Chapter 15 - Aku Harus Istirahat
"Maaf!" Pintu didobrak begitu saja, memperlihatkan Ji In yang kacau balau nan tak sedap dipandang. Dia hanya kenakan kaos panjang kelabu, berlari menuju kursi sambil mendekap banyak kertas yang tak ia rapikan terlebih dahulu. Sekitar mata yang menghitam adalah bagian paling parah dari semua kekacauan Ji In.
"Maaf, saya terlambat...." Bahkan Ji In tak malu menguap dan menggeliat regangkan otot tangan di hadapan Yong Moon.
"Tumben sekali jam segini kamu masih ngantuk," kata Yong Moon ambil tindakan merogoh sebungkus masker mata dan tisu basah di tas tangan. "Sampai ada bekas iler di pipi. Kamu langsung ganti baju tanpa cuci muka dulu?"
"Apa?" Ji In menatap linglung, menggapai dua barang pemberian Yong Moon macam orang buta. "Iya, sunbaenim. Saya menyesal tak tidur, alhasil saya belum mandi."
Sedang Yong Moon dan kepala kepolisian----dia juga baru datang, hanya saja jauh lebih segar ketimbang Ji In----hanya saling pandang, menyaksikan Ji In mengelap muka dengan tisu basah.
"Santai saja, Ji In," kata Yong Moon memandang cemas, tapi tangan ikut rusuh berikan banyak kosmetik pada Ji In. "Lagian kita belum dapat informasi mengenai kasus lain."
"Tidak!" Annggotanya melambai cepat. Tiga remasan tisu nampak jijik akan kotoran wajah Ji In, di titik tertentu adalah bekas kosmetik macam liptint dan eye shadow warna merah jambu. "Saya punya informasi dari target pilihan sunbaenim."
"Benarkah?!" Sontak Yong Moon maupun kepala kepolisian terperangah. Dengan tangan mengocok maskara, Ji In keluarkan flashdisk dari saku jas.
"Ini adalah isi rekaman orang-orang yang pernah terlibat masalah dengan Sun Lee," kata Ji In alihkan pandangan ke cermin tegak. Dua sapuan cairan hitam di sisir maskara berhasil percantik mata. "Untuk saat ini, saya minta izin untuk lapor sekali sebulan." Begitupun ia torehkan garis tipis eyeliner di sekitar ekor dan bawah mata. "Kalaupun anda berdua enggan kasih izin, saya tetap berjuang keras pecahkan beberapa kasus demi dapat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian macam kita."
"Ah, aku jadi teringat episode Hello Counselor yang tayang kemarin," kata Yong Moon menerima espresso dari rekan kerja senior. "Anda nonton itu bersamaku bukan, Pak Kepala? Salah satu kerabat yang punya banyak bukti kuat tentang penderitaan anaknya saja minder untuk melapor, saking hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap polisi hingga hakim."
Sedang yang diajak bicara hanya mengangguk paham, pun Ji In yang sekarang mengikat rambut menjadi kuciran ekor kuda. Bersinnya menyabet perhatian orang. Merahlah muka Ji In. Sekejap muka sang atasan berubah tegang.
"M-maaf...." Secara otomatis ia bangkit dan membungkuk dalam. "Belakangan hari ini saya sering bersin dan hidungku kadang mencium bau macam alkohol. Sekali lagi saya minta maaf." Usai berdiri tegak Ji In kembali membungkuk, kali ini lebih dalam bin lama. "Saya pakai masker kain sesegera mungkin."
"Ji In-ah...." Yong Moon merengut sedih.
"Saya permisi dulu----"
"Ji In-ah!" Gebrakan meja apungkan barang di meja dalam hitungan sekon. Wanita dengan mata sedikit merah nampak terpental oleh genggaman kuat di tangan, yang kala itu refleks terlepas. Malahan, tangan yang terasa dingin tersebut keluyuran menangkup wajahnya. "Jangan bilang kamu sakit."
"Tidak, sunbaenim." Ji In tepis uluran Yong Moon dengan lemas. "Saya merasa baik----"
"Baik apanya kamu setelah terungkap hampir tak tidur dan asyik urusi kasus yang gagal itu?" sungut Yong Moon mendelik sangar. "Sampai nekat ambil profesi sebagai penyiar podcast dan idol yang jelas malah mengurangi jam istirahat demi tuntaskan kasus Sun Lee?"
"Jadi penyiar podcast?"
"Seriusan tadi sunbaenim bilang Ji In jadi idol?"
