Chapter 1 - Aku Ingin Tenang
"Ji In, tolong ambil alih sistem pencahayaan." Seseorang berjas hitam datang menunjuk tempat yang dimaksud.
"Baik, Pak." Seorang wanita berkemeja kelabu membungkuk hormat. Wajahnya tertutup topi, hanya tampilkan senyum memukau di bibir berlumuran liptint merah jambu. Ia menyalip orang-orang bermata sipit dan berpipi tembam demi raih pintu menuju sistem pencahayaan.
"Ji In." Seseorang bercakap lewat handy talkie dalam genggaman. "Selalu lihat sistematika pencahayaan di setiap idol tampil, sudah ada di sana. Segera cek."
"Dimengerti, Pak." Usai letakkan benda itu di saku sabuk pinggang, wanita jangkung itu menambah kecepatan berjalan, menurunkan topi untuk senantiasa mensensor wajah tirusnya. Langkah sepatu boots hitam terdengar menggema akibat alas yang saling bentur dengan lantai besi. Seluruh lorong begitu gelap, lain di bawah nampak remang-remang. Area sistem ini pun jarang dikunjungi staff yang menjabat di divisi cahaya.
"Ji In, bagaimana situasi di sana?" Suara nyaring kini terdengar di telinga sebelah kiri Ji In----nama aslinya. "Aku hanya memberitahu kalau target sudah ada di backstage."
"Beritahu lokasinya," jawabnya memandang tiada minat terhadap ratusan tombol kelap-kelip.
"Sebelah kiri di sistem pencahayaan, di pintu ke-3 saat masuk lorong backstage tiap idol."
"Dimengerti." Pandangan Ji In----Han Ji In----tertuju pada papan dada yang menampilkan daftar cahaya akan dinyalakan, lengkap dengan listrik yang tersambung ke backstage. Salah satu sudut bibirnya tertarik lebar. "Mungkin senam jantung akan menyehatkan target sebelum tampil di atas panggung."
Tombok warna hijau pun ia tekan, menghasilkan jeritan menggelegar dari sebelah kiri. Tak mengulur waktu pula, sebuah pistol tergenggam di kedua tangan Ji In, bergegas pergi ke lokasi tujuan berdasarkan informasi rekannya. Gadis itu berjalan perlahan sambil mengarahkan bidikan senjata api ke arah pintu.
Tahan ... jangan gegabah. Keringat bercucuran di dahi Ji In, pun tangan berselaput cairan yang keluar dari pori-pori kulit. Semampu mungkin ia netralisir kekakuan di tubuh dengan menelan saliva.
Dobrakan samar-samar di pintu sempat menampar jantung Ji In, sempat buat ia mematung gemetaran. Wanita itu mempererat genggaman pistol, kian waspada pula matanya dalam mengawasi target.
"Sialan!" Dobrakan kali ini berhasil membanting pintu hingga suaranya menggema. Seorang gadis langsung berlari hindari tatap muka dengan Ji In, di detik itu pula ia mengejarnya sambil memuntahkan beberapa pelor panas.
Alarm bahaya mulai berdering samarkan ketukan langkah target berikut cahaya merah terang-redup di sekitar lorong yang mereka lewati. Hiruk-piruk orang-orang makin memperkeruh keadaan.
"Jangan lari kau!" Jarak Ji In dengan target makin jauh, bisa dibilang Ji In di atas dan dia sebaliknya. Ia ambil ancang-ancang melompat dari ketinggian, kembali meletuskan tembakan padanya. "Senior, cepat blokir pintu otomatis!"
"Sedang dalam proses pemblokiran." Ji In mendesis murka.
"Bangsat...." Mau tak mau, ia arahkan bidikan ke betis sang target setelah menghamburkan banyak peluru.
Sebutir timah panas bersarang di sana, melumpuhkan gerakan hingga jatuh tersungkur. Meski dia masih mampu merangkak, setidaknya Ji In dapat mengejarnya. Ia injak punggung target tiada ampun, menekan luka yang terus keluarkan darah sembari menaruh moncong pistol di atas kepalanya.
"Aku paling benci orang sepertimu," kata Ji In dengan nada rendah. Maniknya sungguh berapi-api, bahkan sekitar putih mata Ji In memerah tahan amarah.
