang, Dea pun memutuskan untuk memasak kentang balado. 

Namun hingga matahari muncul, Deni tak kunjung keluar kamar. Hal itu membuat Dea cemas. Pasalnya ia ingat kalau semalam ayahnya terkena tembakan. 

"Yah! Ayah! Buka pintu, dong!" pinta Dea dari luar kamar. Ia juga mengetuk pintu kamar ayahnya sedikit keras. 

Hening. 

Tak ada jawaban apa pun sama sekali. Hal itu membuat Dea semakin cemas. Ia takut ayahnya kenapa-napa. 

"Dea masuk, ya? Kalau Ayah nggak jawab juga, pokoknya Dea maksa masuk lho!" kata Dea lagi. 

Lagi-lagi hening. 

Karena terlalu cemas, Dea pun langsung menerobos masuk ke kamar Deni yang kebetulan tidak terkunci. 

Namun di dalam kamar, Dea mendapati ayahnya sedang tertidur di balik selimut. 

Perlahan-lahan Dea mendekati Deni, lalu mengecek apakah ada terjadi sesuatu kepada ayahnya. 

"Ya ampun, panas banget," gumam Dea saat menyentuh tubuh Deni. "Tapi ngomong-ngomong, Ayah pingsan atau tidur, ya?" 

Dea berbicara sendiri sambil memeriksa kening maupun pergelangan tangan sang ayah. Denyut nadinya normal. 

Tapi kenapa ayah tidur kayak ini? Tidurnya kok kayak pingsan, batin Dea. 

Dea pun langsung bergegas keluar untuk mencari rumah Herman. Dan setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya ia pun menemukan rumah yang dicari. 

Begitu Herman membuka pintu, belum sempat mengatakan apa-apa sudah ditarik tangannya oleh Dea. "Please, tolongin Ayah! Ayah pingsan," beritahu Dea. 

Tanpa pikir panjang, Herman langsung mengikuti Dea menuju rumahnya. Mendengar kabar kalau Deni pingsan, membuatnya kaget sekaligus cemas. Ditambah lagi fakta kalau puskesmas cukup jauh. 

Sesampainya di rumah Dea, Herman langsung dibawa ke kamar Deni oleh Dea. Akan tetapi sesampainya mereka di sana, Deni sudah duduk sambil bersandar pada kepala tempat tidur. 

"Ayah sudah bangun?" Dea tersenyum senang dan berjongkok di sisi ranjang sang ayah. 

"Kok ada Herman?" tanya Deni bingung. 

"Dea yang ngundang ke sini, tadi Dea lihat Ayah pingsan," beritahu Dea. "Kaki Ayah gimana rasanya? Kita ke dokter sekarang, yuk!" ajaknya. 

Tapi di luar dugaan, Deni malah menggeleng sebagai tanda penolakan. Dea pun langsung menoleh ke arah Herman dan mengirim kode minta tolong melalui tatapan mata, dan dibalas anggukan kepala oleh Herman.

"Ke dokter, ya, Tuk. Luka Atuk parah. Takutnya jadi infeksi," bujuk Herman. 

"Aku nggak papa. Besok juga sembuh sendiri," bantah Deni. Ia lalu turun dari tempat tidurnya lalu ke luar kamar. Dan diikuti oleh Dea dan Herman. 

Deni berjalan dengan biasa saja, dalam artian tidak terseok-seok. Hal itu membuat Dea mengerutkan kening samar. 

Ilmu apa yang dipakai Ayah? Kok nggak kesakitan, batin Dea. 

"Ayah mau ke mana?" tanya Dea saat melihat ayahnya menuju dapur. 

"Kamar mandi," jawab Deni tanpa menoleh. 

Dea pun duduk di kursi kayu yang ada di ruang keluarga. Ia melihat Herman yang masih berdiri di depan pintu kamar Deni. "Apa luka Ayah parah?" tanya Dea. 

"Lumayan. Pelurunya tembus kaki," jawab Herman sambil berdehem karena tidak nyaman diperhatikan sedemikian rupa oleh Dea. 

Sepertinya Dea tidak paham, ia terus menatap Herman lekat-lekat. "Kena tulangnya, nggak?" 

"Enggak. Kenanya pas di pinggir banget. Jadi nggak kena tulang."

"Kamu mau berdiri aja? Nggak mau duduk?" tanya Dea sambil menepuk kursi sebelahnya. 

