Chapter 10 - Aku Tidak Boleh Ketahuan
"Saya tak tau apa motif dia di balik semua perlakuan kejinya...." Suara lembut Sayaka tersalurkan ke telinga Ji In melalui headset. Sambil senderkan kepala ke jendela dan mengamati ramainya kendaraan, tatapan Ji In seremang lampu jalanan di tempat sepi: menyipit hingga menitikkan air mata.
"Sun Lee...." Tatapannya mengarah pada ponsel yang masih memutar rekaman semasa podcast berlangsung. "Bedebah.... Mau sampai kau sakiti orang-orang tanpa alasan, hah?"
"Maaf bila nanti episode kali ini hilang, Ji In," kata Sayaka di rekaman suara. Ia bisa merasakan gerak-gerik dia yang melengos dari pandangannya. "Cepat atau lambat, mereka pasti menemukan episode ini. Saya juga masih mencari bukti-bukti untuk menyudutkan mereka saat hendak melapor nanti."
"Masih? Itu berarti anda pernah----"
"Ya," potongnya cepat. "Waktu itu, saya sudah mengumpulkan banyak bukti atas tindakan asusila mereka terhadap saya. Sayangnya, mereka merebut semua perjuangan saya dan mengancam akan membunuh secara sadis jika saya umbar ke khalayak publik."
"Dan anda tidak takut?"
"Tentu, kenapa saya yang tidak bersalah harus takut pada pelaku kejahatan?" Ji In sempat mendengar tawa Sayaka yang terlampau sumbang. "Rasanya saya sedang menghadapi akhir dunia: tak ada yang mau menolong saya."
Sisanya hanya sesi pamitan, maka ia lepaskan sebelah headset sambil periksa pesan masuk dari tuan Lee dan Woo Ji. Senyum sinis muncul di bibir semerah buah persik. "Sudah kuduga."
Tuan Lee memberitahu pasal episode podcast 'See You, Jinn' yang hilang usai dipublikasikan tiga jam yang lalu. Beliau menerka ada yang melaporkan isi podcastnya. Ji In sudah siapkan rencana merekam pembicaraan Sayaka saat break time, sejak ketahuan Yong Moon pasal profesi keduanya.
"Baik kamu rekam percakapannya, Ji In-ah. Mereka bisa saja melaporkan podcastmu yang isinya menyinggung pihak agensi sana, mau durasinya sedetik juga." Dialah yang memberi saran atas rekaman di ponselnya sekarang.
Lepas membalas pesan beliau dengan permintaan maaf, ia baca satu pesan dari Woo Ji yang bertuliskan, "Ji In-ah, pulanglah."
****
"Aku pulang...." Sambil lepaskan sepatu dalam keadaan berdiri, mata Ji In langsung segar memandang rumahnya yang bersih nan rapi.
"Ji In sudah pulang?" Dan sekejap berubah menjadi Ji-In-si-muram sejak Woo Ji muncul dari dapur. Melihat celemek pink masih membaluti tubuh bersetelan kemeja dan celana panjang, sepertinya Woo Ji baru masak makanan. "Gimana bekalnya? Enak?"
Ji In membeliak. Sepatu yang ia apit jatuh bergoleran di lantai dekat rak kecil. "Jadi ... kau yang antarkan bekal makanan itu?"
Woo Ji mengangguk mantap. "Aku sengaja minta staff untuk tidak menyebut namaku jika kamu tanya bekalnya dari siapa."
"Kenapa kau tidak beritahu saya?" tanya Ji In menyipit mengintimidasi lawan bicara.
"Karena...." Bisa-bisanya dia buang muka sambil usap tengkuk. "Seperti sekarang, kamu marah gara-gara aku antarkan makanan buat kamu. Coba saja kalau aku gak bilang ke staff buat gak kasih tau yang ngirim siapa, mungkin kamu langsung buang masakanku."
Ji In tertegun. Sekilas ia dapat menemukan sisi gelisahnya saat menjalin komunikasi macam begini, terlebih Woo Ji menyinggung perkara bekal makan malam Ji In selama di ruang podcast.
Lagi satu, ucapan Woo Ji seratus persen benar.
