Part 9
"Lo gak capek apa, diem di kamar mulu? Kata Tante Monic, lo udah tiga hari gak keluar kamar."
"Peduli apa mereka sama gue, hah?" Tanpa menatap Adam yang duduk di tepi ranjang kamarnya, Teresa bertanya balik. Lelaki itu baru saja datang, dan ini pertama mereka bertemu setelah acara pertunangan beberapa hari lalu. "Mereka saja enggak ngertiin perasaan gue. Memaksa gue tunangan sama si lelaki manekin, padahal mereka tahu gue udah punya kekasih."
Adam menatap lekat sang sepupu yang meneteskan air mata. Suara Teresa terdengar parau di sela isakan lirih yang keluar dari mulutnya. Raut wajah penuh luka, kecewa, sakit hati, ia bisa melihat jelas di wajah perempuan itu. Tangisnya tertahan dan terlihat begitu menyakitkan.
"Lo juga salah satu dari mereka yang enggak punya hati." Teresa beralih menatap Adam dengan linangan air mata semakin deras. "Lo pasti udah tahu rencana ini, 'kan? Tapi, kenapa lo gak bilang sama gue? Kenapa kalian, bahkan, Gilang, Vi, dan Ershad, nutup-nutupin ini semua dari gue? Kalian pikir, gue enggak punya hati? Gue enggak punya perasaan? Tubuh gue nggak bernyawa? Kalian nganggap gue ini, boneka yang bisa diatur sana-sini dan nerima apa pun yang kalian lakukan?" tanyanya penuh emosi sambil menunjuk diri sendiri.
"Enggak gitu, Res."
"Lalu, apa, hah?" Teresa semakin terisak keras. Dada terasa mencelus saat sakit hati kian menusuk. Ia mengusap kasar air mata di pipinya, lalu berkata lagi, "Dan kalian berhasil, kalian berhasil membuat gue seperti robot yang enggak bisa berbuat apa-apa. Kalian licik tahu gak? Menggunakan Nenek sebagai ancaman."
Adam beringsut mendekati Teresa, lalu menarik perempuan itu dan didekapnya.
"Sekarang gue enggak bisa apa-apa, Adam. Gue punya orang tua, gue punya rumah, tapi kenapa harus tinggal dengan lelaki yang enggak gue kenal? Kenapa mereka sangat tega ngelakuin itu ke gue?" Teresa terus meluapkan emosi, tergugu dalam dekapan Adam sambil mencengkeram keras bahu lelaki itu. "Bantu gue pergi dari sini. Gue mau balik ke New York lagi." Ia menggeleng keras. "Gue enggak mau di sini."
"Res, gue bisa saja bantu lo keluar dari sini. Tapi, ada Nenek. Dia dan Mama lo yang ngatur ini semua. Nenek juga sangat menginginkan lo nikah dengan Harden."
Mendengar nama Harden, Teresa langsung melepaskan pelukan lantas menjauh secepat kilat dari Adam. Ia kembali duduk menyamping, tidak menghadap lelaki itu. Percuma! Percuma ia meminta bantuan. Tidak ada seorang pun yang bisa membantunya jika yang memiliki power lebih adalah orang tua yang sudah sakit-sakitan dan sangat dijaga kondisinya.
"Mungkin ini sudah jalan takdir lo."
"Diem lo! Pergi dari kamar gue! Pergi!" seru Teresa di sela tangisnya. Hari ini ia harus meninggalkan rumah dan tinggal seapartemen dengan Harden. Enggak ada yang waras mereka.
"Gue percaya, Res, Harden orang yang baik. Dia gak bakal ngapa-ngapain lo, andai kalian tinggal seapartemen." Adam berucap pelan, membuat Teresa menutup telinganya.
"Lo sama aja dengan mereka. Gue bilang pergi dari kamar gue, Adam! Pergi sekarang!" usir Teresa penuh paksa.
"Kalau Harden ngapain-ngapain elo, gue akan maju paling depan, Res. Walaupun elo tinggal seapartemen dengan dia, gue akan selalu memantau keselamatan dan kehidupan elo. Yang harus lo tahu, gue dan yang lain sangat menyayangi lo."
"Bullshit!"
