16

Setelah selesai dari restoran, Dea dan Alam memutuskan untuk mengunjungi taman yang lokasinya tak jauh dari restoran. Keduanya hanya perlu jalan kaki beberapa menit saja. 

"Menurut kamu, gimana kehidupan kota?" tanya Dea di perjalanan. 

"Menyenangkan," sahut Alam singkat dan jelas. Ya, kini Alam telah berhasil beradaptasi dengan keadaan kota. Ia sudah nyaman berada di sini.

"Betah di sini?"

"Betah dong."

"Nggak kangen tanah Kerinci? Cindaku?" tanya Dea lagi. 

"Pasti kangen," jawab Alam sambil terus berjalan. 

"Kalau aku boleh jujur, sampai saat ini pun, aku masih nggak percaya Cindaku itu nyata," ujar Dea saat mereka sudah duduk di sebuah kursi panjang yang ada di taman. "Aku ngerasa kalau yang aku liat beberapa bulan yang lalu cuma mimpi," lanjutnya. 

"Kalau kamu mikir gitu, ya nggak papa," sahut Alam. Sejujurnya ia bingung harus merespon bagaimana. Hanya kata itu saja yang terbesit di otaknya. 

Dea menatap Alam sejenak, kemudian kembali melihat depan. Ia menyenderkan punggungnya di sandaran kursi dan tidak mengatakan apa-apa. 

"Kenapa kamu masih mau temenan sama aku? Padahal kamu tau kalau aku manusia harimau," tanya Alam saat keduanya sudah cukup lama diam. 

"Awalnya aku takut. Tapi lama-lama aku santai. Toh Ayah juga sama kayak kamu."

"Kalau seandainya Ayah kamu bukan Cindaku, apa kamu masih mau temenan sama aku?" tanya Alam. 

"Belum tentu," sahut Dea sambil terkekeh dan Alam hanya bisa menghembuskan nafas kesal. "Bercanda. Gitu amat ekspresinya," lanjutnya masih sambil terkekeh. 

Alam mengangkat bahunya lalu menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi taman. Lalu keduanya kembali diam. 

Entah mengapa keduanya sering sekali diam cukup lama. Lalu kemudian memecah kesunyian dengan pertanyaan dan selanjutnya diam lagi. 

Cukup lama keduanya duduk dan hanya diam. Lalu tiba-tiba Dea memecah kesunyian di antara keduanya. "Pulang, yuk! Udah siang banget," ajaknya sambil melihat jam di pergelangan tangan. 

Sekarang sudah jam dua belas siang. Matahari  bersinar dengan gagahnya di atas sana, membuat Dea kegerahan dan ingin cepat-cepat pulang. 

"Ya udah, ayok. Kita pesen taksi dulu kalau gitu," kata Alam seraya mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online.

Keduanya lalu memesan taksi online secara sendiri-sendiri. Dea menolak diantar pulang jika harus menggunakan taksi online, lebih baik pulang sendiri. 

Alam bukannya tanpa sengaja melakukan hal itu, itu semua karena ia belum memiliki kendaraan sendiri. Sisa gajinya selama enam bulan ini sengaja ia tabung untuk biaya tak terduga. Kalau ia sudah memiliki kendaraan, tak mungkin ia memperlakukan Dea seperti ini.

"Ngomong-ngomong selamat ulang tahun, dan makasih buat traktiranya. Ini kado buat kamu." Dea memberikan sebuah tiket konser Langit Band-- Band ibu kota yang sangat terkenal dan begitu diinginkan oleh Alam. Tapi sayang, tiket tersebut sudah sold out. Beruntung Dea memiliki teman yang mau menjual tiketnya kepada Dea, karena pada saat hari H, sang teman memiliki urusan penting, sehingga tidak bisa datang menonton konser. 

"Seius?" tanya Alam tak percaya. Kedua bola matanya menyinarkan kebahagiaan. "Akhirnya bisa dapet juga. Makasih, De," ucap Alam sambil mengambil sebuah tiket dari tangan Dea. 

"Tapi kamu harus nonton sendiri. Karena aku dapetnya cuma satu tiket aja," kata Dea. 

"Padahal kalau bisa pergi bareng temen bakal seru." Ada kekecewaan di dalam ucapan Alam. 

