2

Suara kokok ayam membuat Dea membuka matanya. Udara yang sangat dingin membuat Dea kembali meringkuk di balik selimut. Ia tidak tidur lagi. Akan tetapi hawa dingin membuatnya malas untuk turun dari tempat tidur.

Samar-samar Dea mendengar suara minyak panas beradu dengan entah apa. Pertanda ayahnya sedang menggoreng sesuatu.

Akhirnya Dea pun bangun, lalu berjalan pelan menuju dapur. Dan ternyata benar, di sana ayahnya sedang memasak.

"Ayah masak apa?" tanya Dea sambil menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana.

"Ayam goreng," sahut Deni datar. Dengan cekatan, Deni memasak di dapur. Bahkan ia sangat luwes sekali memegang alat-alat memasak.

"Dea suka," gumam Dea sambil menarik kursi di meja makan. Lalu ia duduk di sana.

"Kalau mau minum teh, buat aja. Itu bahannya ada di sana," kata Deni sambil menunjuk rak berisi banyak toples dan juga termos air panas.

"Iya, Yah," sahut Dea dengan suara bergetar karena dingin. Ia memang sudah mengenakan jaket, akan tetapi tangan dan kakinya yang tidak memakai sarung tangan dan kaki, terasa sangat dingin.

Dea tidak berniat membuat teh atau segala macamnya, karena ia tidak minum minuman manis. Kalau teh pahit, Dea tidak suka.

"Biasanya nanti apa aja aktivitas Ayah?" tanya Dea.

"Ke kebun," sahut Deni seraya menaruh sepiring ayam goreng di atas meja. Bau harumnya menyeruak ke seluruh ruangan.

"Dea boleh ikut, kan?" tanya Dea sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Deni hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Dan itu membuat Dea tersenyum senang.

Jarum jam menunjukkan angka 05:30. Deni dan Dea pun lalu melakukan sarapan bersama. Karena sebentar lagi mereka akan ke kebun.

"Ayah kenapa nggak pernah nemuin Dea di Jambi?" tanya Dea di sela-sela kunyahannya. "Awalnya Dea nggak tau kalau masih punya Ayah. Karena Mamak selalu bilang kalau Ayah Dea sudah meninggal. Dea baru tau kalau Ayah masih ada itu ... setahun yang lalu," beritahu Dea dengan wajah cemberut karena kesal dengan ibunya.

"Maaf."

Hanya kata itu saja yang keluar dari mulut Deni. Dan hal itu membuat Dea menghembuskan nafas kasar lalu menelan begitu saja makanannya yang belum halus.

Walaupun Dea tahu kalau ayahnya sangat irit bicara, tapi tetap saja, Dea merasa kesal ketika mendengar ayahnya hanya mengatakan kata maaf.

"Ayah sama Mamak kenapa pisah, sih? Dea tanya ke Mamak nggak pernah dijawab," kata Dea lagi. Ia belum bosan untuk memancing ayahnya agar berbicara lebih banyak.

"Nanti kamu juga tau sendiri," jawab Deni datar sambil menambah nasi putih ke piringnya.

Akhirnya Dea menyerah untuk memancing Deni lebih jauh. Karena percuma saja, biar bagaimana pun, Deni tidak akan terpancing.

Dea menikmati nasi dengan ayam goreng dan sambal terasi dengan tatapan tak pernah lepas dari ayahnya.

Deni yang merasa diperhatikan oleh Dea, buru-buru menyudahi makanannya. Ia menyuap nasi dengan suapan besar hingga pipinya menggembung. Pasalnya ia sedikit jengah ditatap seperti itu. Ya, meskipun yang melakukan itu adalah anak kandungnya sendiri.

Deni selesai sarapan terlebih dahulu. Ia memutuskan untuk menunggu Dea di ruang tamu. Dan di ruang tamu tersebut ia menghisap rokoknya dalam-dalam.

Sekelebat bayangan masa lalu muncul di kepalanya. Bayangan saat Dea masih berusia tiga bulan yang dibawa kabur oleh Anis dari rumah ini.

"Berangkat sekarang, Yah?"

Pertanyaan dari Dea membuat Deni kaget. Ia sedikit berjingkat karena kata-kata Dea benar-benar mengagetkannya.

