13
"Suara apa itu?" tanya Dea saat mendengar suara kresek-kresek dari balik semak. Gadis itu menajamkan pendengarannya. Ia takut kalau itu adalah suara binatang buas.
"Diam! Jangan kemana-mana," bisik Herman. Ia lalu merubah dirinya menjadi harimau kemudian lari menuju sumber suara.
Herman tahu kalau itu adalah suara langkah harimau. Oleh karena itu, sebelum harimau tersebut mendekat, terlebih dahulu Herman menghampirinya.
Herman lalu berkomunikasi dengan harimau asli tersebut. "Maaf, aku nggak sengaja masuk ke sini. Tapi aku dan temanku janji, kami nggak akan ngerusak hutan," kata Herman menggunakan bahasa yang hanya dipahami oleh keduanya saja.
Sang harimau asli mengedipkan matanya kemudian berlalu meninggalkan Herman. Setelah ia rasa urusannya dengan penjaga hutan telah selesai, laki-laki tersebut lalu kembali ke tempat semula.
"Suara apa tadi?" tanya Dea begitu melihat Herman dalam wujud manusia mendekat. Ia lalu berdiri dan menghampiri Herman. "Suara apa?" tanya Dea lagi.
"Ranting kering yang jatuh," kata Herman. Ia lalu kembali duduk di bawah pohon rindang.
"Ah, syukurlah. Kirain binatang buas," kata Dea sambil mengelus dadanya karena lega. Ia lalu kembali duduk di sebelah Herman.
Baik Herman maupun Dea terdiam cukup lama. Masing-masing dari mereka larut dalam pikiran sendiri-sendiri.
Dea sedang memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini. Ia sedang memegang ponselnya sambil berharap tiba-tiba ada sinyal. Namun nihil. Semua harapan Dea sia-sia belaka, karena sampai sekarang ponselnya belum memiliki sinyal.
Kenapa nggak ada yang punya ide buat bangun tower di hutan, sih? batin Dea sambil menggeram dan memukul-mukul tanah menggunakan tangan kirinya.
Sedangkan Herman sendiri sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sedang memikirkan hukuman apa yang akan diterimanaya karena telah berubah wujud hanya karena iseng, bukan karena tujuan ingin menjaga hutan.
Karena frustrasi, Dea lalu menyimpan kembali ponselnya di dalam saku celana. Ia harus berhemat batrey.
Angin yang sejuk membuat Dea mengantuk. Perlahan-lahan gadis tersebut menutup matanya. Hingga tak lama pejamannya pun tertutup sempurna.
Menyadari Dea sudah terlelap. Herman memilih untuk berjaga saja. Ia tidak mau kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti tiba-tiba ada binatang buas yang menerkam saat mereka sedang pulas, atau gangguan lainnya.
Semilir angin menerpa wajah tenang Dea yang sedang terlelap. Beberapa anak rambutnya terbang menutupi wajah.
Herman menghembuskan nafasnya kasar, lalu membuang pandangan ke depan. Ia tak mau terus-terusan menatap Dea. Walaupun sekarang ia tidak memiliki perasaan apapun pada perempuan tersebut, tapi kalau lama-lama menatapnya, bisa-bisa ia jatuh cinta. Karena ada pepatah, cinta bisa datang karena kebiasaan.
Dea menggeliat pelan lalu mengubah posisi tidurnya menjadi miring ke kanan. Herman melihat ke kiri sekilas, lalu kembali melihat ke depan.
Lagi-lagi, pikiran laki-laki tersebut mengembara jauh. Ia terpikirkan akan ramuan aneh yang melukai gurunya. Ingin sekali ia mencari tahu, tapi mau bagaimana lagi, sekarang ia sedang tersesat di dalam hutan.
***
Hari sudah semakin gelap. Baik Dea dan Herman masih berada di dalam hutan. Keduanya baru saja mengambil jambu di tepi sungai dan mencari-cari jalan keluar, tapi tetap saja nihil.
Karena frustrasi, keduanya memilih untuk duduk di sebuah pohon yang tumbang karena terkena sambaran petir.
Tanpa keduanya sadari, Deni sudah berada tepat di belakang mereka.
