Chapter 2 - Aku Ingin Menjadi Idol

TV menyala di antara kegelapan. Ji In tak peduli dengan kegelapan, selain menghabiskan jjangmyeon kesukaannya. Ia habiskan dua porsi, kini mangkuk ke-3 sedang ia lahap.

"Acaranya itu-itu aja," kata Ji In menyipit sebal. Sekali jepit, ia masukkan banyak mi ke mulut hingga pipinya menggembung. Pernah ia pindah saluran TV, tapi yang ia dapat hanya acara idol. Ji In berpikir, apa yang menarik dari manusia berparas elok itu? Hanya menari, bernyanyi, ikut model, bahkan berpartisipasi di acara-acara tertentu.

"Bosannya...." Ji In meneguk soju tiada henti. Ini kaleng ke-5. Wajah Ji In kini kacau balau, memerah, bahkan tatapannya sulit ditebak jika ada teman di rumah. Begitu sendawa, bau tak sedap antara bumbu jjangmyeon dan soju buat Ji In tak sadarkan diri. Kaleng soju ke-6 ia buka, ia teguk hingga tetes terakhir, membanting kaleng kosong seperti menyentak seseorang.

"Ke mana aku harus cari orang itu?" Suara Ji In teramat parau. Ia menaruh mi bumbu hitam itu di meja, bangkit tergkntai-gontai menuju ruang kerja. Saking lemasnya sampai bersandar di dinding. Ia duduk di kursi kantor macam kehausan, memandang pin yang menusuk banyak foto dengan ikatan benang merah. Sedangkan di meja terdapat pigura foto yang kebanyakan bergambar dirinya tengah menggenggam medali maupun trofi. Namun, satu foto sekelas itulah yang menarik perhatian Ji In.

"Kalau aku bertemu denganmu...." Jarinya gemetar kala menunjuk seseorang di foto. "Aku ... takkan segan membunuhmu. Aku muak denganmu!" Foto tersebut ia banting ke peta berpajang banyak potret orang, timbulkan pecahan kaca yang berserakan di meja. Napas Ji In memburu kala pecahkan piguranya.

Dering ponsel hadir usir amarah yang berkecamuk di hati Ji In. Langkahnya luntang-lantung menghampiri sumber ponsel berdering heboh. Matanya berkunang-kunang saat melihat nama penelepon. Masa bodoh dengan dia!

"Halo?" Ji In ambruk di sofa yang kaya akan kertas.

"Ji In-ah...." Muka Ji In langsung menekuk lusuh. Harusnya sudah ia duga siapa yang suka telepon malam-malam.

"Ada apa?" tanya Ji In sesingkat mungkin, menimpa ponsel dengan kepalanya saat tidur memeluk bantal sebagai guling.

"Kau ada waktu, kan?" Kantuk pun datang bagai musuh dalam selimut. Mata perlahan mengatup walau berakhir setengah melek. "Ji In-ah? Jangan bilang kau mabuk lagi?"

"Yaa!" Ji In memekik lesu. "Kalau kau ajak aku makan jjangmyeon, maaf. Aku sudah makan tiga piring bersama soju berapa ... kaleng aku minumnya."

"Michyeosseo, Ji In-ah!" Sedang pemilik nama hanya terkekeh remeh, beringsut ambil selimut yang tertimpa tubuh ini. Ia langsung baluti badannya dengan sekali tarik. "Biar kutebak, kau ada masalah lagi?"

"Ne," jawab Ji In mengiakan.

"Masalah apa lagi?" Sekarang muncul efek lain dari hawa panas akan minuman fermentasi: batuk-batuk.

"Kesampingkan urusanku...." Sesekali gadis berambut hitam itu mendesis tahan dinginnya malam. "Kenapa kau telepon aku?"

"Aku ingin curhat sama kamu, tapi kayaknya kamu lagi mabuk berat jadi----"

"Yaa!" Spontan bentakan Ji In mengintrupsi si penelepon agar bungkam. "Aku bisa kontrol kesadaranku! Aku siap dengar curhatan kamu."

"Benarkah? Kalau begitu buktikan kamu bisa kontrol kesadaranmu yang mabukan gitu." Ji In tak paham maksud dia----kesadarannya mengawang----tapi mungkin ada benarnya. "Datang ke kedai jjangmyeon yang selalu kita kunjungi."

