Part 8

"Anak itu ... awalnya menolak keras. Tapi, dia tetap tidak tegaan kalau sudah melihatku merajuk." Bersama Monica di sebuah butik sambil melihat-lihat gaun, Adira bercerita bagaimana ia membujuk Harden untuk ikut makan malam yang akan diadakan nanti jam tujuh tepat--di sebuah restoran dan bersifat privacy.

"Dan atas kesepakatan bersama dengan suami-suami kita, sepertinya kita memang harus melakukan itu agar mereka bisa saling dekat, Dir." Monica menyahut santai sambil meneliti kedetailan jahitan gaun yang terpajang di gantungan. Adira bilang, perempuan itu ingin membelikan gaun untuk Teresa agar dikenakan nanti malam. Padahal ia sudah mengatakan jika sang anak memiliki gaun cukup banyak dan tak perlu membelikan untuknya.

Namun, Adira tetap memaksa. Ia ingin Teresa tampil lebih cantik agar bisa menarik hati anak lelakinya. Meskipun Harden telah memiliki kekasih, tetapi ia tahu jika anaknya belum serius. Lagipula, ia juga kurang cocok jika Harden dengan Indira. Apalagi ia sudah mengincar Teresa untuk dijadikan menantu, sejak perempuan itu masih kecil dan keinginan itu tak berubah sampai sekarang.

"Benar, Monic. Dengan begitu mereka akan semakin dekat satu sama lain." Adira menjeda ucapannya ketika membatin gaun yang sedang dipeganginya. "Yang ini bagaimana menurutmu? Masuk tidak untuk Teresa?" tanyanya, sedikit melebarkan gaun bagian bawah.

Salah satu tangan Monica melingkar di perut, sedangkan satunya memegangi dagu sambil mengamati gaun yang dipegang Adira. Gaun berwarna peach itu memiliki taburan swarovski di bagian dada sehingga kesannya tampak mewah. Tak berlengan dengan bagian leher terdapat tali pita. Punggungnya agak terbuka tapi bisa ditutup dengan ramput panjang Teresa. Sementara bawahnya agak mengembang dengan bagian belakang panjang sebetis dan depan selutut.

"Cantik, anggun, mewah, karakter Teresa sekali," kata Monica sambil manggut-manggut.

"Dia pakai apa pun tetap masuk, ya. Cocokan."

"Berkalung usus waktu lahir dan kata orang tua cocokan pakai apa pun. Maksudnya, mau pakai baju mewah atau sederhana tetap terlihat luwes."

"Ah, iya, aku pernah mendengar kata-kata itu. Oke, aku ambil yang ini saja." Adira mengambilnya dari gantungan. "Eeehm, sepertinya aku perlu memanggil penata rias juga ke rumahmu. Takutnya dia enggak mau dandan," katanya sambil menatap Monica dan berjalan-jalan lagi.

"Penata rias biar aku saja yang ngundang. Biar sama fifty-fifty."

Adira menyetujui. Merasa tidak ada yang ingin dibeli lagi dari butik itu, ia memutuskan menuju kasir dan membayar gaunnya.

Sore hari jam lima, Monica sampai di rumah dengan tangan kanan menenteng bungkusan gaun dari Adira. Ia bersama seorang penata rias perempuan yang berjalan di belakangnya, menaiki anak tangga ke lantai dua, tujuannya langsung mengarah ke kamar Teresa.

"Karena ini untuk acara makan malam, sepertinya make up ala Korea lebih cocok. Agar masih terlihat natural dan segar," kata Monica, sampainya di lantai dua.

"Baik, Bu. Saya akan memberikan yang terbaik untuk Anda dan Ibu Adira." Penata rias itu berkata lembut sembari mengulas senyum.

Keduanya sampai di depan kamar Teresa. Monica mengetuk pintu bercat putih gading di depannya, sebelum masuk. Lantas, membukanya dan melihat sang anak sedang rebahan di ranjang.

"Mama bawa apaan lagi?" tanya Teresa malas sambil menatap mamanya melangkah masuk. Di belakangnya ada seseorang, menenteng box hitam.

"Gaun, Sayang. Tante Adira membelikan ini untukmu."

