11

"Ayo, ikut aku!" ajak Dea sambil menarik paksa tangan Herman. 

"Eh ... kemana?" tanya Herman bingung. 

"Udah. Ikut aja!" kata Dea sambil terus menarik tangan Herman menuju hutan.

Dea sengaja menculik Herman dari rumahnya lalu membawanya ke hutan. Ada sesuatu yang ingin dia tahu. 

"Ini hutan? Ngapain, sih?" tanya Herman. Ia sangat tidak nyaman akan ulah Dea. Namun begitu, ia tetap menurut saja. Meski dalam hatinya bertanya-tanya. 

"Nggak ada yang liat kita, kan?" tanya Dea sambil melihat kanan kiri. 

Sekarang sudah pukul 17:00. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Sementara dengan gegabah, Dea malah membawa Herman ke hutan. 

"Ah ... akhirnya sampai," kata Dea sambil membungkuk dan memegang lututnya karena lelah berjalan cepat. 

"Mau ngapain, sih?" tanya Herman bingung. 

"Berubah sekarang!" perintah Dea. 

"Berubah apa?" tanya Herman bingung. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

Dea menatap Herman sambil tersenyum kaku. "Cindaku," ucapnya. "Aku mau liat secara jelas. Waktu itu kan malam. Aku nggak bisa liat jelas. Mau, ya? Please!" rengeknya sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. 

"Nggak!" tolak Herman tegas. Terang saja ia menolak, Cindaku tidak boleh sembarangan berubah. Apalagi untuk hal iseng seperti ini. 

"Please! Mau, ya? Aku penasaran banget, nih. Mau minta Ayah, nggak mungkin. Pasti Ayah nggak mau," kata Dea sambil memajukan bibirnya. Persis seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. 

"Aku juga nggak mau," sahut Herman tegas. "Udah, ayo pulang! Sebentar lagi gelap. Nanti Ayah kamu nyariin," kata Herman. 

"Tenang aja. Aku bawa HP, kok. Ada senternya. Batrey-nya masih full," kata Dea sambil mengambil ponselnya dari saku celana. "Ayah nggak akan nyari, aku udah izin. Izin mau nyari tau soal ramuan aneh itu, dan Ayah langsung ngasih izin karena aku bilangnya mau pergi sama kamu," kata Dea lagi. Ia kembali menyimpan ponselnya di dalam saku setelah memerkannya pada Herman. 

Herman menghembuskan nafasnya kasar. Dalam hati, ia sangat merutuki Dea yang keras kepala. 

Karena malas berdebat, Herman memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena percuma saja, apapun yang ia katakan, pasti Dea tidak akan percaya. Ia duduk di akar pohon yang akarnya keluar dari tanah. Sambil duduk, ia melihat ke arah Dea yang berdiri di sebelahnya. 

"Herman, ayo, dong!" Dea terus merengek. Bahkan sekarang ia berjongkok di depan Herman sambil menggoyang-goyang kaki laki-laki tersebut. 

Herman diam saja, tidak menjawab sepatah katapun. 

"Aku sering baca novel manusia serigala. Mereka bisa tuh, mau berubah jadi serigala kapan aja. Nggak ada pantangan apapun."

"Itu serigala. Bukan Harimau." Akhirnya Herman batal dari puasa ngomongnya. 

"Sama aja. Harimau sama serigala itu mirip," sahut Dea tak mau kalah. 

Hari sudah menjadi semakin gelap. Suara binatang malam mulai terdengar. Keduanya masih duduk bersebelahan di dalam hutan. 

Herman mendengus kesal saat Dea kembali merengek. "Aku cuma mau liat, sebentar aja," ujarnya. 

Entah mengapa Dea sangat penasaran sekali akan wujud Cindaku. Selain itu, dirinya ingin melihat harimau secara dekat sambil memegangnya. Apakah sensasinya mirip seperti memegang kucing atau tidak. 

Pasalnya Dea adalah pecinta kucing. Setiap berkunjung ke kebun binatang, ia selalu ingin sekali memegang si kucing raksasa alias harimau. Tapi apa boleh buat, ia tak bisa melakukan itu. Alhasil sampai sekarang ia masih menyimpan rasa penasaran itu. 