"Tahan sebentar. Kami akan ke sana." Entah kenapa dendam dalam hati bergejolak amat hebat. Terlintas dugaan kalau Ji In tak dapat menahan panas dalam kalbu dan benak. Gigi terus bergemeletuk, walau target malah tertawa keras.
"Apa ini? Kau lucu sekali, bisa melakukan hal ini padaku di antara para fansku?" Mendadak Ji In tersadar, mengerling perhatikan sekitar. Kebanyakan pria bertubuh gempal dan berkacamata cembung tengah menatap garang.
"Mungkin mereka akan melaporkanmu ke pihak berwajib karena telah melukai seorang idol tanpa alasan yang jelas."
"Diam kau!" Ji In langsung menghantam muka target ke lantai sampai retak keramiknya, kemudian menjambak rambut dia guna melihat wajah Ji In yang tak diterpa cahaya. Ia menatap target dengan nyalang dan haus darah. "Kalau bukan karena misi, aku akan menghabisimu sampai tewas."
Namun, gadis itu hanya tersenyum miring dibaluri darah dari hidung dan kening. "Silakan saja selagi yang kau lakukan hanya membuatmu makin yakin divonis sebagai tahanan."
"Brengsek!" Ia membenturkan muka sang target lagi, diiringi sorakan pria yang terkejut melihatnya. Memori masa lalu muncul bagai TV rusak, hanya menampakkan sekilas adegan orang tengah layangkan pukulan beruntun padanya. Yang pasti, 'orang' tersebut berjenis kelamin laki-laki.
"Ji In-ah!" Seseorang menjerit pecahkan pintu, menyeret Ji In untuk jauh dari dia. Di tengah mendengar ocehan rekan kerja, tatapan menyalang masih membekas di kedalaman warna gelap irisnya terhadap gadis yang berlari terpincang-pincang.
"Ji In-ah, sadar!" Dia----bukan target misi----kembali menyerukan namanya, tapi kini sekaligus mengguncang tubuh Ji In. "Sadar! Itu target kita! Misinya tidak boleh lukai dia!"
"Tapi kan, sunbaenim----" Ji In terpaksa hentikan ucapannya bila dia telah pasang tatapan menikam. Makin lama, ia merasa terintimidasi hanya berkat sikap senior yang amat berpengaruh bagi pikiran.
"Kita diskusi hal ini di kantor." Usai lontarkan kalimat tersebut, dia lingkarkan lengan Ji In di leher guna menuntun keluar dengan leluasa.
****
"Lagi dan lagi," pria paruh baya sudah bolak-balik di hadapan tim sambil mengelus kumis tebalnya, "misi gagal karena Ji In yang susah kendalikan emosi!"
Gebrakan keras sekalinya buat senam jantung bagi bawahan di meja tersebut, kecuali Ji In yang menunduk segan. Pria berseragam biru penuh atribut kepolisian perlahan membungkuk condongkan tubuhnya ke arah Ji In.
"Apa yang ada dalam kepalamu, Ji In?" Embusan napas akan aroma nikotin buat ia menjauh samar. "Jawab!" Tetapi, Ji In malah memejam santai.
"Maaf, Pak." Hanya itu yang ada dalam pikiran Ji In. Sedikitpun ia enggan tatap sosok yang punya jabatan di atasnya. Begitupun orang berjarak sangat dekat dengan Ji In, memilih keluarkan desah gusar dan tinggalkan tim. Barulah ia beranikan menatap muka wanita paruh baya di depannya.
"Joesonghamnida, Yong Moon-sunbaenim," kata Ji In balik tundukkan kepala.
"Tak apa, Ji In." Wanita dengan rambut disanggul itu beringsut dekati teko yang berdenging. "Aku sangat mengandalkanmu. Kamu hebat sekali dalam menangani kasus, tapi begitu kamu urusi kasus bullying...."
Ji In mendongak pelan, mendapati Yong Moon kembali ke kursinya sambil bawa dua cangkir keramik. Aroma teh dan melati kering menguar di sekitar, masuk memanjakan pernapasan Ji In.
"Kamu malah menjadi agresif," sambungnya menyerahkan teh untuk Ji In. "Ini tidak sekali-dua kali, Ji In-ah. Apa yang membuatmu agresif? Aku sebagai pembimbing akan membantumu pecahkan masalah."
