1
Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, alamat, dan kejadian serupa, itu murni ketidak sengajaan.
***
Dea melihat sekeliling dengan perasaan asing. Pasalnya seumur hidup baru sekali ini dia bertemu dengan sosok ayah biologisnya.
"Kamu sudah lulus SMA?" tanya Deni. Laki-laki paruh baya tersebut sedang memegang secangkir kopi hitam, lalu menyesapnya.
"Sudah, Yah," jawab Dea canggung. Terang saja canggung, ia hanya berdua saja di rumah ini bersama Deni yang baru ditemuinya beberapa jam yang lalu. "Ayah tinggal sendiri?" tanya Dea hati-hati.
"Iya."
"Ayah nggak nikah lagi?" tanya Dea hati-hati, ia takut menyinggung ayahnya.
"Enggak."
Dea tidak berani bertanya lebih lanjut lagi. Ia memilih diam sambil menunduk dan melihat kakinya yang dia gerak-gerakkan.
"Istirahat, sana. Itu kamar kamu!" kata Deni seraya menunjuk sebuah kamar yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Dea yang memang sudah sangat lelah karena berjam-jam di dalam mobil, memutuskan untuk masuk ke dalam kamar untuk istirahat.
Setelah berganti pakaian menjadi pakaian rumahan dengan celana training panjang dan kaos polos lengan pendek, Dea tertidur pulas.
Sebelumnya Dea sudah mencuci kaki dan muka. Hanya saja ia memang tidak mandi sekalian, karena cuacanya sangat dingin.
Selama sembilan belas tahun Dea hidup terpisah dengan Deni. Dea bersama Anis-- sang ibu, tinggal di Kota Jambi, sedangkan Deni tinggal di lereng Gunung Kerinci.
Sementara itu, di luar kamar. Deni masih menyesap kopinya sambil menghisap rokok. Ia tak menyangka kalau anak semata wayangnya tumbuh menjadi gadis cantik dan sekarang tinggal bersamanya.
Meskipun Deni tahu, ia tak akan bisa hidup selamanya dengan Dea, karena Dea pasti akan kembali pada Anis.
Deni menghembuskan nafas berat sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Dea adalah anak yang dari dulu ia rindukan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat banyak karena Anis tidak mengizinkan ia bertemu dengan Dea.
Lalu jika sekarang Dea bisa menemuinya, entah ilmu apa yang dipakai Dea sehingga bisa meluluhkan hati Anis. Pasalnya selama ini, yang Deni kenal, Anis adalah seorang perempuan keras kepala.
"Tuk! Tuk Deni!"
Panggilan dari luar rumahnya membuat menolong di kepala Deni berhamburan. Ia buru-buru membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang.
"Ada apa, Man?" tanya Deni setelah membuka pintu.
Herman tak kunjung menjawab. Ia diam beberapa saat. "Anu, Tuk ...."
"Masuk! Ngomong di dalem, aja," ajak Deni.
Keduanya lalu masuk ke rumah Deni dan duduk berhadapan di kursi rotan yang ada di ruang tamu.
Deni adalah kepada Dusun di kampung ini. Selain itu, ia juga mempunyai darah Tingkas. Tingkas adalah sebutan bagi orang yang memiliki darah keturunan nenek moyang orang Kerinci.
Di sini, Deni dipanggil Datuk Deni atau disingkat menjadi Tuk Deni. Karena memang usianya yang sudah menginjak kepala lima. Sudah sepuh.
"Ada apa?" tanya Deni sekali lagi karena ia bingung hanya melihat Herman diam saja.
"Ada yang mau merusak hutan. Dia dari kota, Tuk," beritahu Herman.
Deni tak langsung menjawab, ia diam beberapa saat. "Ngerusak hutan buat apa?" tanya Deni seraya menaruh kaki kanannya di atas kaki kiri.
"Mereka mau nyari harta karun. Katanya mereka bakal datang seminggu lagi," kata Herman sambil mengetukkan jari telunjuknya di paha. "Aku dapat informasi dari Sobri. Sobri juga bakal ikut nyari harta karun," lanjutnya.
"Harta karun?" tanya Deni bingung. Pasalnya selama puluhan tahun ia tinggal di sini, tak pernah ia mendengar ada harta karun.
Omong kosong! Pasti mereka berhalusinasi, pikir Deni.