Dan bisikan-bisikan iblis lainnya mulai membabat habis oksigen di ruangan investigasi. Dahi Ji In mengerut ikuti matanya yang menyipit tahan sakit. Pandangan berkunang-kunang. Bunyi mirip dengung pasukan lebah perlahan bertukar denging hebat. Lidah ini berdesis nyaris tak bersuara. Dalam hati Ji In terus berkata: Berhenti....
Inginnya kata itu terlontar meski terdengar pelan sekali. Sayang ia tak larat ucapkan demikian. Masalah dalam panca indera ini makin parah saja. Sedikit demi sedikit, semburat hitam mulai tutupi pemandangan sekitar Yong Moon.
"Ji In-ah!" Luapan warna hitam pun hilang dengan mudahnya. Sensasi hangat nan nyeri menyeruak di lengan atas. Jarak sedekat dua pot bunga hias, itulah yang terjadi atas kehidupan Ji In. Lupakan tentang wajah cemas Yong Moon. Ia sempat lihat percikan cerah di balik mata dia. "Kamu harus isritahat, mau tidak mau. Ini perintah."
"T-tapi, sunbaenim----"
"Cukup." Seenak jidat dia bekap mulut Ji In. "Kami tidak mau dengar alasanmu supaya bisa kerja dalam keadaan sakit. Biar kuantar. Sebentar."
Ketika Yong Moon menghadap atasan, barulah Ji In mendesah pasrah. Pikirnya, perintah sang senior tak boleh ditentang. Guna tak kurangi banyak energi, ia berjongkok menemani pot yang menampung tanaman lemon. Jemari ramping Ji in terulur lemah menyapa daun.
"Maaf," ucap Ji In berdeham sepelan mungkin. "Hari ini aku tak bisa menyiramimu. Setidaknya aku berterima kasih padamu atas buah tangan yang menyehatkan ini. Susah payah ia ambil lemon, akhirnya jatuh di genggaman Ji In. Aku janji akan selalu siram kamu bila keadaanku segar bugar."
"Ji In-ah." Yang terpanggil lekas bangkit menoleh letih. Nasib baik dia gaet lengan Ji In. "Ikut aku."
Ia turuti dengan diam. Mereka masuk mobil sedan hitam, Ji In tetap bergeming. Namun selagi Yong Moon menyetir, hawa yang menguar dari tubuh nampak naikkan suhu. Ji In jadi merasa letih walau sekadar berjalan, sering minta minum yang jelas repotkan Yong Moon, bahkan suka mengeluh butuh banyak jaket guna kehangatan menyertai hingga berakhir di ranjang. Tentu dia turuti, dengan konsekuensi mesti periksa ke rumah sakit andalan.
"Seperti yang anda duga, Nyonya...." Bahkan lihat dokter dan Yong Moon rasanya muak. "Dia hanya terserang flu karena terlalu ambisius. Saya paham kamu berusaha supaya dipandang profesional. Saya malah salut sama kamu yang rela bertanggung jawab tunaikan investigasi gagal tersebut. Tapi saran saya...."
Semula mata terpejam kini melek, melirik pria setengah abad teramat singkat. Ji In hanya pastikan beliau memang berkomunikasi dengannya.
"Kamu butuh istirahat," sambungnya. "Mau sesibuk apapun kamu bekerja, cobalah bujuk atasan agar diberikan waktu untuk tidur dan makan. Saya tadi lihat, sistem pencernaan Ji In juga bermasalah. Kalau tak segera diobati, Ji In divonis maag. Jadi tugas kamu hari ini adalah makan makanan sehat, tidur secukupnya asal pintar cari waktu. Jangan keseringan makan mi atau fast food. Jangan banyak memikir topik berat seperti khawatirkan kerjaan, khusus selama jangka waktu istirahat yang saya tulis di surat izin."
Ji In mengangguk, tapi penjelasannya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sisanya bergantung pada Yong Moon. Salah satu contohnya ialah duduk di kursi pasien, menunggu Yong Moon urusi pembayaran. Atau meringkuk di bangku penumpang mobil selama dia pergi.
"Aku beli bahan untuk masak bubur dan sup kaldu ayam," kata Yong Moon waktu Ji In sembur pertanyaan pasal kepergiannya. Mereka tak banyak bertanya. Musik pun seakan yang dengarkan sandiwara bisu dalam mobil. Waktu macet beliau habiskan dengan baca media massa. Ji In ingat semasa libur tanggal merah, kala itu sehari setelah dapat gaji. Yong Moon ajak Ji In main ke toko buku dan berakhir bawa pustaka di kedua tangan mereka. Berat barangnya bisa mencapai 5 kilo bila tak kerja sama.
