25

Dea berada di sebuah hutan yang lebat. Saking lebatnya hutan tersebut, cahaya matahari pun tidak dapat menembusnya dengan sempurna. 

Meskipun sekarang sedang terang bulan karena bulan purnama, keadaan hutan tersebut sangat gelap. Aroma lembab menguar di mana-mana. Suara binatang malam menambah dramatis keadaan hutan. 

"Kau!"

Suara dari alah belakang membuat Dea menoleh. Didapatinya tiga harimau seperti yang sebelumnya. 

"Mengapa kalian membawa aku ke sini?" tanya Dea bingung. 

"Kami hanya ingin memberi tau satu hal," kata harimau putih. Suaranya menggelegar di tengah hutan yang sangat lebat. Suaranya beradu dengan suara binatang yang lain. 

Dea tidak mengatakan apa-apa, dia diam saja sembari menunggu harimau tersebut mengatakan sesuatu. 

"Anakmu tidak akan menjadi Cindaku seperti ayah dan kakeknya," kata harimau cokelat. "Apa kau bahagia mendengar ini?" tanyanya. 

"Tentu saja aku bahagia. Tapi, apakah ini sungguhan? Bukan mimpi?" Dea menepuk pipinya cukup kuat. 

"Aww!" erangnya karena tepukannya ternyata cukup kuat dan membuat pipinya panas. 

Ini nyata. Aku merasakan sakit. Ya, ini nyata, batin Dea.

Ia menatap ketiga harimau dengan pandangan yang berbinar-binar karena terlampau bahagia. Bagaimana tidak bahagia? Anaknya tidak akan menjadi Cindaku adalah kebahagiaan yang tiada tandingnya. 

"Apakah itu benar?" tanya Dea sekali lagi. 

"Ya. Karena dia perempuan," jawab harimau hitam dengan tegas. Sepertinya semua harimau walaupun berbicara pelan, tetap terdengar menggelegar. Menakutkan. 

Soal Cindaku tadi, Dea sangat bahagia sekali. 

Oh, ternyata jika anak perempuan tidak menjadi Cindaku. Beruntungnya Dea karena anaknya perempuan. Bukan laki-laki. 

Kedua sudut bibir Dea tertarik sangat lebar. Ia tersenyum lebar saking bahagianya. 

"Kami hanya akan menjadikan anak laki-laki sebagai Cindaku. Tapi ternyata anakmu perempuan. Oleh karena itu, ia tidak akan menjadi Cindaku," kata harimau putih. Jangan lupakan suara menggelegarnya. 

"Kami bukan Tuhan yang bisa menciptakan sesuatu. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah menghendaki anak kalian perempuan, maka kami tidak akan bisa mengubahnya menjadi laki-laki," sahut harimau cokelat tak kalah menggelegarnya. 

"Terima kasih," ucap Dea sambil terisak. 

Bukan. Ia bukan sedang bersedih. Melainkan menangis bahagia. 

Seketika saja ketiga harimau tersebut hilang dalam sekejap mata. 

Padahal tadi masih ada di hadapan Dea. Saat Dea berkedip, ketiganya sudah tidak ada lagi.

"Aakkhh .... Mamak .... Delaaa ...." teriak Dea saking bahagianya. "Ada kabar bahagiaaa ...." 

"Syukurlah kamu nggak bakal jadi seperti ayah dan kakekmu, Nak. Mamak sangat bahagia. Saking bahagianya sampai ingin koprol!" Dea berteriak saking bahagianya. 

"Dea .... De? Kamu kenapa?" tanya Anis panik saat ia mendengar Dea berteriak di dalam kamar tidurnya. Pikirannya sudah kemana-mana. Bagaimana jika Dea setres akibat frustrasi? Atau bagaimana jika Delaci kenapa-napa akibat ulah Dea? 

Sekarang baru pukul sepuluh malam. Kebetulan sekali Anis masih terjaga. Ketika ia mendengar suara Dea dari dalam kamar, ia langsung mengambil kunci cadangan lalu menyerbu ke kamar anak dan cucunya itu. 

"Dea! Bangun!" Anis mengguncang-guncang tubuh Dea yang masih terpejam. "Deaaa!" teriak Anis saking geramnya karena Dea tidak kunjung bangun. 

Perlahan-lahan Dea membuka matanya. Ie menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. 

"Mamak kenapa teriak-teriak? Kayak di hutan aja," kata Dea dengan suara serak, khas bangun tidur. 

