3

Samar-samar Dea mendengar ada yang menyebut-nyebut Cindaku atau manusia harimau. Cindaku adalah makhluk mitoligi dari Kerinci. Dea sendiri tahu itu. Ia sering mendengar nama Cindaku. Akan tetapi, ia tak percaya ada makhluk seperti itu. Selama ini ia percaya kalau Cindaku hanyalah dongeng semata. 

Dea yang sedang berjongkok di tanaman tomat, menegakkan badannya untuk melihat siapa gerangan yang membahas Cindaku. Namun Dea hanya bisa melihat punggungnya saja. Dua orang laki-laki sedang berjalan menuju arah Selatan sambil terus berbincang.

Dea mengedikkan bahunya acuh lalu mengambil sebuah tomat dari kebun ayahnya kemudian memakannya.

"Shit! Belum dicuci. Gara-gara mikirin Cindaku, sampai nggak sadar makan tomat belum dicuci," gumam Dea sambil berjalan menuju sungai kecil yang tak jauh dari tempatnya sekarang. 

Dea mendekati sungai tersebut lalu mencuci dua buah tomat di sana. Ia menikmati tomatnya sambil duduk di tanah dan melihat ayahnya yang sedang mencangkul untuk tanaman baru. 

"Siapa, ya?" tanya seorang laki-laki paruh baya yang membawa cangkul ketika melihat wajah asing Dea. 

"Dea, Kek. Anaknya Pak Deni," kata Dea sambil tersenyum manis. 

Laki-laki paruh baya tersebut mengangguk sambil tersenyum misterius. Ia kemudian mencuci cangkulnya yang kotor di aliran sungai. Setelah itu, laki-laki tersebut berlalu. 

"Jangan jauh-jauh, De!" teriak Deni begitu melihat Dea berbincang dengan Sobri. 

Sobri adalah orang yang tidak menyukai Deni. Oleh karena itu, Deni khawatir jika Dea akan mendapat imbas dari kebencian Sobri kepadanya. 

"Iya, Yah," sahut Dea sambil berlari-lari kecil dari jarak yang cukup jauh. Di kedua tangan gadis itu terdapat dua buah tomat segar. Yang satu masih utuh, yang satu lagi tinggal separo. 

"Jangan main jauh-jauh," kata Deni begitu Dea telah berada di sebelahnya. 

Bukannya menjawab kata-kata ayahnya, Dea malah bertanya soal Cindaku. "Ayah percaya Cindaku itu beneran ada?" tanya Dea sambil menggigit tomat yang ada di tangan kirinya. 

Sontak wajah Deni berubah menjadi merah. Ia tidak sedang marah, hanya saja ia bingung harus berkata apa.

"Yah?" panggil Dea saat ayahnya hanya diam saja. 

"Nggak tau," jawab Deni. Ia lalu kembali menyibukkan diri dengan mencangkul untuk menghindari pertanyaan selanjutnya dari Dea. 

"Kalau Dea nggak percaya. Masa iya di jaman modern gini ada manusia harimau? Nggak mungkin banget. Itu pasti mitos," kata Dea sambil mencabut rumput liar yang akarnya memiliki aroma seperti minyak kayu putih. Ia menghirup aroma akar tersebut dalam-dalam. 

Namun Deni pura-pura tidak mendengar kata-kata Dea. Ia hanya fokus saja mencangkul tanah. 

Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Keduanya lalu memutuskan untuk istirahat di pondok. Mereka menyantap menu makan siang yang tadi mereka bawa. 

***

Suara jangkrik dan binatang malam lainnya membuat Dea tidak bisa langsung tidur. Pasalnya ia belum terbiasa dengan bunyi berisik tersebut. 

Dea mendengar ada yang bertamu. Tapi ia tak berniat ingin tahu, karena itu adalah tamu ayahnya. 

Akan tetapi samar-samar dari ruang tamu, Dea mendengar sang tamu menyebut-nyebut Cindaku. Sontak saja hal itu membuat Dea penasaran. 

Dengan hati-hati, Dea keluar kamar lalu menguping. Ia duduk di ruang keluarga. Karena rumah ayahnya terbuat dari papan, maka Dea dapat mendengar semuanya dengan mudah.

