22
Semakin hari Alam menjadi sangat perhatian kepada Dea. Ia tidak pernah membiarkan Dea bekerja terlalu keras, karena ia tak mau Dea dan calon anak mereka mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
"Sayang, udah dong, kerjanya. Ini udah malam lho." Alam memijit pundak Dea yang masih duduk di depan komputer sambil mengurusi orderan.
"Sebentar lagi, Sayangku. Ini nanggung banget," ucap Dea dengan mata yang masih fokus menatap layar.
Dea harus menyelesaikan orderan malam ini juga. Karena setelah ini ia akan libur lebih kurang dua minggu. Hal itu ia lakukan karena usia kehamilannya sudah menginjak angka sembilan bulan. Perkiraan dokter, seminggu lagi ia akan melahirkan.
Dengan telaten Alam menunggu Dea bekerja, ia duduk di kursi sebelah Dea sambil matanya menatap lekat-lekat ke arah sang istri. Ternyata Dea yang ia kira boros, bisa hemat dan malah pandai mencari uang. Bahkan ia sangat pekerja keras, buktinya hingga pukul sebelas malam masih duduk di depan komputer mengurusi orderan.
"Akhirnya selesai juga," ujar Dea sambil mereleks-kan badannya yang kaku. "Kamu sweet banget masih nungguin ak ...."
Belum sempat Dea menyelesaikan kata-katanya, Alam sudah membopong Dea naik ke atas kasur. "Istirahatlah, Sayangku. Badanmu bukan robot," katanya sambil mematikan lampu dan hanya menyisakan lampu tidur saja.
"Makasih udah perhatian sama aku," ucap Dea. Ia lalu tidur dengan memeluk tangan Alam. Dea ingin memeluk badannya saja, namun ia merasa kurang nyaman karena tangan mungilnya tidak dapat menjangkau seluruh tubuh sang suami, oleh karena itu ia memutuskan memeluk tangannya saja.
Pukul tiga dini hari, Dea terbangun karena merasa perutnya sakit. "Sayang bang ... un," rintih Dea. "Sayang ... please ... bang ...un." Dea menggoyang pelan tubuh Alam.
Alam yang memang mudah peka saat tidur, langsung terbangun. "Kenapa, Sayang? Kamu kenapa?" tanyanya panik. Ia lalu menghidupkan lampu kamarnya.
"Perutku ...." rintih Dea sambil menggigit bibir bawahnya.
"Sabar ya, Sayang. Aku telepon ambulans dulu."
Dengan gerakan cepat, Alam mengambil ponselnya di atas nakas lalu menelepon ambulans dan juga ibu mertuanya. Tak lama mertuanya datang lalu disusul ambulans yang ia pesan datang juga.
Selama perjalanan, Alam hampir menangis saat melihat Dea kesakitan. Ia memang tidak tahu bagaimana rasanya sakit ketika melahirkan, namun dengan melihat wajah Dea saja ia tahu, pasti itu sakit luar biasa.
Kurang lebih dua puluh menit perjalanan, ambulans telah sampai ke rumah sakit. Dea langsung mendapatkan penanganan dari dokter. Ia akan melahirkan secara normal. Hal ini melesat dari perkiraan dokter sebelumnya, ternyata proses melahirkan Dea lebih cepat dari prediksi.
"Ayo .... Terus, Bu!" Sang dokter perempuan memberikan aba-aba saat Dea hampir menyerah.
"Sayang, kamu pasti bisa," bisik Alam, ia mencium kening Dea sekilas.
Kulit tangan Alam luka-luka akibat cakaran kuku Dea. Padahal Dea tidak memiliki kuku yang panjang, namun cakarannya cukup lumayan dalam.
Baik Alam maupun Anis, sama-sama terkena cakaran. Namun Anis tidak terlalu parah, dan hanya ada dua luka saja.
Setelah Dea kelelahan dan hampir menyerah, ia melihat tiga ekor harimau datang dan mengusap perutnya secara bergantian. Lalu setelah itu dengan mudahnya anak yang ada di rahim Dea keluar.
Semuanya menangis haru ketika bocah perempuan merah menangis saat pertama kali datang ke dunia ini.