"Kamu yang teriak duluan. Kayak di hutan aja," balas Anis tidak mau kalah. Karena yang teriak duluan kan Dea. Bukan dirinya. 

"Masa, sih?" tanya Dea yang nyawanya belum terkumpul sempurna. 

"Kamu yang teriak duluan. Makanya Mamak masuk ke sini," kata Anis. Ia duduk di sisi ranjang sang anak. 

Dea tampak berfikir sejenak. Kemudian berkata. "Dea mimpi didatangi tiga harimau, Mak," ucap Dea heboh. 

Anis mengangkat satu alisnya tinggi. Bingung apa yang membuat anaknya sebahagia ini. 

"Dela nggak bakal jadi Cindaku, Mak. Kata harimau tadi, hanya anak laki-laki yang akan mereka jadikan Cindaku. Tapi ternyata anakku perempuan. Agghhh .... Seneng banget!"

Dea mengguncang-guncangkan tubuh ibunya karena terlampau bahagia. 

"Ini serius?" tanya Anis tidak percaya. 

Dea mengangguk-anggukkan kepalanya yakin. 

"Akhirnya, do'a Mamak terkabul." Anis langsung memeluk tubuh Dea dengan erat. 

"Mamak do'a apa?"

"Do'a supaya Dela nggak jadi Cindaku. Dan ternyata Tuhan mengabulkannya."

Aksi peluk-pelukan mereka terpaksa berhenti karena Delaci menangis. 

Dengan sigap Dea langsung menghampiri anaknya lalu mengecek keadaan Delaci. Barangkali anaknya tergigit nyamuk atau buang air. Ternyata semuanya aman. 

"Laper kayaknya, De," kata Anis. 

"Iya kayaknya, Mak."

Dea lalu memberi ASI kepada Delaci. Dan tak lama bayi merah tersebut berhenti menangis. Ternyata benar, ia lapar. Dea sebagai ibunya merasa bersalah. Karena ia sampai lupa jadwal makan bayinya. 

"Mamak mau balik ke kamar lagi," kata Anis dan diangguki oleh Dea. 

Sepeninggal Anis, Dea tersenyum sendiri di dalam kamar. Persis seperti orang kurang setengah. Tapi mau bagaimana lagi, ia terlampau bahagia. Oleh karena itu, ia tidak dapat menahannya lagi. 

"Mamak senang kamu nggak jadi Cindaku kayak ayah dan kakek kamu, Nak," gumam Dea sambil mencium pipi anaknya. 

Seperti mengerti sedang diajak berbicara, bayi merah tersebut mengoceh dengan bahasa yang tidak Dea mengerti.

"Aikb skskjs hwuisoal kakja," gumam Delaci sambil terus meminum ASI. 

"Kamu ngomong apa, hm? Mamak nggak tau," balas Dea. 

Dasar Dea, sudah tahu bayi merah. Masih saja diajak ngobrol. Wajar kalau kata-katanya belum jelas. 

Delaci terus saja mengoceh. Hal tersebut membuat Dea gemas. Ia mencium seluruh wajah anaknya dengan gemas. Beruntung Delaci Tidak menangis mendapatkan perlakuan absurd sang ibu. 

"Kamu cepat besar, dong! Mamak mau cerita banyak hal ke kamu," kata Dea sambil menimang Delaci. Karena bayi tersebut sudah selesai meminum ASI dan sekarang sudah kenyang. 

Tak lama Delaci tertidur. Dengan hati-hati Dea meletakkan Delaci ke tempat tidur bayi. Dea menatap wajah Delaci yang sedang tertidur pulas. Namun tiba-tiba saja wajah Alam muncul menggantikan Delaci. 

Dea menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Halusinasi," gumamnya. Ya, mana mungkin Alam ada di sini, la wong ia sudah pindah dunia. 

"Tuh, kan bener. Cuma halusinasi," gumamnya saat wajah Alam sudah hilang dari pandangannya. 

Dea menaiki kasur lalu kembali tidur. Tapi ia tidak bisa tertidur begitu saja. Karena mimpi beberapa menit yang lalu. Mimpi itu terasa nyata. Bahkan saat Dea menampar pipinya sendiri, ia merasakan kesakitan. Dan saking nyatanya, panas tersebut masih terasa hingga saat ini. 

Dea  meraba pipinya yang ia yakin pasti tadi memerah. "Terima kasih, Tuhan," gumamnya. Matanya terbuka seperti ikan asin. Ia menatap plafon tanpa berkedip. 

Dan setelah lama ia hanya melek, akhirnya ia bisa tidur juga. 

S E L E S A I

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top