23

"Sayang, jangan pergi! Aku mau kamu di sini aja. Anak kita baru berusia tiga hari lho," rengek Dea saat Alam hendak berangkat kerja. 

Dengan sabar Alam membujuk Dea. "Aku harus kerja, Sayang."

Dea cemberut dan memajukan bibirnya. Ia sudah pulang ke rumah tadi malam. Dan sekarang sedang menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Membuat sarapan. Sedangkan Delaci masih tertidur nyenyak di kamar. 

"Ya udah. Tapi hati-hati, ya. Jangan sembrono saat kerja!"

"Iya, Sayang."

Keduanya lalu sarapan bersama. Setelah selesai, Alam langsung berangkat ke restoran untuk bekerja. 

Sepeninggal Alam, Dea hanya berdua saja dengan Delaci. Ia memperhatikan wajah putri kecilnya yang sedang tertidur pulas. Sangat menggemaskan. 

"Mumpung si bayi lagi tidur, aku mau kerja, ah," gumam Dea. Ia lalu duduk di depan komputer dan memulai kerja. Niat hati akan libur lama, tapi tidak jadi, karena ia merasa rugi kalau hanya menganggur saja dan tidak melakukan apa-apa. 

Saat Dea sedang membalas chat calon customer, ia mendapat telepon dari nomor tak dikenal. 

"Halo, dengan siapa di sana?" tanya Dea dengan sopan. 

"Dengan Mbak Dea istrinya Bang Alam, ya?" tanya perempuan di seberang sana. 

"Iya, benar."

"Begini, Mbak. Sekarang Bang Alam sedang di rumah sakit Mitra Mutiara karena kecelakaan kerja ...."

Kata-kata orang di seberang sana membuat Dea lemas. Dengan cepat ia langsung menyiapkan barang-barang Delaci, lalu menggendong anaknya tersebut menuju rumah sakit. 

Selama perjalanan di dalam taksi, Dea berkomat-kamit. Semoga kecelakaan kerja yang dialami Alam bukan kecelakaan berat. 

Sekarang baru pukul sebelas pagi, sehingga jalanan tidak macet. Oleh karena itu, dengan cepat ia bisa sampai ke tujuan. 

Setelah sampai, Dea langsung mencari kamar yang diberitahu oleh sang penelepon tadi. 

Tapi .... 

Kok kamar jenazah? Bukan ruang UGD atau ICU? Atau ruang rawat inap?

"Mbak Dea, ya?" tanya seorang perempuan yang Dea yakin dialah sang penelepon tadi. Suaranya sama. 

Dea mengangguk kaku. 

Perempuan tersebut mengajak Dea untuk menemui Alam yang ternyata sudah tidak bernyawa. 

Jantung Dea berdetak tak karuan. Ia merasa dunianya sedang runtuh. Sepuluh bulan yang lalu ayahnya yang meninggal, lalu sekarang suaminya. 

Apa ini ada hubungannya dengan Cindaku? Atau memang sudah takdir Tuhan? batin Dea. 

"Restoran kami kebakaran hebat. Bang Alam nggak sempat menyelamatkan diri, dan langsung meninggal di tempat. Sementara tiga karyawan lainnya kritis, dan sepuluh lainnya luka ringan. Saya bagian cleaning servise, kebetulan sedang bekerja di bagian depan. Jadi nggak kena api."

Dea hanya diam saja. Matanya kosong menatap jenazah suaminya. 

"Saya dapat nomor Mbak Dea dari Dea Shop. Saya pernah order tas dua kali. Rekomendasi dari Bang Alam. Kata dia istrinya jualan online," ujarnya lagi. Dan Dea masih saja diam. "Oh, iya. Nama saya Lia."

"Makasih, Lia," ucap Dea pelan. Air mata mulai menetes di pipinya. 

Pantasan saja tadi pagi Dea begitu berat melepaskan suaminya pergi. Dan beberapa hari lalu suaminya membahas kematian. 

"Kalau nanti aku udah nggak ada, kamu jangan nangis. Do'ain aku. Jaga Delaci baik-baik," pesan Alam sambil mengelus puncak kepala Dea yang sedang menyusui Delaci. 

Dea menatap Alam dengan tatapan horor. "Jangan ngomong itu. Aku nggak suka!" 

"Mbak Dea, saya permisi dulu, mau liat kondisi teman yang lain," pamit Lia.

Kata-kata Lia membuat Dea tersadar dari lamunannya. 

"Oh, iya. Makasih, Lia," ucap Dea parau. 

