19

"Apa, sih? Please! Jangan buat aku mati penasaran," kata Dea kesal. Dia sangat kepo maksimal.

"Beberapa hari yang lalu aku bermimpi didatangi tiga harimau. Dan harimau tersebut menyuruh agar kita menikah. Lalu anak kita menjadi Cindaku juga," tutur Alam dengan suara bergetar karena takut akan membuat Dea shock

"Bercanda, pasti!" Dea tertawa terbahak-bahak karena menurutnya itu adalah lelucon. 

Alam dan Deni saling berpandangan melihat kelakuan Dea. Mereka bingung harus menjelaskan bagaimana. 

"Ehem." Deni berdehem dan lantas hal itu membuat Dea berhenti tertawa. "Ini serius, De," katanya. 

"Tapi aku bukan Tingkas, Yah," kata Dea saat tawanya reda, ia menatap ayahnya dan Alam bergantian. 

"Kamu Tingkas. Ibu kandungmu keturunan Tingkas," jelas Alam dengan nada rendah. Ia percaya apa yang dikatakan tiga harimau tersebut, bahwa Dea memang Tingkas. 

"Tap-tapi .... Tapi aku nggak bisa," tolak Dea sambil menatap takut ke arah ayahnya dan Alam bergantian. 

Baik Alam dan Deni sama-sama menarik nafas berat. Mereka tahu, pasti Dea tidak akan setuju. Membuat Dea setuju adanya sebuah PR berat bagi keduanya. 

"Ini demi kebaikan kita semua, De. Kita bertiga sedang dihukum karena melanggar aturan," kata Deni pelan. Meskipun pelan, dapat didengar dengan jelas oleh Dea dan Alam. 

"Kita? Dea juga dihukum? Memangnya Dea salah apa?" tanya Dea mulai ketakutan. Sekarang ia tak segarang tadi. Mendengar dirinya sedang dihukum, ia merasa ciut nyali. 

"Kamu dihukum karena menyuruh aku berubah hanya untuk iseng. Aku dihukum karena mau menuruti keinginanmu. Lalu Datuk dihukum karena menyuruh aku pergi dari kampung," kata Alam. 

Dea terdiam cukup lama. Ia bingung dan masih tidak percaya. Apa iya ketiga harimau yang diceritakan Alam dan ayahnya itu nyata? Bagaimana kalau harimau tersebut adalah halusinasi mereka berdua saja? 

Pikiran-pikiran buruk tersebut melayang-layang di kepala Dea. Ia bingung harus bersikap seperti apa. 

"Beri aku waktu untuk berfikir," kata Dea pada akhirnya. Ia tak mungkin bisa memutuskan masalah besar ini sekarang. Ia harus memikirkan baik-baik agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. 

"Oke. Kapan kamu akan memberi jawaban? Setidaknya aku tau harus menunggu berapa lama," kata Alam. 

"Apakah pernikahan ini harus segera dilaksanakan?" Bukannya menjawab, Dea malah melontarkan pertama. 

"Iya. Harus cepat."

Itu adalah suara Deni. 

"Satu minggu dari sekarang," kata Dea akhirnya. "Aku akan memberimu jawaban satu minggu lagi," lanjutnya. 

Alam hanya mengangguk dan menarik nafas lega. Dalam hatinya berharap supaya Dea menerimanya. Agar tidak ada lagi hukuman baru untuk mereka berdua. 

Hukuman seperti ini saja sudah membuatnya pusing nyaris tidak tidur beberapa hari, apalagi jika harus menerima hukuman yang lebih berat dari ini? 

"Sudah magrib, kalian nggak pulang?" tanya Deni. 

"Aku di sini aja, Tuk. Besok aku libur," kata Alam. Ia memang besok libur. Jadi bukan mengada-ada libur sendiri. 

"Besok Dea shift malam, Yah. Jadi malam ini Dea mau tidur di sini aja," kata Dea. 

Bicara soal pekerjaan, Dea jadi memikirkan satu hal. Jika nanti dirinya benar menikah dengan Alam, bagaimana nasib pekerjaannya? Ia terikat kontrak. Selama satu tahun bekerja tidak boleh menikah. 

Mau keluar dari pekerjaan? Tidak mungkin! Ia tidak akan sanggup membayar penalti. 

Apa yang harus aku lakukan? pikir Dea. 

