10
"Mak Retno itu janda ya, Yah?" tanya Dea di sela-sela aktivitas memotong kuku tangannya.
"Iya," jawab Deni sambil mengaduk gelas kopinya yang masih panas.
Dea mengangguk beberapa kali. Saat ini mereka sedang menghabiskan waktu berdua sambil membicarakan berbagai hal di ruang keluarga.
Tadi pagi keduanya baru pulang dari rumah sakit. Dan sore ini keduanya memutuskan untuk quality time.
"Kemarin Mak Retno kesini. Dia ngasih pisang goreng, tapi Dea buang. Takut ada peletnya," kata Dea sambil memasang wajah bersalah.
"Untuk apa Retno melet kamu? Perasaan Ayah, dia bukan lesbian," jawab Deni. Ia lalu mengambil setoples kue nastar, lalu memakannya.
Dea terkekeh geli melihat kepolosan ayahnya. "Ya melet Ayah, lah. Masak Dea," kata Dea sambil memegang perutnya yang kram akibat tertawa. "Memangnya Ayah nggak sadar kalau Mak Retno naksir Ayah?" tanya Dea.
Deni langsung menunjukkan wajah tidak suka. Kentara sekali kalau ia tak menyukai Retno. Tapi sepertinya Dea tak mengerti itu, gadis sembilan belas tahun tersebut kembali bertanya. "Memangnya Ayah nggak sadar kalau ditaksir Mak Retno? Dea aja yang baru sekali ketemu, langsung tau," kata Dea lagi.
Deni mendengus pelan. "Enggak," jawabnya singkat.
Melihat hal itu, Dea tersenyum misterius sambil menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu, kalau saat ini ayahnya tersebut sedang tidak tertarik dengan perempuan mana pun.
Padahal kalau dilihat dari segi fisik, Retno itu cukup cantik. Kulitnya bersih berwarna kuning langsat. Tingginya kira-kira 160 CM. Rambutnya hitam bergelombang sepanjang punggung. Dan tentu saja kulitnya belum keriput karena usianya baru menginjak angka kepala empat awal.
"Tuk Deni," panggil orang dari depan rumah.
Dea langsung bergegas menuju pintu lalu membukanya. Panjang umur, batin Dea. Karena sosok yang barusan mereka bicarakan datang bersama seorang batita perempuan.
"Tuk Deni ada?" tanya Retno sambil menggendong sang batita menggunakan kain gendongan dan di tangan kanannya memegang plastik hitam.
"Ada, Mak, di dalam," kata Dea. "Ngomong-ngomong ini siapa?" tanya Dea sambil pura-pura mencubit pipi sang batita.
"Nia, Tante," kata Retno sambil mengangkat tangan kanan Nia untuk menyalami Dea. "Ini cucu Mamak," beritahu Retno dan diangguki oleh Dea.
Dea pun lalu mengajak Retno untuk masuk ke ruang tamu. Lalu kemudian ia menyuruh ayahnya menemui Retno.
Setelah membuatkan minuman untuk sang tamu, Dea memutuskan untuk istirahat di kamar. Ia sengaja ingin memberikan privasi kepada ayah dan sang tamu.
Sementara itu di ruang tamu, Retno menanyakan berbagai macam hal. Karena memang pada dasarnya ia banyak bicara. Jadi apa saja pasti ia bicarakan. Dan sifat itulah yang tidak disukai Deni, tapi sampai sekarang Retno tidak tahu itu, karena Deni tidak pernah memberi tahunya.
"Kok bisa kaki Tuk Deni ketancep ranting sampai tembus gitu?" tanya Retno sambil bergidik ngeri.
Baik Deni, Dea dan Herman memang mengatakan kalau kaki Deni luka tertancap ranting tajam, bukan terkena tembakan. Mereka tidak mau kalau sampai orang kampung tahu kejadian yang sebenarnya. Pasti bisa geger.
"Bisa. Lagi nyari kayu untuk masak, nggak sengaja aja ketancep," kata Deni malas. Entah mengapa ia tidak pernah tertarik untuk mengobrol dengan Retno.
"Ngeri nian, Tuk. Lain kali hati-hati, ah. Jangan ceroboh lagi," kata Retno sok menasehati.
Mereka duduk berhadap-hadapan di kursi rotan. Sementara untuk Nia sendiri dipangku oleh sang nenek.