"Sobri dan kawan dari kotanya mau ngancurin semua Cindaku, Tuk. Mereka bakal bawa tembak ke dalam hutan. Lalu setelah Cindaku muncul, mereka akan menembaknya," kata sebuah suara yang Dea tak tahu suara siapa itu. 

Dea mengerutkan dahinya sangat dalam. Cindaku? Bunuh? Cindaku mau dibunuh? Siluman bisa dibunuh? Apa mereka sejenis babi ngepet? Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Dea. 

Lalu Dea mendengar sang ayah menjawab, "Kita harus bertindak secepatnya. Jangan sampai hutan kita dijajah manusia rakus."

"Kita harus ngapain, Tuk?" tanya laki-laki yang sedang mengobrol dengan ayah Dea. 

"Kita habisi mereka sebelum mereka menghabisi kita!" perintah Deni tegas. 

Meskipun tidak melihat wajah ayahnya, namun Dea tahu, kalau ayahnya sedang sangat serius. Kentara sekali dari nada bicaranya. 

Namun kata-kata ayahnya barusan membuat Dea merinding. Ayahnya akan menghabisi yang namanya Sobri Sobri itu? Hanya karena Sobri ingin membunuh Cindaku? Memangnya Cindaku itu nyata? Berbagai macam pertanyaan melintas di benak Dea. Ia sungguh bingung. Dan juga takut. 

Pasalnya ini adalah kali pertama ia menginjak tanah kelahirannya, akan tetapi sudah akan terjadi perang. 

"Kapan kita bakal nyerang Sobri, Tuk?" tanya laki-laki tersebut. 

"Besok malam," jawab Deni tegas. 

Dea yang sangat penasaran, mencoba mengintip siapa gerangan yang sedang berbicara dengan ayahnya. 

Ternyata sosok itu adalah laki-laki berusia kurang lebih dua puluhan tahun. 

Karena semakin takut, Dea memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia berjalan mengendap-ngendap supaya tidak didengar oleh ayahnya. 

Sesampainya di kamar, Dea langsung membaringkan tubuhnya di kasur sambil menatap ke langit-langit kamar. Tak lama, samar-samar ia mendengar tamu sang ayah pamit pulang. 

"Ayah boleh masuk?" tanya Deni dari luar kamar. 

"Boleh, Yah," sahut Dea dari dalam kamar. Ia lalu duduk di sisi kasur. 

"Kamu ngapain nguping?" tanya Deni begitu ia membuka pintu kamar Dea. 

Dea yang tidak menyangka aksinya akan diketahui sang ayah, ketakutan bukan main. Ditambah lagi ekspresi seperti ingin membunuh yang diberikan ayahnya membuat ia semakin takut. 

"Ayah tau?" tanya Dea takut-takut. Ia meremas tangan kirinya kuat sekali sampai tangannya menjadi merah. 

"Jangan kayak gitu lagi," kata Deni datar. Ia langsung keluar dari kamar Dea. 

Namun aura seram masih tertinggal di kamar Dea. Membuat ia sulit untuk bernafas. Pasalnya ia tak menyangka kalau ayahnya akan mengetahui aksinya yang tidak terpuji tersebut. 

Sementara di ruang tamu, Deni sedang menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia sangat marah begitu mengetahui Dea mengintip. Apalagi ini menyangkut hal yang sensitif. 

Deni tak ingin Dea meninggalkannya seperti dulu Anis meninggalkannya. Ia tak ingin Dea menjadi benci kepadanya setelah mengetahui semua tentangnya. 

Deni memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Dalam hati ia berjanji, setelah urusan terakhirnya ini, ia akan membuang ilmu sialan tersebut. Entah bagaimana caranya, entah bisa atau tidak, yang jelas ia ingin hidup seperti manusia normal pada umumnya.

Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, Deni menuju kamarnya untuk istirahat. Namun tentu saja matanya tak bisa terpejam begitu saja, karena banyak sekali pikiran yang ada di kepalanya. 

"Dea, kenapa kamu harus nguping, sih?" bisik Deni sambil meremas kepalanya karena frustrasi. 

"Cepat atau lambat, aku harus cerita yang sebenarnya. Dea harus tau," gumam Deni. 

Ia mencoba memejamkan matanya sekali lagi. Berharap bisa cepat tertidur. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top