"Nggak tau, Tuk. Mereka nggak bilang," jawab Herman disertai gelengan kepala.
"Besok kalau mereka sudah datang, kabari aku," perintah Deni tegas. Dan langsung dijawab "iya" oleh Herman.
Setelah memberi kabar tersebut, Herman berpamitan pulang. Sepeninggal Herman, Deni termenung beberapa saat.
Sebelumnya pun ada yang berusaha merusak hutan yaitu membuat jalan tol yang membelah hutan rimba Taman Nasional Kerinci Seblat. Akan tetapi mereka tidak jadi melakukannya karena diganggu oleh penunggu hutan.
Samar-samar Deni mendengar suara berisik dari arah dapur, lalu ia bergegas memeriksanya. Takut jika ada kucing atau tikus.
"Cari apa?" tanya Deni begitu ia melihat Dea kebingungan di dapur.
"Laper," kata Dea pelan sambil mengelus perutnya.
"Tunggu sebentar." Dengan sigap, Deni menyiapkan menu nasi goreng bawang.
Sementara itu, Dea hanya melihat sang ayah dengan takjub, karena ayahnya bekerja dengan sangat sigap.
Tak berapa lama nasi goreng buatan Deni selesai, dan langsung disantap oleh Dea.
"Enak banget, Yah. Dea suka bawang gorengnya. Banyak banget, jadinya enak," kata Dea sela-sela kunyahannya. "Kalau Dea, biasa masak bawangnya dihemat-hemat. Apalagi pas harga bawang mahal. Beuh! Palingan masak cuma pakai satu bawang."
Melihat Dea makan dengan lahap, Deni pun mengukir senyum kecil di bibirnya. Ia tak menyangka kalau masakannya akan disukai sang puteri tercinta.
"Udara di sini seger banget. Dea betah lama-lama di sini," kata Dea sambil terus mengunyah. "Oh, iya. Ayah sudah pernah mendaki Gunung Kerinci?" tanya Dea. Sekarang ia sudah tidak secanggung tadi. Mungkin ini efek bangun tidur atau efek nasi goreng enak. Sehingga membuatnya menjadi santai.
"Pernah," jawab Deni singkat.
"Temenin Dea mau, nggak? Dea juga pingin mendaki lho," kata Dea penuh semangat. Dan dijawab anggukan kepala oleh Deni. Hal itu membuat Dea kegirangan. "Makasih, Yah. Aaa .... Seneng banget!" Dea teriak tertahan sambil mengetuk-ngetuk telunjuk kanannya di atas meja.
Deni mengukir senyum samar saat melihat Dea kegirangan.
"Ayah nggak makan?" tanya Dea begitu melihat ayahnya hanya duduk sambil melihatnya makan.
"Masih kenyang," sahut Deni singkat.
Bagi orang yang tidak mengenal Deni, mungkin akan kesal jika pertanyaan mereka hanya dijawab singkat.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Dea. Karena sebelumnya ia telah mendapat cukup banyak informasi dari sang ibu. Salah satunya kalau Deni itu sangat dingin dan irit bicara.
"Kamu di Jambi tinggal sama siapa aja?" tanya Deni sambil menghisap rokoknya.
"Sama Mamak aja," jawab Dea setelah ia melumasi tenggorokannya dengan air minum.
"Cuma berdua?"
"Iya. Mamak juga sama kayak Ayah, nggak mau nikah lagi. Kata Mamak, Mamak nggak mau ngasih Dea Bapak tiri," tutur Dea sambil menatap wajah Deni lekat-lekat. Dea hanya ingin tahu, bagaimana reaksi ayahnya ketika mendengar kabar kalau mantan istrinya tidak mau menikah lagi. Namun sayang, Dea tak menemukan apa-apa karena wajah ayahnya terlalu datar.
Deni hanya mengangguk dengan raut datar dan tak mengatakan apa-apa lagi. Ia pergi ke pintu belakang yang tak jauh dari ruang makan, lalu kembali menghisap rokoknya kuat-kuat. Ia sengaja menjauh karena tak mau mengotori paru-paru Dea dengan asap rokoknya.
***
🌻 Kamus: Tuk atau Datuk dalam bahasa Melayu Jambi Kakek.
🌻 Cindaku adalah legenda dari tanah Kerinci, Jambi.
🌻 Cerita ini hanyalah fiksi belaka hasil dari imajinasi Author.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top