"Kalau aku udah berubah, kamu mau apa?" tanya Herman memecah kesunyian di antara mereka. 

"Megang. Udah itu aja," kata Dea dengan polosnya. 

Herman menghembuskan nafasnya kasar. Lalu tiba-tiba saja ia menerungkupkan dirinya di tanah. Lalu berubahlah ia menjadi harimau. 

Melihat hal spontan tersebut, Dea terkejut. Ia sampai melompat ke belakang. 

Belum sempat rasa kaget Dea hilang, ia kembali kaget saat mendengar banyak suara mendekat. 

"Cindaku!"

"Herman Cindaku!"

"Ada Cindaku!"

Tanpa pikir panjang Dea langsung naik ke tubuh Herman. Lalu Herman pun menarik langkah seribu. 

Tanpa mereka berdua sadari, sedari tadi gerak-gerik keduanya dipantau oleh warga. 

Saat salah seorang warga melihat Dea menarik-narik Herman ke dalam hutan, mereka langsung membuntuti keduanya karena curiga mereka akan melakukan perbuatan mesum di hutan. Tapi ternyata mereka malah melihat Herman berubah menjadi harimau. 

"Kabur! Mereka kabur!" teriak Wira sambil menunjuk ke arah selatan. Jejak keduanya sudah tidak terlihat, karena Herman berlari dengan kencang. 

"Kita susul aja," saran beberapa orang. 

"Jangan. Kita nggak boleh masuk hutan. Memangnya mau, kita pulang tinggal nama?" tanya Wira. "Udah, kita pulang aja. Kita tunggu mereka di rumah," kata Wira dan diangguki oleh semuanya. Mereka pun lalu pulang ke rumah masing-masing.

Sementara itu jauh di dalam hutan, Dea dan Herman sedang duduk di tanah sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan. 

"Maaf," sesal Dea lirih sambil menunduk. Ia sangat menyesali perbuatannya yang bodoh. "Harusnya aku nggak maksa kamu."

Hening. 

Herman tak menjawab apa-apa. Ia memilih diam dan mengatur nafasnya yang masih terputus-putus. 

"Aku nggak berani balik ke kampung. Takut dihakimi masa," kata Dea lagi. "Aku nggak mau dibakar atau sebagainya. Takut." Dea terus mengoceh apa saja. Dan lagi-lagi Herman tidak menjawab apa-apa. Ia lebih memilih diam. 

Awalnya hati kecil Herman mengatakan kalau mereka tidak akan diapa-apakan ketika pulang. Karena Cindaku sudah sangat familiar bagi orang Kerinci. Tapi karena Dea terus-terusan bergumam ketakutan, hal itu membuat Herman pun ikut takut. Sepertinya kata-kata Dea telah mencuci otak Herman. 

"Ya ampun, kok nggak ada sinyal, sih?" gumam Dea sambil menggoyang-goyangkan ponselnya. "Ini di mana, sih? Serem banget."

Karena frustrasi tidak mendapatkan sinyal, Dea memilih untuk duduk tak jauh dari Herman. Ia menyandarkan punggungnya di sebuah pohon besar yang rindang. 

"Berarti, tadi itu kita dibuntuti warga," kata Dea sambil menatap ke arah Herman. 

Hening. 

Lagi-lagi Herman memilih diam dan tak mengatakan apa-apa. Hal tersebut membuat Dea semakin merasa bersalah. Ia tahu kalau Herman sedang marah padanya. 

Malam semakin larut, Dea yang sudah mengantuk pun tertidur di bawah pohon sambil memeluk lututnya. Beruntung ia memakai jaket tebal serta celana panjang, sehingga ia tidak merasa terlalu dingin. 

Sementara itu, Herman tidak bisa tidur sama sekali. Ia memakai celana panjang dengan baju lengan pendek. Rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. 

Berbagai macam cara agar tidak kedinginan ia lakukan. Mulai dari menyimpan kedua tangannya di lipatan ketiak. Hingga meringkuk sambil memeluk lutut. Tapi itu tetap tidak bisa membantu, ia masih kedinginan. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top