Ji In mendesah panjang guna beri jeda di antara komunikasi mereka. "Aku pernah jadi korban bullying, sunbaenim. Setiap aku berhadapan dengan pelaku bullying, mendadak emosiku mendidih, gatal rasanya ingin hajar dia." Muncul senyum miring di bibir Ji In beserta dengus sinis. "Padahal dia bukan pelaku yang bully aku."
"Aku tau perasaanmu, Ji In-ah." Uluran tangan datang untuk usap pundak bawahan. "Sebab itu aku buatkan teh untukmu. Aku tau kamu bersikap begitu karena ada alasannya."
Ujaran Yong Moon sedikitnya buat hati Ji In mendingin. "Gomapta, sunbaenim," ucapnya lebarkan senyum walau sekejap. "Apakah beliau akan pecat aku?"
"Harusnya," jawab Yong Moon sesap teh buatannya, berujung embusan napas panjang. "Tapi jangan ragukan aku yang selalu bersamamu saat menjalankan misi, Ji In-ah. Aku akan berusaha agar pak tua itu tidak memecatmu."
"Senior terlalu berlebihan," kekehnya mulai menyeruput teh hitam hangat.
"Dan apakah kamu bilang aku berlebihan saat menyarankanmu pergi konsultasi dengan psikiater?"
Ji In kalah telak dalam berdebat. Tangan ramping nan putihnya menggenggam cangkir teh, berharap kehangatan dan aroma menenangkan ini mampu menghibur hati. Namun pada akhirnya, Yong Moon tetap ingatkan soal tujuan utama memberikan cuti bagi Ji In dengan halus: Pergilah ke psikiater besok dan urusi masalahmu.
Sepanjang jalan membawa tas selempang dan kantung kresek besar berisi banyak soju kaleng, Ji In berjalan terseok-seok enggan memandang arah depan. Ia menunduk sambil sesekali meneguk minuman pemuas hati bagai orang bosan hidup.
"Psikiater apaan sih?" Ji In lempar kaleng soju kosong ke tong sampah depan lapak yang tak ingin dibahas. Mukanya merah padam, sempoyongan tak kuat bau sendawa.
"Tunggu!" Seseorang berteriak di belakang Ji In. Ia tak punya tenaga untuk sekadar membalasnya, seakan kaki ini berjalan maju secara otomatis.
"Berhenti!" Sekonyong-konyong, pria paruh baya melesat merentangkan tangan di hadapan Ji In. Mau tak mau, wanita tu berhenti sambil menyabet kaleng soju berikutnya.
"Ada apa...." Bunyi desisan kaleng soju menandakan kesiapannya untuk diminum.
"Maaf mengganggu waktumu, Nona," katanya terkekeh geli dengan mata berkedip puluhan kali. Ji In menyebutnya 'mata jelalatan'. "Waktu saya keluar, saya tak sengaja lihat anda. Melihat penampilanmu cukup menarik membuat saya ingin merekrutmu menjadi moderator podcast."
"Podcast?" Mendadak kepala Ji In berdenyut nyeri usai menenggak minuman beralkohol. "Apa itu? Kenapa kau sangat yakin kalau aku bisa menjadi ... podcast ... apa itu, aku tak paham."
"Ah, karena anda terlihat tak kuat mabuk," dia merogoh selembar kertas sejenis karton dari saku celana beraroma parfum kakek-kakek, "kita bisa tentukan hari untuk temu bahas moderator podcast di studio saya."
Lantas Ji In menerimanya begitu saja tanpa mengamati nama dan nomor telepon si pria bermata jelalatan itu. Ia juga melengos tanpa permisi, tak kuasa menahan mual.
"Saya sangat mengharapkanmu, Nona!" Dengar dia berteriak, kesadaran Ji In malah makin melayang.
"Joyongihae, ahjushi!" Maka, Ji In tak keberatan menandai hari ini sebagai hari tersial sehidup semati. []
Joyongihae, ahjushi!: Berisik, paman!
Gomapta, sunbaenim: Terima kasih, senior
Joesonghamnida, Yong Moon-sunbaenim: Saya sangat minta maaf, senior Yong Moon
Halo, badders.
Hmm, ini pertama kalinya nulis novel aksi pakai latar Korea. Buat kamu yang suka Korea atau punya paham tentang latar dan budaya Korea, tolong kasih tau aku ya mana aja yang terasa janggal.
Thank you.♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top