4
Rombongan pemburu harta karun dari kota telah datang. Sobri dan teman-temannya sudah siap untuk memasuki kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Begitupun Deni dan Herman, mereka berdua juga siap untuk menggagalkan tujuan Sobri dan teman-temannya.
Di tengah cahaya rembulan yang temaram, Deni dan Herman berjalan menyusuri area hutan.
Jarum jam menunjukkan angka 22:00 WIB. Deni dan Herman sengaja tidak menghidupkan senter karena saat ini terang bulan.
Namun mereka tidak tahu, kalau aksi mereka diikuti secara diam-diam oleh Dea. Dengan hati-hati, Dea berjalan sedikit jauh dari sang ayah dan teman mudanya.
Semakin lama mereka semakin jauh memasuki area hutan. Sontak saja itu membuat Dea takut, tapi tentu saja itu tak menyurutkan niatnya untuk membuntuti sang ayah.
Saat Deni dan Herman berhenti di balik pohon besar, Dea pun ikut berhenti tak jauh dari mereka.
"Herman, kamu siap?" tanya Deni sambil melihat ke arah cahaya api unggun yang tak jauh dari tempat mereka.
"Siap, Tuk!" jawab Herman yakin. Laki-laki dua puluh lima tahun tersebut mengepalkan tangan kanannya sambil menatap ke arah api unggun.
Ooo .... Ternyata namanya Herman, batin Dea sambil mengangguk-anggukan kepala.
Tak lama setelah itu, apa yang dilakukan Deni dan Herman membuat Dea mengeluarkan keringat dingin.
Ya, Dea menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, sang ayah dan teman lelaki mudanya tidur tengkurap lalu keduanya berubah menjadi harimau.
Hampir saja Dea berteriak, tapi ditahannya. Ia menyumpal mulutnya menggunakan lengan jaket yang kepanjangan. Jantungnya berdetak tak karuan. Sementara keringat dingin semakin deras mengucur.
Dua harimau jadi-jadian tersebut langsung berlari menuju arah api unggun. Dan tak lama, suara auman harimau dan tembakan pun terdengar. Membuat Dea semakin takut.
Dea tahu, pasti ayahnya dan Herman sedang menghajar perusak hutan. Seperti yang mereka bicarakan malam itu.
Hati Dea mengatakan ingin melangkah mundur lalu pulang ke rumah, tapi kakinya malah melangkah semakin maju.
Dan apa yang terjadi di depan sana membuatnya hampir berteriak histeris. Dua harimau tersebut sedang mencabik-cabik lima orang lelaki dewasa.
Dea duduk meringkuk di balik pohon besar sambil terus menyaksikan kejadian menyeramkan itu.
Suara tembakan dari seorang laki-laki yang tengah sekarat membuat salah satu harimau mengaum sangat kuat.
"Aarrgghh!"
Tanpa sadar Dea berteriak. Ia tahu tembakan tersebut mengenai salah satu harimau. Kalau bukan ayahnya, ya, Herman.
Teriakan Dea membuat dua harimau tersebut menoleh ke arahnya. Sementara lima laki-laki dewasa tersebut sudah sekarat.
Dea pun jatuh pingsan saat dihampiri dua harimau menyeramkan tersebut. Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Dea, Tuk?" kata Herman cemas. Ia dan Deni sudah kembali berubah menjadi manusia.
Sebelumnya Deni telah memberi tahu Herman kalau anaknya dari kota datang. Dan Herman juga telah melihat Dea saat mereka berjalan menuju kebun milik Deni. Jadi Herman tahu kalau perempuan ini adalah Dea.
Herman terluka sedikit di tangan terkena goresan pedang, Namun Deni terkena luka tembak di bagian kaki kananya.
Deni yang kesakitan meminta Herman untuk menggendong Dea pulang. Sementara ia sendiri jalan terseok-seok di belakang Herman.
Sobri dan teman-temannya dapat dengan mudah ditumbangkan oleh Deni dan Herman. Namun sayang, saat di detik-detik terakhir, peluru milik Sobri mengenai kaki kanan Herman hingga membuat ia menjerit kesakitan.