"Lain kali deh kalau gitu," sahut Dea. 

Belum sempat Alam menjawab, taksi pesanan Dea sudah datang. Perempuan itu lalu masuk ke dalam taksinya. Tapi sebelumnya ia sekali lagi mengucapkan terima kasih dan selamat ulang tahun. 

Tinggallah Alam sendirian menunggu taksi pesanannya. Ia menyimpan tiket pemberian Dea ke dalam tas pinggang. 

Entah mengapa Alam merasa begitu nyaman ketika berdua dengan Dea. Tapi ia yakin, perasaan tersebut bukanlah perasaan cinta laki-laki terhadap perempuan. 

Perasaannya untuk Dea hanyalah sebatas sahabat atau keluarga. Karena selama ini ia tidak memiliki keluarga. Ralat. Hanya memiliki Deni sebagai guru sekaligus ayah angkat. 

Ada beberapa juga sifat Dea yang tidak ia sukai. Di antaranya adalah: boros. 

Alam sendiri memiliki prinsip mencari pasangan hidup yang memang ia menerima sifat si perempuan. Bukan mencari perempuan untuk ia ubah sifat kepribadiannya. Oleh karena itu, ia tak akan menaruh hati kepada perempuan yang memang ia tak bisa menerima sifat dan kepribadiannya.

Cukup lama Alam menunggu taksi pesanannya. Saat ia sudah sangat bosan menunggu, barulah taksi pesanannya sampai. 

Sesampainya di rumah, Alam langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya melayang jauh kepada kehidupannya dulu. 

Dulu saat ia masih kecil, sering sekali bermimpi didatangi oleh beberapa ekor harimau berbeda warna. Lalu setelah ia dewasa dan menjadi Cindaku, harimau tersebut sudah tidak pernah muncul kembali di dalam mimpinya. 

"Terus kenapa sekarang mimpi itu datang lagi?" gumam Alam sambil memijit pelipisnya yang tidak berdenyut. Matanya lurus menatap langit-langit kamar. 

"Atau jangan-jangan ada sesuatu? Tapi apa?" gumamnya lagi. 

Kalau dulu, tiga harimau yang hadir di mimpinya berwarna putih, hitam dan cokelat. Ketiganya membawa Alam ke dalam hutan dan menunjukkan sikap saat ada seseorang yang hendak merusak hutan. 

Pada saat itu, di dalam mimpi ada seorang laki-laki muda berniat menebang pohon dalam jumlah banyak, lalu ketiga harimau tersebut datang dan menyerang. 

Alam kecil hanya bisa duduk meringkuk di balik semak sambil ketakutan. 

Lalu saat bangun, ia menceritakan mimpinya kepada Deni, kemudian Deni membimbingnya sampai ia menguasai ilmu Cindaku. 

Untuk kedua orang tua Alam, sudah meninggal saat alam berusia delapan tahun. 

Lalu beberapa hari belakangan ini tiga sosok harimau berwarna sama seperti harimau saat Alam alam kecil, kembali hadir di dalam mimpinya. 

Namun ketiganya hanya menatap Alam dari jarak yang cukup jauh. Dan hingga saat ini, Alam tidak mengetahui apa makna mimpi tersebut. Pasalnya ketiga harimau tersebut hanya diam saja tidak memberikan tindakan seperti dulu. 

Alam meremas kepalanya karena frustrasi. "Aku harus ngapain?" desisnya masih terus megacak-acak rambut. 

Kalau boleh memilih, kalau waktu bisa diputar kembali, Alam tidak ingin terlahir sebagai tingkas. Alam tidak ingin menjadi Cindaku. Ia ingin menjadi manusia normal pada umumnya. 

Alam menutup kepalanya dengan bantal, dan mencoba memejamkan matanya kuat-kuat. Ia ingin tidur barang sejenak. 

"Kenapa nggak bisa merem, sih? Padahal aku cuma mau tidur saat libur kerja kayak gini," gumamnya. 

Karena tetap tidak bisa tidur, Alam bangun dari kasur lalu mengambil sebuah pil dari dalam laci nakas. Dan ia menelan pil tidur tersebut. Pil yang dibelinya beberapa hari yang lalu setelah konsultasi dengan dokter. 

Dan tak lama, Alam pun tertidur. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top