"Ganti baju dulu! Ke ladang jangan pakai baju bagus," gumam Deni sambil menatap pakaian yang dikenakan Dea. Sementara ia sendiri sudah berganti pakaian menjadi pakaian berkebun.

"Kenapa?" tanya Dea dengan polosnya.

"Nggak papa," sahut Deni sambil menggeleng, tak lupa dengan raut datar tentunya.

Keduanya lalu berjalan menuju kebun milik Deni yang terletak cukup jauh dari rumah Deni. Deni membawa alat-alat berkebun, sedangkan Dea membawa bekal makan siang dan air minum yang ditaruh di dalan tas kain.

Dea tak mengganti pakaiannya, karena semua pakaian yang ia bawa sama. Kaos lengan pendek dan celana panjang.

"Selama berpuluh-puluh tahun, Ayah jadi petani?" tanya Dea di tengah perjalanan. Ia sungguh tidak bisa jika harus berdiam-diaman dengan ayahnya seperti sedang musuhan.

"Iya," jawab Deni singkat. Dan jangan lupakan raut datarnya.

"Petani apa?" tanya Dea lagi. Ia sungguh ingin tahu banyak tentang ayahnya. Ya, walaupun sepertinya itu sangat mustahil, karena sang ayah memiliki sifat tertutup.

"Bawang dan sayur-sayuran." Deni terus melangkah sambil memanggul alat berkebun.

"Wah, banyak banget!" seru Dea antusias saat melihat tanaman di kebun entah siapa. Pasalnya ia memang menyukai tanaman seperti sayur-sayuran. Bahkan rumahnya di kota, ia sulap menjadi ladang bertani cabai dan beberapa jenis sayur. Karena keterbatasan lahan, ia menggunakan media pot sebagai tempat untuk menanam.

Matahari sudah mulai terbit, perlahan-lahan keadaan semakin terang dan hangat. Banyak orang berlalu lalang yang mereka temui di jalan. Bahkan hampir setiap dari mereka bertanya, siapa perempuan yang bersama Deni? Dan selalu dijawab singkat oleh Deni, "Anakku."

Akhirnya Dea dan Deni pun sampai di tujuan. Deni langsung mengerjakan pekerjaan menyemprot hama di tanaman sayur, sedangkan Dea memilih untuk duduk di pondok sambil menelepon Anis.

"Halo, De. Sehat, Nak? Sudah sarapan?" tanya Anis di seberang sana. "Jangan telat makan. Sering-sering telepon Mamak," lanjutnya.

"Sehat, Mak. Sudah, Dea makan ayam goreng. Sekarang lagi ikut Ayah ke kebun," beritahu Dea. Biarpun ia sedang mengobrol dengan ibunya, tapi tatapannya tak pernah lepas dari sang ayah yang berada tak jauh darinya. "Pastilah Dea rajin telepon Mamak. Kan Dea sayang Mamak."

"Syukurlah. Kalau gitu Mamak mau berangkat ke kantor dulu, De. Sudah agak telat, nih."

Dea dapat mendengar kalau dari seberang sana ibunya tengah mengunci pintu rumah.

"Iya, Mak. Hati-hati."

"Iya, De."

Dea langsung kembali menyimpan ponselnya setelah telepon dengan ibunya terputus. Ibunya adalah seorang sales counter di sebuah perusahaan dealer mobil.

Dea memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pondok karena banyak hal yang menarik perhatiannya.

Sejauh mata memandang, yang Dea lihat hanyalah warna hijau. Sungguh indah dan pastinya memanjakan mata.

Ingin sekali Dea menetap di sini, Tapi di satu sisi ia harus memikirkan ibunya. Di sana sang ibu sendirian dan sudah sakit-sakitan. Mana mungkin Dea tega meninggalkan ibunya sendirian.

Selain itu, Dea masih memiliki mimpi untuk lanjut kuliah. Bukannya ia sengaja tidak langsung kuliah tahun ini, akan tetapi pendaftaran beasiswanya tahun ini tidak ada yang lulus. Oleh karena itu, ia harus menunggu tahun depan sambil terus belajar. Karena ia tak mampu jika kuliah tanpa beasiswa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top