Karena penyerangan Deni dan Herman bersifat tiba-tiba dan sangat gesit, hal itu membuat Sobri dan teman-temannya tidak bisa berfikir jernih untuk menggunakan senjatanya karena mereka teralu shock.
Namun yang terpenting, sekarang Sobri dan teman-temannya sudah ke alam baka meninggalkan dunia ini. Mereka sudah tidak bernyawa saat ditinggalkan Deni dan Herman.
Sobri sendiri sebenarnya tidak percaya akan adanya Cindaku. Ia membenci Deni bukan karena Deni seorang Cindaku, melainkan karena Deni selalu menghalangi orang yang ingin memanfaatkan hutan. Tentu saja memanfaatkan hutan menurut Sobri adalah dalam artian negatif, yaitu merusak hutan.
Sesampainya di rumah, Deni langsung mengompres kakinya menggunakan air hangat. Ternyata peluru yang dilayangkan Sobri menembus kakinya. Deni pun sedikit bersyukur karena peluru tersebut tidak bersarang di dalam tubuhnya.
Sementara Dea, sudah ditidurkan di kamarnya oleh Herman. Sedari tadi Herman bertanya-tanya, bagaimana bisa Dea berada di dalam hutan?
"Kok Dea bisa ngikutin kita, Tuk?" tanya Herman. Ia yang terkena luka sabetan pedang di tangan kanannya pun ikut mengompres lukanya. Untung saja luka di tangannya tidak dalam, hanya beberapa senti saja.
"Pasti dia ngikutin kita diam-diam," jawab Deni sambil meringis kesakitan. Ia membungkus luka di kakinya menggunakan kain seadanya.
"Kita perlu dokter, Tuk," kata Herman sambil meneteskan obat merah di tangannya.
"Besok," jawab Deni singkat. Dan hal itu hanya diangguki oleh Herman.
Untung saja Deni masih memiliki persediaan obat merah di rumah. Jarak puskesmas cukup jauh dari rumah mereka, oleh karena itu mereka harus memberikan pertolongan pertama pada diri mereka sendiri sebelum akhirnya dibawa ke puskesmas.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Dea telah sadar dari pingsan. Ia masih ingat dengan jelas semua kejadian tadi. Dan detak jantungnya masih tak beraturan.
Perlahan-lahan Dea bangun lalu menuju luar kamar, dari ruang tamu ia mendengar suara percakapan dua laki-laki. Siapa lagi kalau bukan ayahnya dan Herman?
Kali ini Dea tidak mengintip, melainkan ia sengaja langsung menemui ayahnya yang sedang mengobrol. Persetan dengan tidak sopan, yang ada di benak Dea saat ini adalah penjelasan.
"Ayah harus jelasin semuanya," kata Dea sambil menyenyenderkan punggungnya di dinding papan.
Deni menarik nafas berat lalu menghembuskannya dengan kasar. "Nanti. Sekarang masuk kamar!" perintah Deni dengan aura yang sangat dingin. Hal itu membuat Dea ciut.
Dea yang semula ingin berbicara banyak, terpaksa diam dan memilih kembali ke kamar. Ia benar-benar takut melihat ayahnya sendiri.
"Besok pagi, aku harus tanya Mamak," gumam Dea sambil terus berjalan menuju kamarnya.
Sementara itu, Herman menatap Deni takut. Ia sudah hafal betul sifat Deni. Jika wajah Deni sedang seperti sekarang ini, dapat dipastikan Deni sedang marah.
"Aku pulang dulu, Tuk," pamit Herman. Dan tak dijawab apapun oleh Deni. Deni hanya diam saja sambil menatap lantai.
Karena tidak ingin mengganggu Deni, Herman langsung pulang ke rumahnya tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Di perjalanan, Herman terpikirkan akan Dea. Ia takut jika Deni akan berbuat kelewatan batas kepada Dea. Pasalnya jika sudah marah, emosi Deni sulit dikontrol.
"Semoga aja Dea nggak diapa-apain. Toh Dea anak semata wayangnya Tuk Deni. Dan Tuk Deni juga sayang banget sama Dea," gumam Herman di tengah perjalanan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top