"Aku mau masa tuaku memiliki otak cemerlang yang abadi." Begitu kata dia sambil tertawa kecil. Berkat Yong Moon pula, hampir setiap hari Ji In mampir ke rumah untuk sekadar baca buku yang ia butuhkan. Entah buku tentang kasus kriminal tahun silam, pengembangan diri, sampai mengenai pentingnya lakukan me time.
Sekonyong-konyong Ji In meringis dan menyingkap jaket pemberian Yong Moon. "Sunbaenim...."
"Iya?" balasnya tanpa menoleh.
"Bisakah mampir ke kafe yang sering kita kunjungi?" pinta Ji In terbatuk singkat. "Saya ingin beli cokelat bubuk untuk ritual me time."
"Kau ternyata baca buku itu, ya." Yong Moon tertawa gumam. "Oke, kali ini kau tak usah bayar. Anggap ini rasa terima kasihku sudah berikan banyak bantuan berupa informasi tentang mereka."
Bisu hadir di wajah polos Ji In, bukan lagi tatapan dingin maupun senyum kosong. Tubuhnya terdorong sedikit, memperlihatkan Yong Moon tengah ambil dompet di tas kecil sebelum keluar dan berlari. Ia dengar langkah kaki dia yang beralaskan sepatu hak. Angin menjenguk Ji In dengan hawa hangat, tapi mereka pergi begitu cepat. Badan kian meringkuk macam kucing yang tertidur di atas pangkuan sang majikan. Mata bulat Ji In pula terpejam bagai baru saja hempaskan beban terberat dalam hidupnya.
Yah.... Mungkin Yong Moon tak masalah bila terlelap.
Pandangan semula gelap, pelan-pelan memudar dengan suasana kelas yang ramai. Semua mengenakan seragam. Satu-dua orang berlalu lalang, mau itu berjalan atau berlari. Namun ... bukankah saat ini Ji In di rumah atau di perjalanan pulang? Sambil mengernyit tahan sakit----ia pun tersadar. Kenapa kepalanya berdenyut nyeri? Bila ingatan Ji In digali lebih dalam....
Apa ini kilas balik masa mudaku? batinnya edarkan pandangan ke sekitar. Ya ... tak salah lagi. Suasana di kelas yang riuh, denyut nyeri tak tertahankan yang menjalar ke seluruh tubuh, juga hujan deras yang menyertai.
"Ji In-ah...." Ia kenal suara nyaring ini, lantas melirik sumbernya. Gadis berambut ikal sepinggang berdirimenunduk sedih. "Apa kamu ... benaran mau pindah sekolah?"
Lain hal Ji In mengernyit bingung. Tersadar pula puluhan pasang mata berpusat padanya. Hanya hujan yang masih deras dengan heboh, bahkan mengundang petir guna takuti sebagian kecil planet bumi.
"Begitulah...." Suara Ji In memang terdengar pelan sangat, tapi ia yakin matanya membulat. Bukan kehendak pemilik raga ini yang berkata demikian. Lagian, nada bicara Ji In terdengar menggema. "Sebenarnya aku bukan pindah sekolah, tapi dapat beasiswa. Maaf aku harus tinggalkan kamu sendiri, Na Byul-ah."
Ah, Ji In ingat bagian ini. Ia bisa mengemban profesi di bawah bimbingan Yong Moon lewat cari ilmu di sekolah barunya.
"Aku tau itu," kata Na byul sekejap entakkan kaki. "Tapi tak bisakah kamu ke sana habis naik kelas 3?"
Ji In menggeleng, sekali lagi itu bukan kehendaknya. "Aku lelah berada di sekolah ini. Maaf...."
"Apa karena Woo Ji-ya?" Mendadak seorang laki-laki berkacamata singsingkan lengan kemeja. "Dia benar-benar menyebalkan. Bagaimana kalau kita keroyok dia? Sebagai bentuk perayaan kita atas undangan beasiswa untuk Han Ji In."
"Boleh tuh." Gadis dengan bando putih mengangguk mantap.
"Ayo, kita hajar si anj*ng itu!" pekik Na Byul dengan mata berkilat amarah. "Beraninya dia menghajar perempuan baik-baik macam Ji In."
Ji In yakin, usai mereka bersorak pertanda setujui usulan sang ketua kelas----lelaki berkacamata----ia akan bilang berhenti. Maka senyum ia timbulkan.