Saat Dea sadang menangis, tiba-tiba saja Delaci ikut menangis. Buru-buru Dea keluar dari kamar jenazah tersebut untuk menenangkan Delaci. 

***

Pemakaman Alam telah selesai sore tadi. Malam ini, Dea duduk termenung di kamar lamanya sendirian. Delaci sedang bersama Anis di luar kamar.  

"Apakah ini ada hubungannya dengan Cindaku? Apa Cindaku sedang menghukum Alam dan Ayah?" ucap Dea lirih. Ia duduk meringkuk di lantai bersandar pada sisi ranjang. Air matanya sedari tadi mengalir tanpa henti. 

"Itu takdir Tuhan. Tidak ada hubungannya dengan kami!"

Suara berat dari arah belakang Dea membuat ia terjingkat karena kaget. Ia melihat tiga harimau berdiri di atas kasurnya. Tatapan ketiga harimau tersebut sangat tajam. 

Ini nyata. Ini pasti nyata, ujar Dea dalam hati. 

"Itu takdir Tuhan. Tidak ada hubungannya dengan kami!" kata harimau putih sekali lagi. 

Tubuh Dea langsung terasa lemas, karena tatapan ketiga harimau tersebut sangat tajam. 

Terang saja tajam, pasti mereka sedang marah karena Dea menganggap kematian ayah dan suaminya adalah perbuatan mereka. Padahal nyatanya tidak. Itu murni kehendak Tuhan. 

"Maaf," sesal Dea dengan suara bergetar. Ia menunduk dalam-dalamm. Tidak ingin menatap ketiganya. 

Hening. 

Tidak ada jawaban. 

Saat Dea mengangkat wajahnya, ternyata ketiga harimau tersebut sudah tidak ada. 

Baru saja Dea merasakan kebahagiaan seorang ayah, ayahnya sudah pergi untuk selama-lamanya. Baru juga ia merasakan kebahagiaan menjadi seorang istri, sekarang sudah menjadi janda. 

Dea menatap foto pernikahannya dengan air mata yang mengalir deras. "Yang tenang di sana, sayang. Aku pasti akan selalu mendo'akan kamu," lirih Dea dengan suara bergetar. 

Tok! Tok! Tok!

"Mamak masuk ya, De?" pinta Anis dari luar kamar. 

Buru-buru Dea mengahapus air matanya menggunakan ujung seprai. "Iya, Mak."

"Dela leper, nih," kata Anis saat ia sudah membuka pintu. 

Dengan hati-hati, Dea langsung mengambil Delaci dari gendongan ibunya lalu menyusuinya. 

"Mamak tau kamu sedang terpukul. Tapi Mamak yakin, kamu pasti bisa melewati ini semua. Kamu pasti kuat," hibur Anis. Ia duduk di sisi ranjang sambil memeluk bahu Dea yang duduk di lantai bersandar pada sisi ranjang. 

"Makasih, Mak," ucap Dea pelan. 

"Mulai malam ini, kamu tidur di rumah ini lagi, ya? Besok Mamak bantuin pindahan," kata Anis. 

"Tapi masa kontrakannya belum habis, Mak. Sayang duitnya hangus," tolak Dea. Ia tidak ingin pindah. Ia masih ingin di kontrakannya. Ia ingin mengenang masa-masa indahnya bersama Alam di rumah tersebut. 

"Mamak nggak kasih izin kamu tinggal berdua aja sama Dela. Apalagi kondisi kamu lagi terpukul kayak gini."

Dea hanya bisa menarik nafas berat. 

"Iya, Mak," jawabnya. Dengan terpaksa Dea menuruti kata-kata ibunya. 

"Mamak tinggal ke luar, ya? Kalau ada apa-apa, panggil Mamak di kamar," kata Anis sambil berdiri. 

"Iya, Mak," jawab Dea. 

Sepeninggal Anis, Dea meletakkan Delaci ke atas tempat tidur, karena anaknya itu sudah tertidur pulas. 

Dea menatap wajah anaknya yang tertidur pulas. Perasaannya bercampur aduk. 

Bagaimana jika nanti Delaci menjadi Cindaku? Siapa yang akan membimbingnya? Kakek dan ayahnya sudah tidak ada. Sedangkan Dea tidak banyak tahu perihal Cindaku. 

Tapi di satu sisi ia merasa senang. Karena sekarang ia sudah menjadi seorang ibu. 

"Semoga Mamak bisa jadi ibu yang baik buat kamu, Nak," lirih Dea sambil mengusap lembut wajah anaknya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top