17

"Apa maksud kalian, Tuk?" tanya Alam saat melihat tiga ekor harimau melihatnya tanpa berkedip. Ia berdiri di tengah-tengah, sedangkan ketiga harimau tersebut mengelilinginya. 

"Kau telah melakukan kesalahan fatal," kata harimau putih sambil menggeram karena marah. 

Alam menatap ketiga harimau tersebut dengan bingung. Kesalahan fatal? Dirinya melakukan kesalahan fatal? 

"Apa kesalahanku, Tuk? Tolong jelaskan! Jangan buat aku bingung," kata Alam sambil terus menatap satu persatu harimau tersebut. "Aku tidak tau apa salahku," ujarnya dengan suara bergetar karena takut bercampur bingung. 

Dirinya berada di kamar kontrakan, dan ketiga harimau tersebut mendatanginya ke kota. Entah bagaimana dan sejak kapan ketiga harimau tersebut sampai, bahkan Alam sendiri tidak tahu bagaimana caranya mereka masuk ke kamar. Saat Alam membuka mata, tiba-tiba saja ketiganya sudah bediri menatap Alam tanpa berkedip. 

Mengetahui dirinya kedatangan tamu, Alam langsung bangun dari tidurnya dan berdiri mendekati ketiganya. Dan ketiganya lalu mengepung Alam dengan cara berdiri melingkar, sedangkan Alam berada di tengah mereka. 

"Tolong katakan! Apa salahku, Tuk?" Karena ketiga hanya diam saja, Alam lalu bertanya sekali lagi. Kali ini getaran suaranya lebih kentara dari yang tadi. 

"Kau bodoh! Bahkan kesalahan sendiri pun, kau tidak sadar!" maki harimau hitam. Dari segi fisik, harimau hitam paling besar dan paling menyeramkan. 

Kata-kata menggelegar harimau hitam, membuat jantung Alam serasa merosot sampai ke perut. Bahkan kakinya sudah gemetar. 

"Aku benar-benar tidak tahu," sahut Alam sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun takut, ia tetap bersuara. Itu semua demi ia bisa tahu apa kesalahannya. 

"Kau meninggalkan hutan begitu saja. Kau pikir itu tidak salah? Di mana tanggung jawabmu? Dasar bodoh!" maki harimau putih dengan nada suara sangat keras. Saking kerasnya, Alam sampai dapat merasakan kalau telinganya berdengung. 

"Maafkan aku, Tuk. Aku tidak tahu kalau perbuatanku salah. Aku pergi ke kota atas perintah guru. Awalnya aku menolak, tapi guru terus memaksa, akhirnya mau tak mau aku pergi ke kota." Alam menjelaskan semuanya dengan suara semakin bergetar. 

Tamat! Tamat! Tamat nih riwayatku. Begitulah kata hati Alam begitu mendengar penjelasan harimau putih tentang kesalahannya. Iya yakin, setelah ini hidupnya tidak akan baik-baik saja. Entah hukuman apa yang menantinya di depan sana. 

Alam takut jika ketiga harimau tersebut akan memberinya sebuah hukuman yang sangat berat dan di luar batas kemampuannya. Andaikan ia bisa lebih tegas dan berani menolak Deni, pasti semua ini tidak akan terjadi. 

Alam meremas sisi celananya dengan kuat. Berharap ia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lama dan tidak jatuh. Ia merasa kalau kedua kakinya sudah mulai lemas. 

"Kau harus mendapat hukuman!" geram sang harimau cokelat. 

Akhirnya yang ditakutkan Alam benar-benar menjadi kenyataan. Ia akan mendapatkan sebuah hukuman. Sebuah? Yakin hanya sebuah? Bagaimana jika dua, tiga, atau sebanyak-banyaknya? 

Nafas Alam sudah kembang kempis. Ia sangat takut dan merasa bersalah. Bagaimana tidak? Suara ketiga harimau tersebut sangat menggelegar dan memekakkan telinga. 

Perlahan-lahan Alam merosot ke lantai, ia terduduk sambil memeluk lutut. Kedua kakinya sudah sangat lemas, tidak kuat untuk berdiri. 

"Kau!" teriak harimau putih. 

Sedari tadi yang banyak bicara hanya harimau putih, dan Alam tidak tahu mengapa bisa demikian. 

Alam mendongakkan wajahnya dan menatap harimau putih dengan takut-takut. 