"Kemarin Nenek, sekarang Tante Adira, nanti siapa lagi? Lagian, buat apa pula beli gaun untukku?" Teresa beranjak duduk. "Dan dia siapa?" Tatapannya beralih ke perempuan berblazer hitam membalut kemeja putih, dengan bawahan celana hitam.

"Lain kali Harden mungkin yang akan membelikan untukmu." Monica berucap asal, sengaja ingin menggoda sang anak yang masih menampilkan wajah lempeng. Ia mengulas senyum menggoda sambil meletakkan bungkusan gaun ke sofa panjang depan ranjang, dan dengkusan kasar ia dengar dari Teresa.

"Dari pagi kamu belum mandi, Resa?" Monica geleng-geleng melihat kemalasan Teresa yang tidak biasanya seperti itu. Baju tidur pendek berbahan satin yang dipakainya dari semalam, masih melekat di tubuh ramping sang anak. Ia bersedekap, menoleh ke belakang sekilas menatap sang penata rias dan beralih ke Teresa lagi. "Dia penata rias yang akan membantumu merias. Dan gaun ini ... Tante Adira ingin kamu memakainya malam ini. Harus pakai, ya. Tidak baik menolak pemberian orang, Sayang."

"Sudah Resa bilang, Resa enggak mau datang ke acara makan malam itu. Resa enggak mau, Mama! Please, jangan maksain, dong!" Teresa berdecak sambil mencengkeram gemas bantal yang dipangkunya.

"Apa Mama harus minta bantuan ke Nenek lagi agar kamu mau?"

"Jangan bawa-bawa Nenek, dia sudah tua. Pasti Nenek dipaksa Mama buat ngomong di depan orang-orang saat acara pertunangan laknat itu, 'kan?" Teresa menatap sengit sang mama. Sementara penata rias di belakang perempuan itu diam tak berkutik bak memasuki area perkelahian.

"Makanya menurut saja, Sayang. Mama melakukan ini juga untuk kebaikanmu ke depannya. Sebenarnya Harden itu laki-laki yang baik, tapi kamu belum kenal saja. Makanya, kita lakukan pertemuan lagi malam ini agar kalian saling mengenal lagi."

'Laki-laki baik dari mana? Cabul, iya! Peritungan, apalagi! Mama belum tahu aja kejelekan si lelaki manekin itu.' Teresa membatin penuh emosi dan masih bertahan di tempat. Lalu, terpaksa turun dari ranjang saat mamanya menariknya dan membawanya ke kamar mandi.

"Resa mau pulang ke New York lagi. Enggak mau di siniii!" seru Teresa setelah mamanya keluar dari kamar mandi. Ia marah, tapi justru terdengar manja suaranya.

Sementara Monica tidak menanggapi, terus berjalan menghampiri sang penata rias. "Kamu tunggu saja di sini, tidak apa-apa. Saya akan menyuruh Bibi membuatkan minuman untukmu," katanya. Ia melihat perempuan di hadapannya mengangguk dan berkata iya. Kemudian, ia benar-benar meninggalkan kamar sang anak.

***

Setengah tujuh, Monica dan Edward telah siap dan berpakaian formal. Mereka masih menunggu Teresa di ruang keluarga, yang belum menampakkan batang hidungnya sejak tadi. Pun dengan penata rias yang belum keluar dari kamar sang anak. Namun, tidak lama, penata rias itu berjalan menuruni anak tangga dengan raut wajah penuh kecemasan.

"Sudah selesai?" tanya Monica ramah, kepada perempuan yang menenteng box make up. "Bagaimana? Dia tampil cantik 'kan?" tanyanya lagi, sangat penasaran.

"Sudah, Bu, tapi ...." Perempuan itu tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya. Ia takut mengecewakan Monica. Namun, sungguh, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meng-make over Teresa agar tampil cantik.

"Tapi?" Monica mencium sesuatu yang tak mengenakkan melihat dari raut wajah perempuan yang menghadapnya itu. Belum sampai penata rias itu menjawab, Teresa yang menuruni anak tangga lebih mencuri perhatiannya.