"Sudah kabari Mamak kamu? Nanti dia nyariin lho!"

Kata-kata Deni membuat menolong di kepala Dea berhamburan. "Iya, Yah. Ini baru mau ngabarin," jawabnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam sling bag lalu mengirimkan pesan kepada ibunya. 

"Aku mau ke toilet dulu, Tuk," pamit Alam dan diangguki oleh Deni. Ia lalu keluar kamar menuju toilet terdekat. Karena ruang rawat inap Deni bukan di kelas VIP, oleh karena itu tidak ada toilet di dalam kamar. 

***

Malam harinya, Deni hanya berdua saja bersama Dea. Alam sedang keluar membeli makan malam. 

"Kamu kenapa?" tanya Deni saat melihat Dea hanya melamun menatap dinding. 

"Nggak papa, Yah," jawab Dea spontan. Ia lalu memainkan ponselnya supaya tidak terlihat sedang melamun. 

"Selamat malam, Pak Deni," sapa perawat yang baru saja masuk. 

"Malam, Sus," jawab Deni. 

Dea bersyukur sekali karena perawat segera masuk, hal itu bisa menghindari kekakuan yang terjadi antara ia dan ayahnya. 

Perawat tersebut lalu mengecek semua kondisi Deni. Termasuk infus dan yang lainnya. Ia juga mengingatkan agar Deni rutin meminum obat supaya lekas pulih. 

Setelah semua pekerjaan selesai, perawat tersebut keluar mengecek kondisi pasien yang lainnya. 

Dea dan Deni kembali berada di dalam keheningan. 

Canggung. 

Ini semua gara-gara pernikahan dan Cindaku. 

"Kamu tau nggak apa arti nama kamu?" tanya Deni memecah keheningan di antara keduanya. 

Dea yang sedang menunduk bermain ponsel, mengangkat wajahnya supaya melihat sang ayah. 

"Nggak tau," jawab Dea dengan polosnya. 

"Dea itu, singkatan dari Deni dan Anis," beritahu Deni dan langsung membuat Dea memutar bola matanya. 

Ternyata kedua orang tuanya sweet juga, sampai menggabungkan nama untuk anaknya. 

Baru saja Dea hendak membuka mulut menanggapi perkataan Deni, Alam sudah masuk ke dalam kamar membawa dua bungkusan plastik di tangannya. 

"Maaf lama. Antri panjang soalnya," kata Alam sambil mengeluarkan tiga botol air mineral dan tiga kotak nasi goreng. 

"Nggak lama kok," sahut Dea. "Perasaan, baru tadi kamu pergi."

"Makan, yuk!" ajak Alam sambil memberikan sekotak nasi dan sebotol minum kepada Deni. 

Ketiganya lalu menyantap makan malam dengan hening. Selama proses makan, tidak ada yang bersuara sama sekali. 

Selesai makan, Dea izin keluar sebentar. Alasannya ingin ke toilet, padahal ia malah duduk sendirian di taman tumah sakit. 

Keadaannya cukup sunyi karena berada di belakang rumah sakit. 

Dea lalu duduk di salah satu kursi panjang lalu memejamkan matanya tapi tidak tidur. 

"Kau harus mau menikah dengan laki-laki itu!"

Dengan sangat jelas, Dea melihat dan mendengar suara seekor harimau berwarna putih menghampirinya dan berkata seperti itu. 

Dea lalu membuka matanya dan melihat sekeliling. Untuk memastikan itu tadi nyata atau hanya halusinasi. 

Jantungnya berdetak sangat kencang, bahkan rasanya seperti merosot sampai ke perut. 

"Itu tadi nyata?" gumamnya. "Nggak! Itu pasti halusinasi." Dea bergumam sendiri sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat. 

Niat hati menyendiri ingin menenangkan pikiran, malah membuatnya jadi memikirkan suatu hal yang sulit diterima akal sehat. 

Dea lalu beranjak dari taman dengan langkah lebar dan pikiran yang tidak karuan. Dua kali ia menyampar tong sampah yang padahal jelas berada di samping jalan, bukan di tengah jalan. 

Setelah sampai di depan kamar rawat inap ayahnya, ia mengatur nafasnya sedemikian rupa. Ketika ia merasa sudah membaik, barulah ia masuk ke kamar tersebut. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top