Chapter 13 - Aku Ada di Sisimu

"Ternyata mereka cukup terkenal, ya." Undakan demi undakan Ji In pijaki tanpa berpaling dari ponsel. "Pertanyaan apa yang harus aku ajukan?" Fokusnya makin kuat, mengetik sesuatu di benda pipih itu. "Mungkin tak ada salahnya aku posting instastory tentang mereka dan...."

"Ji In-ah." Pemilik nama yang disebut berhenti tepat membelakangi anak tangga terakhir. Suara yang paling ia benci kembali hadir, tapi ia enggan dicap wanita sombong atau member idol terarogan----barangkali orang asing lihat pertemua memuakkan ini. Lantas dua pasang mata berjumpa membawa hawa dingin.

"Kau belum puas buat saya menderita, Woo Ji-ya?" tanya Ji In menyipit tajam.

Namun, dia tak menjawab. Justru menunjukkan amplop cokelat yang terbungkus rapi. Ji In tentu kaget. Batinnya panik. Apa dia bawa dokumen misi abadi? Otak Ji In berkata tidak, membeberkan banyak petunjuk yang menyimpulkan benda itu tersimpan ketat. Yang jelas, setiap arsipan yang ia bawa selalu berakhir di ruang kerja rahasia.

"Kau masuk ke ruang kerja rahasiaku?" Nada bicara Ji In yang rendah menyertai geraman mirip anjing menargeti mangsa. Urat-urat kecil juga timbul di pelipis dan punggung tangan Ji In.

"Aku tau...." Woo Ji melengos ragu. "Tapi, bisa kita bicara tentang dokumen ini?"

"Setidaknya jelaskan kenapa kau masuk ke ruang kerjaku dengan berani!" bentaknya dengan napas memburu.

****

"Harus dengan cara apa lagi aku harus membuatmu percaya padaku?" Woo Ji masuk dengan kantong plastik putih yang terus kelontang, menaruhnya di meja kopi tempat ia makan malam bersama TV.

Tubuhnya tumbang ke dalam pelukan sofa yang empuk dan berbau apek kena peluh Ji In, mengulurkan tangan seperti meraba udara. Tak ada lagi lampu yang menyinari ruangan ini selain TV dan dapur, menciptakan remang-remang menenangkan.

"Semuanya sudah terlambat, kan?" Ulah kegelapan pula, senyum tak nampak jelas, seakan mengandung kutukan bila melihatnya dengan mata telanjang. Namun, Woo Ji merasakan kehadiran cairan asin yang menyembul di sudut mata, terjun basahi rambut. Perlahan tangannya terus dekati muka Woo Ji. "Kau juga takkan pernah beri kesempatan kedua untukku, supaya kita memulai hari baru sebagai teman."

Dengus sinis keluar dari hidungnya. "Bahkan aku bisa mengatakan hal itu begitu mudahnya, seakan tak ada masalah di antara kita," tambahnya makin memojokkan diri sendiri. "Aku terlalu munafik...."

Geraman mesin cuci selaku musik penenang hati Woo Ji pun lenyap. Dengan gerakan lemas, lelaki itu bangkit nyalakan lampu. Tetap bersih macam ia berniat cuci baju Ji In berbau peluh. Sayup-sayup terdengar lagu dari girlband Jepang. Woo Ji itu lagu Quesera Sera dari Atarashii Gakko Leaders. Selagi tangan asyik peras baju untuk berendam di larutan pewangi, pikiran Woo Ji berkelana. Masa ia melihat Ji In tersenyum amat lebar di tengah acara festival budaya.

"Dia lagi menikmati masa cintai diri sendiri." Itulah yang temannya ucapkan waktu Woo Ji tanya maksud senyum manis di bibir Ji In. Kala hari itu, Woo Ji tak tahu apa-apa soal proses cinta diri sendiri. Lagu ini pula yang mengiringi setiap langkah dan gerakan tangan Ji In.

"Sampai sekarang kau masih dengarkan lagu itu." Lagi-lagi Woo Ji bicara sendiri pada perasan baju terakhir berupa kemeja hitam Ji In. Ia ingat, wanita itu sering kenakan pakaian ini ke mana pun dia pergi.

"Kau tetap menyukai warna monokrom ya, Ji In-ah."

Singkat cerita, baju setengah kering telah tersampit di gantungan yang terpasang di atap rumah. Sudah berkali-kali Woo Ji kunjungi tempat ini, tapi tetap pancarkan ketenangan lewat sofa empuk dan rak berisi novel terkenal. Namun kini Woo Ji tak ingin baca buku yang pernah Ji In baca. Lelaki itu balik menelusuri sumber lagu Quesera Sera berkumandang.

Berdasarkan lorong yang ia lewati, Woo Ji ingat ujungnya hanya berupa rak buku beserta vas bunga dengan kamera pengawas, sedang sebelah kiri adalah kamar Ji In. Suaranya makin jelas di dalam rak buku ini. Tanpa sengaja Woo Ji buat rak tersebut turun kala putus asa dan terpincut baca judul novel tentang budaya cintai Tetapi, yang terlihat justru sebuah ruangan bercahaya remang. Ada Ji In yang tertidur di meja dan lagunya masih terdengar.