"Resaaa, kenapa pakai pakaian seperti itu? Tante Adira sudah membelikanmu gaun untuk dipakai malam ini. Dan wajahmu, kenapa enggak ada make up sama sekali?" Monica sangat terkejut melihat anaknya hanya mengenakan hoodie putih, celana pendek hitam atas lutut, dan sepatu sneakers hitam. Rambut panjangnya dicepol asal, wajahnya benar-benar polos tak ada make up. Bahkan, bibirnya yang merah muda itu asli dari bawaan lahir.

"Yang penting pakai baju. Daripada telanjang bulat." Teresa yang sudah sampai lantai bawah berkata asal. "Jadi, gak, makan malamnya? Kalau enggak, Resa mau pergi main sama Adam."

Dan dengan sangat terpaksa, Monica hanya bisa pasrah. Ia menatap lesu kepada Edward yang menggumamkan kata tidak apa-apa.

"Bu, maaf sekali, ya. Tadi, saya sudah berusaha ingin mempercantik dia, tapi saya justru ditahan dan tangannya diikat. Dan baru dilepas saat mau keluar ini."

Mendengar aduan sang penata rias, kali ini Monica geleng-geleng tak habis pikir dengan tingkah anaknya. Ia menarik napas panjang-panjang sambil mengusap dada mencoba sabar. Sedangkan anak dan suaminya telah berlalu keluar.

Setelah bertahun-tahun tidak melihat tingkah absurd anaknya, kali ini Monica dihadapkan lagi dengan tingkah pemberontakan Teresa, yang katanya untuk pembelaan diri karena tidak suka dikekang dan diatur. Ia kembali fokus kepada sang penata rias, lantas berucap, "Tidak apa-apa. Maafkan tingkah anak saya yang seperti itu, ya. Kamu akan tetap saya bayar, kok." Justru ia sendiri yang merasa tak enak hati kepada perempuan itu.

"Iya, Bu."

Keduanya berjalan keluar bersama, dengan Monica memesankan uber taksi untuk sang penata rias. Lalu, berpisah ketika Monica memasuki mobilnya. Sepanjang perjalanan sampai restoran, Monica tidak hentinya berceramah kepada Teresa. Tak jauh-jauh dari kata kesopanan saat nanti berhadapan dengan orang tua Harden, bahkan dengan Harden sendiri.

Namun, semua itu akan masuk telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri oleh Teresa yang tidak menanggapinya. Perempuan itu lebih banyak diam, justru sibuk dengan ponsel untuk berbalas pesan dengan David dan teman-temannya di New York. Ia juga sudah memberitahu kepada mereka jika dipersulit pergi ke sana, namun tidak memberitahu perihal perjodohannya.

Sampainya di restoran dan memasuki ruangan private yang hanya tersedia satu meja bundar besar dan beberapa kursi, mereka disambut oleh keluarga Harden yang lebih dulu sampai.

"Loh, Resa, enggak pakai gaun yang Tante beliin tadi?"

Mendengar pertanyaan dari sang calon besan, Monica agak tak enak hati. Ia langsung mengucapkan permintaan maafnya kepada Adira. Lalu, memberitahu alasan kenapa Teresa tidak memakai gaunnya, dan tak ada yang ditutupi kecuali pengikatan sang penata rias. Itu terlalu memalukan jika Adira tahu kebar-baran Teresa.

"Tapi, masih cantik kok pakai pakaian seperti ini. Emang dasarnya sudah cantik, ya." Adira tersenyum lebar sambil memegang salah satu bahu Teresa. "Kalau polos gini malah terlihat imutnya." Kemudian, ia menangkup sebelah wajah sang calon mantu, mengusapnya lembut.

'Gagal lagi bikin mereka ilfil,' batin Teresa, tak semangat.

"Ayo, duduk. Resa, duduk dekat Harden, ya. Biar kalian lebih dekat lagi," ajak Adira dengan senang hati, sekaligus menuntun Teresa duduk di kursi sebelah Harden.

Para orang tua telah duduk di tempatnya masing-masing. Diselingi obrolan, membiarkan para pelayan melayani dan menjamu dengan menu makanan yang telah dipesan, Adira dan Monica tak hentinya melemparkan candaan kepada kedua anaknya. Namun, tetap saja. Tetap tidak ada reaksi apa pun untuk Teresa dan Harden. Seolah, di antara keduanya tersekat benteng yang tebal dan tak bisa ditembus.