Beruntungnya Retno, karena Nia tidak rewel. Batita tersebut sedang asik menikmati kukis cokelat sampai mulutnya penuh dengan warna cokelat. Lalu Retno mengelap mulut cucunya menggunakan kain gendongan karena ia tak membawa sapu tangan, dan di rumah Deni tidak ada tisu.
"Ngomong-ngomong tau nggak, Tuk? Salim sama Rini mau nikah bulan depan." Nama yang disebut Retno adalah warga kampung sebelah. Salim sendiri berusia tiga puluh enam, sementara Riri berusia lima puluh tahun.
"Kalau aku sih, nggak suka sama brondong. Sukanya sama yang lebih tua," kata Retno sambil terbatuk-batuk kecil. Ia menatap Deni sambil tersenyum malu.
Deni yang paham arah pembicaraan Retno, mendengus pelan lalu membuang muka ke kanan. Ia jengah dilihat seperti itu.
Merasa dicueki, Retno langsung mengutarakan isi hatinya secara terang-terangan. "Aku suka sama Tuk Deni sejak lama. Tuk Deni suka aku juga nggak?" Retno mengucap kalimat tersebut hanya dengan satu tarikan nafas. Ia berani bicara seperti ini karena Nia baru berusia delapan bulan, belum mengerti apa-apa.
Dengan tegas Deni menolak. "Enggak."
Sontak wajah Retno langsung berubah merah karena malu. Ia menyesal telah berkata terus terang. Kalau ia tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik ia mencintai dalam diam saja. Ia sungguh merutuki kebodohannya.
Retno menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai guna menetralisir rasa malu.
Tiba-tiba saja Nia menangis. Entah ia haus atau apa. Tapi Retno berterima kasih pada batita tersebut. Karena berkat bantuan cucunya itu, ia bisa memiliki alasan untuk berpamitan pulang.
"Kami pulang dulu, Tuk. Cepet sembuh," kata Retno lalu menggendong Nia dan membawanya pulang.
"Iya," sahut Deni datar.
Setelah Retno pulang, Deni menyadarkan punggungnya di sandaran kursi lalu membakar rokok dan menghisapnya. Ia memang sudah kecanduan rokok sejak kecil.
Sementara itu, tanpa disadari oleh Deni, tiba-tiba saja Dea muncul lalu duduk di sebelah ayahnya.
"Ehem ...." Dea berdehem pelan. Lalu iya mulai berbicara. "Dea denger semuanya," kata Dea sambil menahan senyuman.
"Hmm." Tiba-tiba saja Deni kembali menjadi dingin dan irit bicara.
Namun demikian, Dea tetap bersemangat menggoda sang ayah. "Ayah tega banget, sih. Kasian lho Mak Retno, kan dia malu jadinya," kata Dea. Ia memang tidak menyukai Retno, tapi dalam hal ini entah mengapa rasanya Dea ingin sekali menggoda ayahnya habis-habisan.
Hening.
Tak ada jawaban. Deni hanya diam membisu sambil menghisap rokoknya sambil menatap lurus ke pintu. Ia tahu Dea sedang menggodanya, oleh karena itu, ia lebih memilih diam agar tidak ada salah ucap.
"Ngomong-ngomong, asap Ayah bikin sesak," kata Dea sambil menatap ayahnya.
Tanpa banyak bicara Deni langsung mematikan rokoknya yang masih panjang. Lalu menaruhnya di tepi asbak.
"Ayah kenapa diam, sih? Padahal Dea sudah seneng karena kemarin Ayah banyak ngomong. Eh, sekarang malah diam lagi," gumam Dea sambil memainkan ujung kardigannya.
"Ayah nggak suka sama Retno," jawab Deni pada akhirnya.
"Terus, Ayah sukanya sama siapa, dong?" tanya Dea sambil menaik turunkan alisnya. Tak lupa sebuah senyum jahil ia berikan untuk ayahnya.
Melihat itu, Deni hanya diam saja dan tak menjawab apa-apa. Ia langsung berdiri dan meninggalkan Dea begitu saja. Tapi sebelum pergi, ia mengusap puncak kepala Dea pelan.
Mendapat perlakuan seperti itu, Dea terdiam beberapa saat. Ia memegang puncak kepalanya sambil tersenyum bahagia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top