"Kita serbu kelas Woo Ji untuk Ji In!" Dan yang lain berseru, keluar berjamaah. Tersisa Ji In yang duduk tegak menatap pemandangan di luar kelas. Tadi itu ... ia tak bicara? Ji In tak mencegah mereka. Dalam hati ia marah. Mestinya ia menjerit minta teman-teman agar tidak lukai Woo Ji.
Tunggu, apa memang ini kronologinya?
"Ji In-ah...." Dalam kedipan mata, pandangan kembali seperti ia memulai adegan barusan. Bedanya adalah wajah Yong Moon yang tenang tengah meraba kening Ji in. "Kamu makan dulu supaya obatmu bekerja."
"Sunbaenim...." Samar-samar tercium aroma manis di antara gurihnya kaldu. "Cokelat panasnya anda buat?"
"Iya," jawabnya menuntun Ji In bangun. "Semoga tubuhmu hangat setelah minum minuman kesukaanmu."
Hanya anggukan yang dapat Ji In balas. Selebihnya ia pasrah disuapi Yong Moon. Rasa bubur dan sup kaldu ayam ibarat perang dunia: saling menonjol. Ji in sempat mual di suapan tertentu. Dua sendok obat sirup ia makan dengan muka kecut.
"Kau ini.... Tak bisa minum obat berbentuk pil?" tanya Yong Moon bangkit membawa mangkuk kotor. "Ingat umur, Ji In-ah. Masa kalah sama penderita kanker yang bisa minum pil?"
"Aku punya trauma tersedak obat," ucap Ji In di sela meniup kepulan asap pada cokelat panas. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah masak makanan untukku."
"Eh?" Pas sekali Yong Moon taruh benda kotor di kawah wastafel dapur. "Bukan aku yang masak. Kan kamu tau sendiri aku belum pernah masakin hidangan untuk tamu penting. Kalau cowok tadi tak ada, mungkin sekaranglah kali pertama aku masak makanan demi kamu."
Dahi Ji In seketika mengerut. "Cowok mana yang anda maksud, sunbaenim?"
"Cowok terkenal itu." Sambil ketuk-ketuk jidat pakai kepalan tangan, Yong Moon meringis. "Yang ... sering ada di TV itu loh, Ji In-ah. Yang itu ... seingatku dia anggota Fivev."
"Anggota FiveV?" Walau ia menduga bahwa cowok yang beliau maksud adalah Woo Ji. "Ke mana dia sekarang?"
"Katanya sih lagi keluar," Yong Moon kedikkan bahu beserta majukan bibir bagian bawah, "entah ke mana."
Embus lega keluar dari mulut Ji In, bersiap menyesap minuman yang biasanya tersaji saat me time. "Sunbaenim...." Senyum lembut hadir di bibir pucat pasi. "Sebelum saya ucapkan terima kasih, bolehkah aku luapkan segala pikiran yang membuatku sakit ini?"
"Tentu." Bunyi air keran mulai menemani dua perempuan di satu ruangan. "Apa gunanya aku di sini selain rawat kamu sampai sembuh?"
"Tak perlu," katanya menggeleng lemah. "Anda tau ada cowok di rumah saya, bukan?"
"Lelaki tetap lelaki, Ji In-ah. Kamu tetap kamu. Aku tak percaya pada kepedulian seorang laki-laki dalam menemani pemilik rumah berjenis kelamin perempuan."
"Tapi anda menemani saya hari ini, setidaknya sampai dia pulang."
"Aku tetap jaga kamu, tak peduli dia memang datang atau tidak. Aku tak peduli kamu keukeuh tolak keinginanku. Karena aku khawatir pada anggota tim reserse polisi sepertimu. Jadi kumohon, turuti saja."
"Dasar sunbaenim...." Hawa panas dalam cangkir milik Ji In mulai menghilang.
"Kau bilang ingin curhat," kata Yong Moon mematikan keran. Peralatan makan siap dielap sebelum tersimpan elok di rak piring. "Katakan saja. Aku siap mendengar."
Mula-mula ia buang rasa gelisah lewat embusan napas. "Saya mulai dari mana, ya? Sebenarnya banyak hal yang ingin saya bagikan pada anda, tapi saya pikir ... masalah yang satu ini harus saya umbarkan. Apa saya pernah bilang ... saya punya taruma terhadap seseorang?"
"Tidak pernah sih," jawab Yong Moon selesai taruh mangkuk bersih ke rak piring. "Aku juga punya trauma dan aku coba lawan trauma tersebut demi kelancaran kerja. Aku ingin bekerja secara profesional, makanya aku sangat marah waktu temui kamu yang nyaris membunuh target. Aku takut ... mereka mulai menganggapku ceroboh. Di satu sisi pula, aku jadi merasa bersalah lihat kamu begitu antusias tuntaskan misi Sun Lee yang kamu kacaukan."