Herman mengangguk lalu duduk di sebelah Dea. Ia banyak menunduk untuk menghindari tatapan Dea yang begitu dalam. 

"Ngomong-ngomong, kamu siapanya Ayah?" tanya Dea sambil melihat ke arah dapur, takut kalau-kalau ayahnya muncul. 

"Lebih baik kamu tanya aja langsung sama Tuk Deni." Bukannya menjawab, Herman malah menyuruh Dea menanyakan langsung ke ayahnya. 

Sontak hal itu membuat Dea kesal. Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar sambil melipat kedua tangannya di depan dada. 

Tinggal jawab aja, apa susahnya, sih? batin Dea. 

Entah mengapa Deni lama sekali berada di kamar mandi, hal itu membuat Dea gelisah. Baru saja ia hendak berdiri menjemput sang ayah, Deni sudah muncul dari arah dapur. Yang mana letak kamar mandinya bersebelahan dengan dapur. 

"Dea udah masak, sarapan yuk, Yah!" ajak Dea begitu melihat ayahnya muncul. 

"Ajak Herman sekalian," kata Deni lalu berjalan duluan ke dapur. 

"Memangnya yang namanya Herman ada di mana, sih? Kenapa nggak ngomong aja langsung?" gumam Dea sambil menghentakkan kakinya kesal. "Ayok, sarapan," ajaknya sambil menatap Herman dengan malas. 

"Nggak usah, aku udah sarapan kok di rumah," tolak Herman dengan halus. 

"Aku nggak terima penolakan," kata Dea ketus. Ia lalu berjalan duluan menuju dapur. 

Melihat hal itu, mau tak mau Herman pun ikut sarapan di rumah Deni. Walaupun sebenarnya ia memang sudah sarapan. Akan tetapi, demi menghormati sang tuan rumah, Herman pun menerima ajakan tersebut. 

Sepanjang makan sangat hening. Hanya ada suara sendok stainless yang beradu dengan piring beling. 

Sebenarnya Dea ingin sekali membuka percakapan. Tapi ia tahu, pasti ia tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Terlebih lagi sekarang ia tahu, kalau yang namanya Herman Herman ini sama menyebalkannya dengan sang ayah. 

Saat baru selesai makan, dan hendak beranjak dari ruang makan, ada beberapa laki-laki yang mengetuk rumah Deni sambil berteriak. "Tuk Deni, ada yang meninggal di hutan! Diterkam harimau!" 

Deg! 

Jantung Dea berdetak tak karuan. Bahkan wajah putih perempuan itu berubah menjadi sangat pucat. 

Bagaimana jika mereka tahu kalau pembunuhnya adalah ayahnya? Bagaimana jika ayahnya dipenjara? Atau dihakimi oleh warga?

"Nggak! Nggak mungkin!" gumam Dea sambil menggeleng kuat-kuat. 

"Kamu kenapa?" tanya Deni dengan raut datarnya.

"Nggak papa," jawab Dea. "Ada tamu di depan," kata Dea mencoba mengalihkan perhatian ayahnya. 

"Ayok, Man! Kita ke depan," ajak Deni dan diangguki oleh Herman. Kedua laki-laki tersebut lalu berjalan menuju pintu utama rumah Deni. 

Dea yang tak mau ketinggalan pun, ikut ke depan. Namun ia tak menampakkan diri. Hanya menguping saja dari ruang keluarga. 

"Ada mayat di hutan, Tuk. Ada lima orang. Semuanya mengenaskan," kata seorang laki-laki. 

"Panggil polisi," kata Deni santai. 

"Siap, Tuk!"

Lalu perlahan-lahan suara tamu tersebut menjauh. Tanda mereka sudah pergi dari rumahnya. Oleh karena itu, Dea pun langsung bergegas menemui sang ayah. 

"Gimana kalau mereka tau pelakunya ayah? Dea nggak mau ayah dipenjara," kata Dea sambil meremas tangan kirinya kuat-kuat. 

"Nggak mungkin," sahut Deni yakin. 

"Tapi, Yah ...."

"Masuk kamar!" Belum selesai Dea mengucapkan kata-katanya, Deni sudah menyuruhnya masuk kamar. 

Dengan kesal Dea berjalan menuju kamarnya. Ia berjanji, sebentar lagi ia akan menyidang ayahnya. Semua yang sudah terjadi, ia harus tahu. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top