"Kalian nggak mau pulang?" tanya Deni sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kayak suara Ayah," gumam Dea. Ia pun lalu melihat ke sumber suara. "Ayaahh!" pekik Dea kegirangan. Ia lalu memeluk ayahnya erat.
"Kok Datuk bisa sampai sini?" tanya Herman.
Dea lalu melepaskan pelukannya dan kembali duduk di sebelah Herman. Ia ingin mendengar ayahnya bicara.
"Kenapa kau nekat berubah tanpa tujuan yang jelas?" Bukannya menjawab, Deni malah melayang pertanyaan untuk Herman.
"Dea yang maksa, Yah. Maaf," sesal Dea sambil menunduk. Ia meremas tangan kanannya erat, hingga tangannya berubah warna menjadi merah.
"Kenapa kalian nggak pulang?" tanya Deni dengan wajah datarnya.
"Kam ...." Belum selesai kata-kata Herman, sudah dipotong oleh Dea.
"Kami tersesat," kata Dea sambil menggigit bibir bawahnya. Gadis itu mengangkat kepalanya lalu menatap ke arah ayahnya. "Dea takut dihakimi warga, makanya kabur ke dalam hutan," katanya sambil melihat takut-takut ke arah sang ayah.
"Nggak ada yang mau menghakimi kalian," kata Deni tegas. Ia masih betah berdiri. Meskipun sudah berumur, tapi tenaganya masih kuat. Ia masih sanggup untuk berdiri lama.
"Dea takut dibakar, kayak yang di film-film. Serem banget," kata Dea. "Pasti warga nggak suka manusia jadi-jadian," lanjutnya.
"Mamak kamu sampai datang ke kampung gara-gara kamu hilang," kata Deni sambil menatap tajam ke arah Dea.
"Mamak? Mamak datang?" tanya Dea tak percaya. Pasalnya ia hilang belum dua puluh empat jam, tapi ibunya sudah heboh. "Sekarang Mamak di mana?" tanya Dea.
"Rumah."
"Rumah siapa?" tanya Dea.
"Rumah Ayah," jawab Deni. "Sekarang, ayo pulang!" ajak Deni sambil memasang ekspresi tegas.
"Warga bagaimana, Tuk? Kami aman, nggak?" tanya Herman sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di batang pohon yang ia duduki.
"Kalian aman," jawab Deni.
"Beneran, Yah? Kami nggak dibakar? Kami aman?" tanya Dea tak percaya.
"Iya."
Dea langsung meninju udara menggunakan tangan kanannya. Mendengar berita kalau dirinya dan Herman aman dari amukan warga, ia merasa bahagia.
"Oke kalau gitu. Ayok kita pulang!" ajak Dea. Ia lalu berdiri.
Lalu ketiganya pulang ke kampung dengan berjalan kaki. Banyak semak setinggi dada yang harus mereka lewati.
Entah mengapa kemarin malam semak tersebut tidak terlihat bagi Dea dan Herman.
"Kaki Ayah gimana? Sakit, nggak?" tanya Dea di tengah perjalanan.
"Enggak," jawab Deni sambil terus berjalan. Karena memang, sejak awal kakinya tidak terasa sakit. Dea saja yang aneh bertanya seperti itu.
"Soal ramuan itu? Ayah sudah tau?" tanya Dea lagi. Entah mengapa dirinya tidak bisa diam dan selalu mengoceh.
"Sudah," jawab Deni sambil terus berjalan.
"Datuk sudah tau? Terus kayak mana, Tuk?" tanya Herman. Mendengar fakta kalau gurunya telah mengetahui tentang ramuan aneh tersebut, membuatnya penasaran akan cerita lebih lanjutnya.
"Nanti, di rumah," kata Deni tanpa menoleh ke belakang.
Deni sebagai penunjuk jalan, berada di paling depan. Sedangkan Dea berada di tengah, dan Herman paling belakang.
Sesekali Dea menoleh ke belakang, takut kalau Herman kehilangan jejak mereka lalu pria itu tersesat.
Malam semakin turun dan suara-suara binatang malam telah mulai terdengar bersahut-sahutan.
Mereka terus saja berjalan menyusuri semak yang tinggi. Sekitar pukul 23:30, mereka sampai di kampung.
Sesampainya di rumah, Dea langsung menghambur ke dalam pelukan ibunya. Gadis itu menangis haru.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top