"Namanya juga perbaiki kesalahan...." Ji In terkekeh samar. "Dengan cara apa anda melawan traumanya?"
"Kau ingin mengikuti prosesku melawan trauma?" Yong Moon duduk di bawah sofa dengan membawa setoples kecil kue bola cokelat. "Perlu kau ketahui, Ji In-ah. Setiap orang yang memiliki trauma punya jalan masing-masing supaya terbebas dari pikiran negatif. Dan aku takut kamu ikuti cara orang lain demi bahagia."
"Saya tau itu, sunbaenim. Saya sudah mencoba banyak hal supaya trauma saya hilang. Menulis jurnal, baca buku, bahkan rela habiskan uang demi masak makanan sendiri dan jalan-jalan ke daerah lain. Cara-cara tadi tetap tak bisa mengusir ketakutanku pada bayangan dia. Satu-satunya cara agar hatiku merasa tenang dalam jangka waktu yang lama hanyalah ... berbagi cerita pada orang lain. Bisa dibilang anda adalah orang pertama yang melihat saya curhat."
"Tidak juga." Mulut Yong Moon langsung dipenuhi kue bola cokelat. "Menurutku bercerita adalah salah satu cara yang terbaik agar suasana hatimu lebih baik. Kenapa tak bicara pada Na ... ah! Kenapa kamu tak curhat pada teman semasa SMA yang kamu kenali itu? Kau yang bilang hubungan pertemanannya makin kuat."
"Khusus masalah ini, dia akan ambil tindak langsung. Orang yang taruh trauma dalam diri saya adalah musuh Na Byul. Saya tak mau ganggu waktunya yang padat akan kegiatan sebagai idol."
"Benarkah? Siapa pelaku atas perlakuan burukmu, Ji In-ah? Aku harus tau supaya bisa menjagamu bila ada dia."
"Cowok yang anda maksud, sunbaenim."
Dunia seakan berhenti. Cukup detak jam yang masih hidup, sisanya mati termasuk mulut dua perempuan di ruang TV.
"Kenapa kamu benci cowok itu?"
Ji In bergeming. Genggamannya menguat. Mata bulatnya menyipit jatuhkan air mata. "Dia menghajar, mendamprat, bahkan menyiksa saya tiada ampun. Dia bilang saya hanyalah cecunguk tak berguna yang selalu menghalangi jalannya. Padahal saya tak melakukan apa-apa yang mengusik ketenangan dia. Saya sendiri berusaha jelajahi kronologi dalam otak saya, berbekal sebuah pertanyaan kejadian apa yang saya lakukan sampai dia berbuat sekeji itu? dan tiada hasil.
"Andai memang saya punya kesalahan----sekalipun terlihat sepele----, saya dengan senang hati perbaiki diri ini." Senyum di bibir sepucat anggur beku perlahan memudar. "Tapi ... introspeksi diri juga tak ada gunanya, bukan? Saya tetap disiksa layaknya kucing liar."
Dia tak mengatakan apa-apa.
"Saya merasa senang waktu anda berikan beasiswa ke sekolah yang bersistem ramah anak, sambung Ji In meletakkan cangkir ke meja. Rasanya saya terbebas dari penderitaan di sana, yang harus bertemu dengan lelaki bajingan itu. Nyatanya, trauma datang macam hantu yang sengaja datang oleh suruhan dukun. Setiap lihat muka dia, hidup saya selalu digentayangi oleh perilaku kasarnya.
"Sebab itulah, mau dia peduli pada saya juga hati ini tetap tak terbuka untuk dia." Muka Ji In pun tenggelam di lipatan tangan yang memeluk lutut. "Terima kasih sudah dengarkan isi hati saya, sunbaenim...."
"Sudah semestinya tugasku dalam menjaga anggota kesayanganku." Tangan Yong Moon terulur mengusap rambut Ji In. "Memang susah bila menghadapi objek yang membuatmu teringat masa lalu. Dengar, Ji In-ah. Aku di sini siap menjadi pendengar pertama dan terakhir untukmu, siap menjadi pelindungmu. Bila hatimu merasa takut atau apapun itu, ingatlah aku. Kau mengerti?"
Ji In mematung. Namun Yong Moon bangkit bersihkan remahan kue yang tersangkut di baju. "Beristirahatlah. Aku akan mengawasimu di dapur selama menghabiskan jam kerjaku di sini."
Sedang sang empunya nama menjawab dalam hati: Baik.... []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top