Makan malam pun berjalan lancar. Monica yang tadinya agak was-was jika sang anak melakukan hal yang tak disangka, seperti kentut misalnya, ia bisa bernapas lega saat Teresa benar-benar anteng sambil menikmati makanannya. Ah, tidak. Bahkan, dari perhatiannya, makanan yang ada di piring Teresa hanya diaduk-aduk tidak jelas. Mengambil makanan untuk dilahap pun hanya di ujung sendoknya saja, tidak penuh. Namun, Monica tidak menegur. Yang terpenting bagi dirinya, Teresa anteng.

"Oke, jadi, diadakan makan malam ini ada banyak hal yang ingin kami sampaikan ke kalian berdua," kata Adira, membuka pembicaraan setelah semua selesai menyantap makan malam. "Untuk pertama-pertama, kami, para orang tua ingin meminta maaf ke kalian berdua karena tidak memberitahu lebih dulu adanya perjodohan dan pertunangan ini." Ia menatap bergantian kepada Harden dan Teresa. Namun, keduanya terlihat tak peduli.

"Sebenarnya perjodohan ini sudah berlangsung sejak lama. Mungkin Mama kamu sudah menjelaskan ke kamu, Resa?" tanya Adira, dan Teresa hanya menatapnya tanpa membuka suara. Ia menunggu sesaat, tapi tetap tidak mendengar suara dari sang calon mantu. Kemudian, ia melanjutkan perkataannya lagi, "Kami tahu, kalian sangat menentang dan menolak perjodohan ini. Mungkin karena kalian tidak saling kenal lagi, setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu. Dan dengan berkumpulnya di sini, dari kesepakatan kami semua para orang tua, kami memutuskan untuk Teresa tinggal seapartemen dengan Harden."

"Apa?!" Kali ini Harden dan Teresa berseru kompak. Kelopak sama-sama melebar, seakan-akan bola mata akan menculat dari tempatnya.

"Enggak!"

"Tidak!"

Keduanya berseru kompak lagi, lalu saling menatap sengit.

"Resa enggak mau tinggal sama Harden! Dijodohin aja enggak mau! Kalian semua tahu gak sih, maksud Resa! Mama sama Papa juga, kenapa tega banget sama anak?! Kirain sayang sama Resa, tapi malah minta anaknya tinggal seatap sama laki-laki. Papa bilang, Resa harus jaga diri. Jangan sampai hamil di luar nikah. Nanti kalau Resa dihamilin si--, maksudnya kalau dihamilin Harden---."

"Kami tinggal nikahin kalian," potong Adira dan Monica, kompak, sambil menampilkan wajah sumringah.

"Aaargh! Enggak mauuu!" Kesabaran Teresa mulai menipis. Sementara si lelaki manekin di sebelahnya tidak bersuara apa-apa lagi. "Bilang lagi dong, sama mereka. Jangan diem mulu!" semburnya kepada Harden sambil menginjak salah satu kaki lelaki itu yang terbalut sepatu pantofel.

"Resa, kami melakukan ini agar kalian lebih banyak memiliki waktu bersama, bisa lebih cepat dekat, dan saling tahu satu sama lain." Kali ini Dareen yang bersuara. "Untuk pekerjaan, kamu tidak perlu khawatir, Nak. Om memiliki perusahaan advertising yang mencakup dengan kariermu. Jadi, kamu bisa masuk ke perusahaan Om, menduduki jabatan yang sama sepertimu dulu sebagai senior strategic planner, dan ada pada pimpinan Harden."

'Matilah gue.' Teresa mendesah. Ia merosotkan tubuh dari duduknya sambil menutup kepala sampai muka menggunakan kupluk hoodie. Dalam hati, ia berseru, sangat berharap malaikat pencabut nyawa datang sekarang dan membawanya pergi dari dunia ini.

***

Udah mulai pasrah, Teresa. Dari kemarin teriak-teriak mulu.🤣🤣🤣

Guys, yang mau ikutan GA atau mau PO novelnya, langsung datang ke IG ya🫶🫶


10 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top