Dari awal masuk, Woo Ji terus terpelongo kagum. Rak buku di ruangan ini nyaris penuhi dinding. Tak lupa kertas aneka warna yang berpusat pada warna cokelat, berserakan menimpa lantai marmer.

"Apa ini kamar rahasia Ji In?" Tiada siapapun yang jawab kecuali macam-macam dokumen yang terbaring bersama Ji In. Ia ambil salah satu makalah itu----mungkin Ji In bakal bilang berkas bukan makalah. Isinya buat kening Woo Ji berkerut.

"Sun Lee?" Ia lanjut baca. Ujungnya berkas tersebut jatuh dari genggaman. Tatapan Woo Ji tertuju pada wanita yang pindah posisi kepala untuk menghadap ke arahnya. Berkaca-kaca, berharap lewat sorot mata itu saja mampu antarkan ratusan persoalan. "Ada masalah apa kamu sama Sun Lee, Ji In?"

Di waktu itu pula Woo Ji menyadari papan bertempelkan banyak foto dan surat kabar yang telah digunting. Kebanyakan terpajang sosok Sun Lee dan wajah berseri-seri nan berkilau tengah menari di atas panggung. Benang merah menjerat berbagai objek dengan nilai informasi paling akurat bagi penyusun rumusan masalah itu.

Perhatian Woo Ji kini sepenuhnya berada dalam kuasa dinding rumusan masalah, tepatnya catatan kecil hasil tulis tangan seseorang.

"Apa yang Ji In incar dari Sun Lee?" Matanya kian menyipit. "Perundungan pada...." Barulah ia mendelik tak percaya. "Jadi Ji In mengetahui kelakuan busuk Sun Lee dari dulu? Sendirian?"

Lambat laun ia lirik wanita yang tengah tertidur pulas, pula meraih makalah lain yang dia timpa.

****

"Aku kumpulkan semua makalah ini," kata Woo Ji tetap tunjukkan objek yang dimaksud. "Dan aku berharap banyak padamu. Tidak, kita berharap banyak pada akhir penyelesaian kasus Sun Lee yang mendekam di penjara."

Sejenak Ji In terperangah sebelum akhirnya mendengus sinis. "Sekarang kau membela orang lemah? Kenapa kau tidak bela Sun Lee yang sama-sama berbuat keji tanpa alasan yang jelas?"

"Karena aku adalah korban Sun Lee sunbaenim," jawab Woo Ji cepat. "Kau tidak bisa menyebutku peramal atau aku punya kekuatan membaca pikiran, tapi kalau boleh aku tebak, harusnya sosok sepertimu bisa mengamati keadaan fisik korban secara jelas dan teliti, kan?"

Ji In bergeming, tapi tatapannya mengarah pada objek dalam genggaman Woo Ji.

"Aku sudah melakukan banyak cara supaya kamu mau berteman denganku." Mata Woo Ji seketika memerah dan berkaca-kaca. "Apapun itu, aku berusaha bersikap lembut padamu, menawarkan hal-hal kecil seperti masak dan bersih-bersih rumah demi mendapat seuntai kalimat lembut yang keluar dari mulutmu. Tapi kini saatnya aku berkata seperti ini.

"Aku bisa menolongmu untuk dapatkan banyak informasi dan bukti kalau Sun Lee memang layak ditahan. Tapi kamu sudah seperti itu padaku. Dan kau tau akibatnya? Aku yang menabung banyak kepercayaan terhadap kamu malah lenyap. Aku tak dapat memercayaimu lagi, Ji In-ah. Tapi jangan salah kira. Aku tetap manfaatkan waktuku untuk mencari segalanya yang membuat Sun Lee dinyatakan bersalah."

Ji In tetap bisu. Setidaknya dia mulai tundukkan kepala. Telinga ini tak dapat mendengar setiap kata dari mulut Woo Ji. Rencana yang telah ia susun berhari-hari seakan runtuh macam insiden Hiroshima-Nagasaki.

"Memang sudah takdirnya kita tak boleh menjalin pertemanan." Begitu Woo Ji tersenyum, air mata menyertai. "Maaf, sudah buat hatimu tersakiti hingga mengalami trauma ... Ji In-ah."

Dia tak menyerahkan benda itu pada Ji In. Woo Ji berlalu. Tak ada sepeser pun jeda yang mampu menghitung jarak di antara mereka. Tas jinjing terjatuh begitu saja. Hari itu Ji In terduduk lemas, membekap muka dengan kedua belah tangan.

Kemudian menangis tanpa suara, membiarkan cairan asin keluar dari sela-sela jari. Dalam hati Ji In terus meneriaki nama Woo Ji ... sampai mata tak dapat lagi menitik. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top