Mungkin bila Ji In tahu bahwa Woo Ji telah memasak makanan untuknya, ia langsung buang tanpa ragu. Namun sial, lidah ini kelu ucapkan sebuah pujian atas hidangan buatan Woo Ji.
Teringin Ji In merutuki diri sendiri yang menghabiskan makanan teramat rakus saking enaknya.
"Terima kasih sudah peduli." Apalah daya egonya menang telak, persetan ia peduli atau tidak. Ji In pergi tinggalkan Woo Ji yang bergeming dalam gemuruh penuh sesal.
Sengaja ia masuk dapur, terlihat wajan berisi parutan lobak putih yang ditaburi bubuk cabai. Masih mengepul, baru selesai dimasak. Belum panci besar dengan aneka macam jamur dengan bumbu jjang----selain jamur enoki.
Apa sudah seharusnya ia mulai berikan kesempatan kedua? Pertanyaan itu terus berkecamuk, bahkan saat satu porsi makan malamnya ia bawa ke kamar. Ji In makan dengan tatapan kosong. Pintu kamar terbuka sedikit, tapi badan vas bunga menyembul malu-malu.
Hidangan telah tandas pun pandangan Ji In tak lepas dari vas bunga. Meski ragu, pada akhirnya ia keluar memeriksa Woo Ji yang hilang menyisakan mangkuk kotor. Dahinya berkerut. Ke mana lagi dia setelah Ji In pulang?
Masa bodoh dengan dia, selagi ia berhadapan dengan rak buku yang selalu bersih dan berhiaskan satu kamera pengawas. Dua buku di sudut kanan atas ia tekan, tinggal mendorong satu pustaka tepat di tengah-tengah menggunakan dua jari. Seketika rak terbuka layaknya gerbang, memperlihatkan banyak tumpukan buku yang seakan menyambut orang istimewa untuk duduk di meja dan dinding penuh benang merah serta foto hitam-putih.
"Lama tak berjumpa." Jemari kecil Ji In melambai tumpukan kertas dan laptop yang berdebu. Ia duduk di pangkuan kursi sembari menggesek jari yang tertempel habuk. "Kapan terakhir kali aku mengunjungimu? Saat aku ditegur bapak kepala tepat di hadapan Yong Moon sunbaenim?
"Ingatanmu terlalu kuat." Senyum culas menyembul di bibir Ji In, bersandar dan melipat tangan di dada. "Persetan aku bicara sendiri, itu bukan urusanmu, kan?"
Kertas yang menutupi permukaan meja tak dapat berbicara apa-apa, tapi tawa Ji In lepas teramat anggun.
"Bagaimana dengan file ini?" Dengan lamban ia otak-atik laptop dan minta bantuan kabel data supaya tersambung dengan ponsel. Satu file muncul di folder misi-lenyapkan-Sun-Lee, begitupun ia menyetel salah satu percakapan panjang bersama Sayaka di podcastnya. "Cukup berharga untuk sebuah bukti, bukan?"
Seringainya kian lebar saat Sayaka berkata, "Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Ji In-ah. Mereka terlihat bersekongkol, bahkan Sun Lee dengan mudahnya memanipulasi orang-orang menggunakan uang."
"Dasar bejat," decaknya bertatapkan jijik.
"Tapi terkadang," sambungnya berdeham singkat, "dia bisa memanjakan otak orang dengan bualan manis."
"Cukup cerdik." Ia tekan ikon silang untuk menutup filenya, berganti dengan beberapa foto Woo Ji dan informasi dari Na Byul yang mengatakan bahwa FiveV satu agensi dengan Freely. "Mungkin Woo Ji bisa kumanfaatkan, mengingat dia teringin berkomunikasi denganku."
Nada dering menghentikan kegiatannya. Dari Yong Moon, timbulkan kerut di dahi. Kenapa dia meneleponnya? Ia segera terima dan mengubah ke mode speaker.
"Ji In-ah, tadi malam aku ikuti podcastmu secara live, sampai akhir." Dia dulu yang mulai. Ji In diam mempertajam pendengarannya. "Tapi sayang, pembawaanmu terlalu serius. Cobalah sesekali cairkan suasana dengan kata-kata manismu."
"Baik, terima kasih atas sa----"
"Ji In." Ucapan Ji In langsung tersendat. "Kenapa podcastmu tiba-tiba hilang? Padahal begitu podcast selesai akan muncul sebagai koleksi video----aku melihatnya sendiri. Ini tidak ada. Aku curiga seseorang melaporkan kontenmu."