Namun di saat semua orang menangis haru, Dea malah terbengong dan tidak percaya atas apa yang ia lihat tadi. Tiga ekor harimau itu datang dan membuatnya bingung.
Tadi itu nyata atau hanya halusinasi? Apakah Alam juga melihatnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berkeliaran di otaknya.
***
"Kamu liat sesuatu nggak waktu aku lahiran?" tanya Dea sambil menyusui putrinya.
"Sesuatu apa? Aku nggak liat apa-apa," kata Alam yang duduk di lantai sambil mensejajarkan tingginya dengan Dea yang berbaring di ranjang rumah sakit.
"Tiga ekor harimau itu datang lalu ngusap perut aku. Setelah mereka usap, jadi gampang dan nggak sakit," kata Dea.
"Aku nggak liat, karena terlalu panik mungkin," sahut Alam yang memang tidak melihat apa-apa. Entah karena ia tidak fokus atau memang ketiga harimau tersebut hanya ingin menemui Dea, Alam tidak tahu itu.
"Harusnya kamu tetep bisa liat, deh. Mereka itu gede banget lho."
"Mungkin mereka cuma mau nunjukin ke kamu aja," kata Alam.
"Iya juga, ya. Bisa jadi gitu," sahut Dea sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Anis masih ada di kantornya sementara Alam sengaja meminta libur. Dan beruntung restorannya memberikan libur, hanya saja gajinya akan dipotong. Tapi itu tidak masalah, yang penting ia bisa menemani istrinya lahiran.
"Dia perempuan, tapi mirip kamu," ucap Dea sambil memperhatikan wajah anaknya yang sedang tertidur pulas di gendongannya setelah selesai menyusu.
"Kan aku bapaknya."
"Harusnya mirip aku dong. Kan aku ibunya," ujar Dea sambil manyun.
"Jangan manyun-manyun. Mau dicium?" goda Alam.
"Jangan macam-macam! Ini rumah sakit," sahut Dea sambil melotot tajam.
Bukannya takut, Alam malah tertawa ringan sambil geleng-geleng kepala. Ia juga tahu kalau ini adalah rumah sakit, tidak mungkin juga ia melakukan itu di sini. Ia hanya sedang menggoda istrinya saja.
"Kenapa senyum-senyum? Mesum pasti," tebak Dea tidak suka.
"Memangnya salah membayangkan istri sendiri?" goda Alam.
Hal itu sontak membuat wajah Dea menjadi merah karena malu. Melihat wajah Dea yang memerah karena malu, Alam hanya terkekeh saja.
"Anak kita mau dikasih nama apa, ya? Kita belum mikirin ini sebelumnya," kata Dea mengalihkan pembicaraan.
"Cidela aja. Singkatan dari Cindaku, Dea dan Alam."
"Nggak mau! Jelek!" tolak Dea. "Yang serius, dong!"
"Itu bagus, Sayang. Atau dibalik aja. Delaci. Gimana?"
Dea tampak berfikir sejenak. "Boleh juga. Itu unik, nggak pasaran," ujarnya. "Tapi kepanjangannya apa, dong? Masa cuma Delaci aja."
"Putri Delaci aja. Yang simpel aja kasih namanya. Jangan susah-susah, ntar orang susah ngapalinnya," sahut Alam.
"Ya udah, deh. Itu aja," kata Dea pada akhirnya. "Itu bagus juga kok. Jadi artinya, anak perempuannya Dea dan Alam Cindaku, kan?"
"Ya itu," jawab Alam yang memang tidak mau ribet. Ia dan Dea sama-sama tidak pandai memberi nama anak. Oleh karena itu, mereka memberi nama yang simpel saja. Tapi meskipun demikian, tetap memiliki arti kok. Jadi bukan asal kasih nama saja.
"Tolong pindahin ke tempat tidur bayi dong." Dea memberikan Delaci yang sedang tertidur pulas ke gendongan Alam.
Dengan hati-hati Alam mengambilnya lalu menidurkannya di tempat tidur bayi.
"Kangen Ayah. Coba Ayah bisa liat Delaci lahir," gumam Dea sambil menatap plafon.
"Kamu kangen Ayah?"
"Iya."
"Sepulang dari rumah sakit, kita ke makam. Buat ngobatin kangen. Gimana? Setuju?" usul Alam dan diangguki oleh Dea.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top