Adam terdiam mendapat sentakan dari perempuan yang duduk meringkuk itu. Sejenak memerhatikan, kemudian ia beranjak dan keluar. Monica telah bercerita panjang lebar tentang Teresa yang merajuk, susah makan, dan mengurung diri di kamar. Sesungguhnya ia tidak setuju jika Teresa tinggal seapartemen dengan Harden. Namun, Monica memiliki alasan jelas. Tujuannya untuk menyatukan mereka agar lebih cepat dekat, serta saling tahu satu sama lain. Dan menurut para orang tua, cara itu akan berhasil meskipun harus mengorbankan perasaan sang anak demi kepuasan pribadi. Bukankah jodoh, maut, dan rezeki sudah ada jalannya sendiri? Lalu, bagaimana dengan cara perjodohan yang telah diawali dengan pemaksaan? Bukankah hasil akhir juga akan menyakitkan? Sudah banyak contohnya.
Adam menuruni anak tangga. Tatapannya mengarah ke ruang keluarga saat mendengar suara perempuan berbincang. Di sana ada sang nenek yang telah kembali tinggal di rumah Teresa sejak tiga hari lalu. Ada Monica, pun Adira yang akan mengantar Teresa ke apartemen Harden nanti sore, diikuti dirinya dan sang nenek.
"Adam, bagaimana dengan Teresa? Apa kamu berhasil membujuknya?" Monica langsung melemparkan pertanyaan, sampainya Adam menginjakkan kaki di lantai dasar.
Adira dan Erika ikut mengarahkan pandangan ke lelaki itu.
"Tanpa dibujuk pun, Teresa akan tetap pergi 'kan, Tan?" Adam melangkah menghampiri. "Apa kalian harus melakukan ini kepadanya? Dia sangat tersiksa dengan perjodohan yang kalian buat. Kenapa harus dengan cara pemaksaan untuk mendapatkan hak kalian? Kenapa kalian tidak memikirkan perasaan sepupuku, hah? Aku kasihan melihatnya yang terus menangis. Dia kehilangan kecerian setelah adanya perjodohan dan pertunangan yang tak diinginkan."
"Adam," tegur Monica pelan, merasa tak enak hati dengan Adira.
"Kenapa, Tan? Kenyataannya memang seperti itu. Selama aku hidup, baru kali ini aku melihat Teresa menangis karena sakit hati. Sakit hati kepada kalian yang enggak bisa ngertiin perasaannya." Adam duduk di sofa tunggal, menatap mereka dengan mimik wajah tak terbaca.
"Teresa belum kenal Harden. Dan itu alasan kami meminta dia tinggal di sana."
"Tapi, cara kalian salah."
"Lalu, cara apa yang benar, Adam? Membiarkan dia pergi ke New York dan menikah dengan lelaki itu? Membiarkan Teresa tetap berjauhan dengan Harden, dan tidak ada kemajuan untuk hubungan keduanya? Kami tahu apa yang terbaik untuknya, Adam. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya ke jalan yang salah. Harden sudah jelas bagaimana orangnya. Sudah jelas asal-usul keluarganya. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi."
"Tapi, ini tentang perasaan Teresa. Dia yang akan ngejalanin kehidupan. Tante, sendiri tahu bagaimana sifat dan karakter Teresa. Dia memang suka kebebasan, tapi dia masih tahu aturan dan terbukti sampai sekarang. Apa dengan cara seperti ini, dia akan bahagia? Tidak, Tan. Yang dirasakan Teresa adalah tekanan dan kekangan. Seharusnya Tante, tahu yang dirasakan anak Tante."
"Adam, Tante tahu kamu khawatir dengan kondisi Teresa sekarang, dan Tante lebih tahu itu. Untuk ke depannya dia pasti akan terbiasa, bahagia dengan kehidupan barunya bersama Harden."
Adam mendesah sambil mengibaskan salah satu tangan, tanda menyerah. Teresa orang yang keras kepala bagi dirinya, tapi Monica lebih keras kepala lagi. Dan sekarang, ia tahu kekeras kepalaan Teresa menurun dari siapa. Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Sore harinya, Teresa diantar ke apartemen Harden. Dengan perasaan dongkol, marah, dan sakit hati, sepanjang perjalanan perempuan itu terus bungkam tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Tidak peduli kepada sang mama yang terus mengajaknya berbicara, dan tidak memedulikan orang-orang sekitarnya. Diam memang lebih baik untuk dirinya dalam bentuk demonstrasi.