"Memang."
"Apa?"
"Memang sudah kita duga akan hilang," kata Ji In memperjelas maksudnya. "Jauh-jauh hari aku telusuri segala informasi tentang Sayaka. Beberapa di antaranya aku cetak untuk koleksi arsip mengatasnamakan misi menangkap Sun Lee. Besar kemungkinan, agensi pertama yang Sayaka ikuti justru bersekongkol dengan target supaya menghapus jejak Sayaka dan segala ceritanya semasa menjadi idol."
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Berdasarkan artikel yang aku temukan, Sayaka-ssi mendapatkan perlakuan tak menyenangkan saat menjadi member Freely. Lagipula, dia berani membeberkan alasan dia hengkang dari agensi sana dan grup Freely di hadapan publik. Kalau alasannya kurang dimengerti----sebagian kecil kata-kata dia pakai bahasa Jepang----oleh mereka, mungkin sekarang Sayaka bisa jalankan karir sebagai penyanyi solo paling sukses di Korea. Kalaupun pemilik agensinya mengerti, dia pasti mau selesaikan masalah Sayaka dengan diskusi.
"Tapi mereka----target dan pihak agensi yang menaungi Freely----justru tutup mata dan telinga dan terus menghapus video singkat acara TV dengan Sayaka sebagai bintang tamu. Karena apa? Karena kehadiran Sayaka adalah ancaman terberat bagi mereka. Sebab itulah, podcastku mereka report dan hilang."
"Jadi intinya, kau bilang Sayaka adalah kelemahan target karena sewaktu-waktu dia menceritakan pengalaman buruk menjadi mantan idol oleh target?"
"Tepat sekali. Sunbaenim lihat aku dan Sayaka bercakap saat break time?"
"Lihat, dan sepertinya Sayaka sangat serius."
"Iya, sebab hanya di sesi itulah aku bisa berbicara hal sensitif untuk Sayaka: perlakuan target kepadanya. Dan orang itu terlalu peka dalam menelaah situasi kalau kami sedang berbicara hal tersebut."
"Karena itu podcastmu hilang?"
"Ya."
"Lalu soal saranku?"
"Sudah aku pakai, sunbaenim. Rekaman percakapanku dengan Sayaka-ssi sudah ada di laptop kerjaku. Akan aku pakai sebagai bahan bukti dan riset soal Sun Lee."
"Kerja bagus, Ji In-ah." Ia mendengar Yong Moon tertawa renyah. "Aku tak menyesal telah mendapatimu sebagai partner kerjaku sebagai reserse polisi."
"Terima kasih, sunbaenim. Aku akan selalu bersikap profesional atas pekerjaan ini."
"Tapi apakah kamu tidak merasa aneh? Kalau pihak agensi saja tidak mau menyelesaikan masalah Sayaka, ada kemungkinan jabatan CEO di sana telah disalahgunakan, bukan?"
"Jabatan CEO?"
"Ya, beberapa agensi ada yang melimpahkan setengah jabatannya kepada member grup yang telah berjaya naikkan pamornya. Bisa jadi target mendapatkan jabatan tersebut, secara Freely adalah girlgrup paling tenar."
Ya, bisa jadi.... Ia sudah mengetahui hal ini lewat rekaman suara Sayaka. Si target bisa memanipulasi orang lewat bualan manis, uang....
Juga ketenaran dan talenta di bidang hiburan.
"Kalau sunbaenim sudah berkata demikian, saya akan segera cari tahu lebih dalam soal agensi dan grup Freely." Namun, terpaksa Ji In tutupkan teori asal-asalan itu.
"Baik, beritahu aku jika kau butuh sesuatu." Panggilan pun berakhir, memaparkan fotonya saat kelulusan SMA di layar ponsel. Tanpa ada yang tahu, di balik senyum selicik tatapannya pada sebuah foto lelaki yang menari penuh keringat, ia berpikir Woo Ji bisa jadi alat untuk....
Tunggu. Ji In membeliak tak percaya, segera memperbesar gambar Woo Ji di laptop, membiarkan sinar biru menerpa muka.
"Ternyata rumor itu benar." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top