12

Dea membuka matanya ketika mendengar suara-suara aneh. Ternyata suara tersebut berasal dari Herman yang kedinginan. 

Dea merangkak perlahan-lahan ke arah Herman yang berada tak jauh darinya. "Kenapa?" tanyanya. 

Melihat Herman diam saja sambil menggigil kedinginan, Dea tahu kalau laki-laki tersebut sedang kedinginan. Karena Dea tidak mau Herman terkena hipotermia, ia langsung memeluk Herman agar laki-laki tersebut hangat. Ia tak mungkin memberikan jaketnya, karena ia tak mau kedinginan seperti Herman. 

"Jangan coba-coba cari kesempatan," bisik Dea sambil mengeratkan pelukannya. "Aku kayak gini karena nggak mau kamu hipotermia terus mati, aku takut sendirian di hutan ini. Pokoknya kamu nggak boleh mati kedinginan." Dea terus mengoceh lirih.

Tapi karena tubuh Herman lebih besar dari Dea, membuat Dea kesusahan. Akhirnya ia memutuskan memberikan jaketnya kepada Herman. Lalu setelah itu, ia membenamkan tubuhnya di dalam pelukan Herman. 

"Ingat, jangan cari-cari kesempatan! Ini keadaan darurat," kata Dea lagi. 

"Iya," jawab Herman dengan bibir biru yang bergetar karena dingin. 

Keduanya lalu tidur sambil berpelukan di bawah pohon besar yang sangat rindang. Untung saja malam ini tidak hujan. Kalau hujan, entah bagaimana nasib keduanya. 

Keesokan paginya, Herman bangun lebih dulu. Ia mengucek matanya dua kali begitu melihat cahaya matahari sudah mulai turun. Ia hendak berdiri, tapi diurungkannya begitu melihat Dea masih terlelap. 

Dasar perempuan keras kepala, batin Herman sambil mendengus pelan. 

Biar bagaimana pun, Herman adalah laki-laki, dan Dea perempuan. Berpelukan seperti ini membuat Herman merasakan sesuatu hal asing dalam dirinya. Dirinya seperti disengati aliran listrik tegangan rendah. 

Tapi Herman masih waras. Ia tak berani berbuat lebih. Selain karena Dea pasti akan murka, juga karena ini di hutan. Kita dilarang berbuat tidak senonoh di dalam hutan. 

Lama banget sih bangunnya. Nggak tau apa aku tersiksa, geram Herman dalam hati. Terang saja ia geram, hari sudah seterang ini namun Dea belum juga bangun. 

Herman merasakan kalau Dea bergerak pelan di dalam pelukannya. Sepertinya gadis tersebut sudah bangun. Hanya saja nyawanya belum terkumpul semua. 

Namun tiba-tiba Dea langsung menyentakkan tangan Herman dan menjauh dari laki-laki tersebut. "Kurang ajar banget, sih. Pake peluk-peluk segala. Mau nyari kesempatan, eh?" bentak Dea sambil menunjuk-nunjuk Herman. 

Herman menghembuskan nafasnya frustrasi. Bagaimana mungkin perempuan meyebalkan itu tidak sadar tentang semalam?

Herman lebih memilih diam lalu berjalan-jalan di sekitar hutan. Ia hendak mencari sungai atau mungkin ada tanaman yang bisa dimakan. Mereka berdua  benar-benar tersesat di dalam hutan. 

"Eh, Herman! Jangan ninggalin, dong. Aku takut nih," ucap Dea sambil berlari-lari kecil mendekat ke arah Herman. "Soal yang tadi, maaf. Itu tadi cuma efek bangun tidur," kata Dea pelan. 

"Hmm." Herman hanya menjawab dengan gumaman saja. 

"Mau pulang, ya? Aku takut pulang. Kamu tau kan babi ngepet? Babi ngepet itu manusia jadi-jadian. Da ...."

"Babi jadi-jadian. Bukan manusia jadi-jadian." Belum selesai kata-kata Dea, sudah dipotong oleh Herman. 

"Iya, itulah pokoknya. Oke lanjut. Dan kalau babi jadi-jadian itu ketemu warga, bisa dibakar hidup-hidup tuh babi!" kata Dea sambil bergidik ngeri. "Aku sendiri nggak mau punya nasib kayak babi itu. Serem, tauk! Aku masih mau hidup," kata Dea lagi. 