Sampainya di apartemen Harden, lelaki itu belum pulang dari kantornya. Sekarang masih jam setengah enam,
mungkin tidak akan lama lagi lelaki itu kembali, pikir Teresa. Ia pun langsung diajak keliling oleh Adria, memberitahu di mana kamarnya dan kamar itu yang pernah ia tiduri waktu lalu--tepat di samping kamar Harden. Dalamnya ada walk in closet, barang-barang miliknya sudah tertata rapi di sana dari tas, pakaian, dan segala macam sepatu, serta aksesoris yang ada di meja tengah-tengah ruangan.
Ya, tidak heran barang miliknya sudah di sana. Hari setelah makan malam waktu itu, mamanya mulai sibuk memindahkan barang-barang miliknya ke apartemen Harden, menyicil. Tentu tidak mudah ia melepaskan. Namun, lagi dan lagi, neneknya yang maju untuk menghadap dirinya.
Licik bukan?
Adira berlanjut mengajaknya berkeliling. Dengan perasaan malas dan loyo saat berjalan, Teresa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sekeliling. Padahal apartemen Harden terbilang mewah dan elit. Memiliki ruang tamu luas berdinding full kaca, sehingga pemandangan di luar terlihat jelas dari lantai paling atas gedung apartemen tersebut. Ruang makan yang tak ada sekat dari ruang tamu, penataan meja panjang dan kursi-kursinya terlihat sangat rapi dengan dekorasi dan desain yang aesthetic. Lalu, beralih ke dapur yang memiliki konsep luxury. Terlihat dari kilauan marmer hitam pada meja serta kitchen set yang bersih dan rapi, bisa menggambarkan bagaimana sifat Harden yang suka kebersihan.
"Harden ini hobi masak sejak dulu, Resa. Setiap pulang kerja, dia pasti akan menyempatkan masak untuk makan malam. Dia salah satu penyuka makanan rumahan karena dia sendiri yang tahu makanan itu higienis atau tidak. Tapi, jenis makanan yang tidak mengandung minyak berlebih. Soal makanan, dia memang agak milih-milih."
"Aku tidak bisa masak. Kalau aku disuruh masak, aku akan memberikan racun ke dia," balas Teresa asal. Tidak peduli yang berbicara adalah Adira, mama kandung lelaki itu.
Namun, bukannya marah, Adira justru tertawa lirih. Ia sudah paham karakter Teresa yang suka berbicara frontal jika ada yang tidak disukainya. Monica sudah memberitahunya. Jadi, mau Teresa bersikap apa pun kepada dirinya, ia tidak akan marah. Ia tahu tugasnya adalah meluluhkan hati menantu idamannya tersebut.
"Tidak apa-apa kalau kamu mau memberikan racun ke dia, Sayang. Siapa tahu setelah kamu kasih racun, sikap kaku dia akan berubah jadi lebih hangat."
"Mana ada seperti itu? Racun yang akan kuberikan, sianida, Tan. Memangnya Tante, enggak takut aku tinggal dengannya dan anak Tante akan mati sia-sia? Aku orangnya tegaan."
"Mana ada pembunuh sudah ngaku lebih dulu, hem?" Adira terkekeh, menghadap Teresa sambil bersedekap. Sedangkan tiga orang lainnya sedang sibuk melihat-lihat sekitar dengan Monica mendorong kursi roda Erika.
"Ada. Resa orangnya." Teresa menampilkan wajah kesal. Jangan dikira emosinya sudah mereda. Belum. Ia tentu masih sangat kesal kepada semuanya.
"Nah, itu Harden pulang," kata Adira ketika mendengar pintu terbuka dan tertutup kembali. "Ayo, Sayang. Kita sambut dia. Setelah beberapa hari kamu tinggal dengannya, kamu akan tahu lebih banyak tentang Harden. Tentang kebiasaannya, tentang pola hidupnya, dan apa pun tentang dia. Termasuk ... merasakan masakan dia. Selama ini tidak pernah ada yang tahu dia memiliki hobi masak. Itu masih menjadi rahasianya ... sampai sekarang," sambungnya sambil menarik Teresa ke ruang tamu dengan penuh rasa bahagia.
***
Sebutkan kata-kata yang ingin kalian sampaikan ke Teresa, Guys.😂😂
Yang mau pesan novelnya bisa langsung hubungi nomor WA yang tertera di banner, ya. Atau DM IG KAROS PUBLISHER atau YULI_NIA994
Yang mau novel gratis, bisa juga ikut GA yang sedang diselenggarakan di IG YULI_NIA994
14 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top