Nada interupsi menandakan putusnya sambungan telepon. Dia pergi tanpa dengarkan penjelasan Ji In yang sebenar. Hawa nafsu untuk segera tidur makin merayu, tapi dia sudah ajukan perang pada Ji In. Berpakaian dengan prinsip 'pakai apa aja asalkan dingin dalam keadaan mabuk', Ji In luntang lantung tinggalkan rumah yang terbuka lebar rawan maling. Dalam benak hanya terisi satu tujuan: dia!

****

"Aku anggap kau kalah, Ji In-ah." Sepiring jjangmyeon hadir di hadapan seorang gadis berambut ungu pastel sebahu. Lain Ji In yang tenggelamkan wajah merah padam di lipatan tangan, mendengkur amat keras dan terkadang bangun macam selesai kerasukan.

"Hah? Apa?" Mengenai sekarang, ini kali ketiga Ji In bangun dalam keadaan setengah sadar. "Na Byul-ah, keraskan sedikit suaramu...."

"Harusnya aku yang bentak kamu, dasar payah!" Waktu telah berlalu begitu cepat. Makanan yang Na Byul pesan tandas mengungsi dalam perut, tapi teh hangat tak pernah Ji In sentuh.

"Jadi, kau mau curhat apa?" tanya Ji In meringis dapati nyeri hebat di pangkal leher, sebab itulah ia usap-usap guna redakan sakit. "Sial, bisa-bisanya aku mabuk berat."

Dasar pelupa.... Dalam hati, Na Byul tertawa akan tingkah Ji In yang terbilang aneh. "Ji In-ah, aku ... mau ikut audisi."

"Audisi?" Dahi Ji In mengerut, lain tangan yang jauhi minuman peningkat mood dari hadapannya. Ia bertopang dagu lepaskan dengus sinis. "Jangan bercanda, Na Byul. Ingat umur, sudah gak muda lagi untuk ikut audisi di agensi big 3."

"Mana tau kan mereka terima kita meski umur sudah menginjak 23 tahun," sanggah Na Byul menyeru minta buatkan teh oolong hangat.

"Tunggu, kita?" Ji In mendengkus lagi sambil menggeleng. "Aku lebih layak bilang 'kau' untuk urusan audisi di agensi hiburan."

"Aniya!" Gebrakan meja tak mempengaruhi suasana hati pengunjung. Mereka sama halnya dengan Ji In sewaktu di rumah. "Aku ada alasan kenapa aku ajak kamu jadi idol."

"Aku dengarkan alasanmu...." Ia bersandar buang muka. Melewati banyak kalimat berbelit-belit, alasan Na Byul yang Ji In revisi bermaksud sangat sederhana: Ji In punya stamina dan vokal yang cukup baik untuk seorang idol papan atas.

"Alasannya kurang kuat bagiku," kata Ji In minta segelas bir pada pelayan. "Kalau urusan stamina dan vokal, kau jauh lebih baik dariku."

"Tapi kecantikanmu jauh lebih elok dariku," kata Na Byul secepat sinyal internet. Dia buat Ji In terbungkam hilang kata-kata. Matanya bergerak mendatar dengan cepat, berharap ia bisa temukan setidaknya satu kalimat paling pedas.

"Aku tetap tidak akan i...." Secara tak sengaja, Ji In melihat satu acara yang tayang di tekevisi tabung. Meski tak dapat melihat dengan jelas, tentu yang disuguhkan adalah perfomance idol pria. Ia dengar dari rekan satu tim, grup tersebut sedang naik daun dan dikenal banyak negara luar. Salah satu penyebab mereka tenar adalah sosok pemuda berambut panjang itu.

Ji In merasa familier dengan sosok tersebut, lantas kerutan di dahi menjadi reaksi untuk menyaksikannya lebih teliti. Tatapan dia, suara dia, bahkan perawakan dia, nampak sama persis dengan kilas balik semasa Ji In sekolah.

"Ji In!" Namun, Na Byul kembali sadarkan ia di waktu yang kurang tepat. "Beneran kamu gak mau ikut audisi bareng aku?"

Detik itu pula, bir pesanan Ji In telah sampai. Sembari menenggak minuman pemicu mabuk itu, kepalanya cenat-cenut pikirkan keputusan. Soal tawaran pria paruh baya saat perjalanan pulang, lalu Na Byul yang mengajaknya ikut audisi di agensi hiburan, ditutupi penampilan spektakuler dari grup idol pria. Sekalinya Ji In hirup bebauan makanan tradisional Korea sempat menyita perhatian Na Byul.

"Hasil keputusanku akan keluar besok. Mianhae." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top