"Kamu nyamain aku sama babi?" tanya Herman datar. 

"Bu-bukan gitu. Maksud aku, di sini kasusnya sama-sama jadi-jadian," kata Dea sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mau ke mana, sih?" tanya Dea bingung. 

"Cari air sama makanan."

"Emang ada?"

"Makanya dicari," jawab Herman ketus. 

Dea lalu mengatupkan bibirnya rapat-rapat karena ia tahu Herman sedang kesal dengannya. 

Setelah berjalan cukup lama, mereka pun bertemu dengan sebuah aliran sungai yang airnya sangat jernih. Dan di dekat aliran sungai tersebut ada sebuah pohon jambu air yang berbuah sangat lebat. 

"Masa di hutan ada pohon jambu? Ini penyesatan pasti," gumam Dea sambil mencuci tangannya di sungai. "Pasti itu bukan jambu asli. Itu jambu jadi-jadian," gumam Dea lagi. Ia lalu mencuci mukanya di air sungai yang jernih. 

"Brrr .... Dingin," gumam Dea sambil berjalan menepi dari bibir sungai. "Mau ngapain, Man?" tanya Dea saat melihat Herman memanjat pohon jambu. 

"Makan," sahut Herman. Ia lalu memakan jambu di atas ranting pohon. Lalu membuang sampahnya ke bawah. Setelah kenyang, ia turun. Tak lupa juga ia membawakan untuk Dea. "Makan!" ucap Herman dengan datar.

"Nggak mau, ah!" tolak Dea sambil menggeleng kuat-kuat. "Mana mungkin di hutan ada pohon jambu. Itu pasti jambu jadi-jadian, bukan jambu asli," kata Dea sambil melangkah mundur beberapa langkah. 

"Justru jambu asalnya dari hutan. Terus dibawa warga ke perkampungan untuk dibudidayakan," kata Herman asal. Ia hanya ingin membujuk Dea, agar gadis menyebalkan tersebut mau makan. 

"Emangnya iya?" tanya Dea dengan polosnya. 

Melihat itu, hampir saja Herman tertawa. "Iya," kata Herman sambil menyodorkan jambu ke hadapan Dea. 

Dengan gerakan pelan, Dea mengambil jambu tersebut dan memakannya pelan-pelan.

"Enak. Manis," gumam Dea di sela-sela kunyahannya. Ia pun langsung melahapnya dengan nikmat. Tidak takut-takut seperti tadi. 

Melihat itu, Herman tersebut puas. Akhirnya ia berhasil membujuk gadis keras kepala makan. Ia tak mau Dea sakit, pasti akan menyusahkan. Gadis itu sehat saja kelakuannya menyebalkan, apalagi ketika sakit. 

"Mau sampai kapan kita di sini?" tanya Dea ketika telah selesai makan. 

"Tahun depan," jawab Herman sambil berlalu. 

Dea mendengus pelan sambil berjalan mengikuti Herman. "Kamu mau nyari jalan pulang?" tanya Dea. 

"Iya."

"Aku takut," kata Dea. 

Herman menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang. Ia mengangkat satu alisnya pertanda menanyakan 'takut apa?'. 

"Takut pulang kampung," kata Dea yang tahu maksud pertanyaan isyarat Herman. 

Herman menelan ludahnya kasar. Ia memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar yang rindang. 

Sementara itu, Dea pun mengikuti langkah Herman. Ia pun bersandar pada pohon yang sama. 

Matahari sudah semakin terik. Dari dalam hutan yang rimbun, hanya sedikit saja cahaya tersebut dapat masuk. 

"Kamu marah sama aku, ya? Aku minta maaf, Man," kata Dea memecah kesunyian di antara mereka. 

"Hmm." Herman hanya menjawab dengan gumaman saja. Laki-laki tersebut duduk sambil memeluk lututnya. 

Dan Dea hanya bisa terdiam dalam penyesalannya. Andai saja ia tidak keras kepala. Tidak memaksa Herman untuk berubah wujud. Pasti semuanya tidak akan seperti ini. Sekarang nasi telah menjadi bubur, tak ada yang bisa Dea lakukan selain menyesali diri. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top