"Kau tau? Hukuman apa yang pantas untukmu?" tanya sang harimau putih lagi. 

Alam menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak tahu, Tuk," gumamnya. 

"Kau harus menikahi perempuan itu! Lalu anak kalian akan menjadi Cindaku juga!" kata sang harimau cokelat tegas dan tidak dapat dibantah. 

Alam tahu, bahwa wanita yang dimaksud adalah Dea. Bagaimana mungkin ia bisa menikahi Dea? Sedangkan ia tidak memiliki perasaan cinta terhadap perempuan itu. 

"Tapi, Tuk?" protes Alam.

Belum selesai kata-kata Alam, harimau putih sudah memotongnya. "Kau mau menolak, eh?" geramnya.

Kedua taring menyeramkan milik harimau putih tersebut terlihat jelas saat ia menggeram. Dan itu membuat Alam semakin takut. Keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya. 

"Bukan begitu maksudku, Tuk," kata Alam pelan. "Dea bukan tingkas, kan? Bagaimana mungkin anak kami bisa menjadi Cindaku juga?" tanya Alam dengan suara semakin tidak jelas kerena gemetar. 

"Dea itu tingkas. Ibunya keturunan Kerinci asli yang dititipkan di panti asuhan oleh bibinya, karena kedua orang tuanya sudah meninggal," beritahu harimau hitam. 

Ini adalah fakta baru bagi Alam. Ia baru tahu kalau ternyata ibunya Dea juga tingkas. Jadi intinya, Dea juga tingkas. 

Tapi, menikah dengan Dea? Itu tidak mungkin. Dan juga anak mereka harus menjadi Cindaku, itu lebih tidak mungkin. Biar bagaimanapun, Alam tidak ingin anaknya menjadi Cindaku juga. Bahkan ia berencana mencari istri bukan tingkas, supaya anaknya tidak bisa menjadi Cindaku. 

Tapi ini malah ia dihukum harus menikahi Dea yang tingkas juga. Lalu anak mereka harus menjadi Cindaku. Bagaimana ia bisa membicarakan ini kepada Dea? 

Alam menarik nafas berat. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. 

"Kau pasti bingung, bukan? Kenapa kau harus menikah dengan perempuan itu?"

Suara harimau putih membuat Alam mengangkat kepalanya. Ia mentap ke sumber suara. 

"Itu karena perempuan tersebut terlibat dalam kejadian beberapa bulan lalu," kata harimau putih lagi. 

Mendengar itu, Alam hanya bisa pasrah. Entah bagaimana caranya nanti, yang jelas ia akan menceritakan ini kepada Dea. Biar bagaimana pun, Dea harus tahu. Karena ini ada sangkut pautnya dengan perempuan itu juga. 

"Apa kau paham, Anak Muda?" tanya harimau cokelat. 

"Paham, Tuk," jawab Alam pelan. 

"Kalau begitu, segera nikahi perempuan itu! Semakin cepat semakin baik. Karena anakmu akan semakin cepat pula kami didik," kata harimau cokelat lagi. 

"Baik, Tuk," gumam Alam pasrah. 

Setelah Alam mengatakan itu, ketiga harimau tersebut hilang begitu saja. Persis seperti yang ada di film-film. Alam merasa tidak percaya atas penglihatannya barusan. Ia sampai mengucek matanya beberapa kali. 

Namun kesadaran yang lain menyadarkannya. Ia membuka matanya perlahan-lahan. 

Alam lalu meraba tubuhnya yang basah akan keringat, padahal  ia sedang memakai kipas angin. 

"Ternyata itu mimpi," gumam Alam sambil menyentuh dadanya. "Tapi kalau mimpi kenapa seperti nyata? Kenapa jantungku berdetak nggak normal? Kenapa badanku keringetan?" gumamnya lagi. 

Tubuh Alam masih sangat lemas, ia belum kuat untuk bangun. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk rebahan saja di atas kasur. Nanti jika tenaganya sudah pulih, baru ia akan bangun. 

Jujur mimpi tadi tidak bisa Alam percayai begitu saja. Ia harus konsultasi dulu dengan Deni. Bagaimana pun, ia tidak boleh gegabah. 

Dan untuk status Anis sebagai tingkas, Alam juga akan mencari tahunya, supaya semuanya lebih jelas. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top