Teresa menggeliat diiringi erangan berat sambil perlahan membuka mata. Ia sesekali mengerjab untuk menormalkan pandangan. Sebab, paparan cahaya dari luar dinding kaca begitu menyilaukan. Ia tidak tahu jam berapa sekarang, dikatakan pagi pun tidak mungkin karena cuaca sangat terang. Dalam hati, ia merutuk kesal. Siapa yang telah berani membuka gorden di kamarnya tanpa permisi lebih dulu.
Wait, kamar?
Detik itu juga kesadaran Teresa mulai pulih total. Kamar miliknya tidak berdinding kaca, jadi sangat tidak mungkin itu kamarnya.
Perempuan yang masih anteng dalam balutan selimut tebal, akhirnya termenung sambil menatap langit-langit, menilai plafon yang berbeda jauh interiornya dengan kamar miliknya. Kemudian, ia beralih mengitari sekitar, menilai penataan ruangan, isi di dalamnya, lampu tidur yang berbeda, pajangan yang ada. Ia sadar betul jika sekarang sedang di apartemen seseorang.
Wait, apartemen atau hotel?
Ia berasumsi lagi, lantas beranjak duduk.
"Damn it!" rutuknya, saat kepala terasa bak dihantam benda tumpul.
Teresa terpejam sambil memegangi kepala, terdiam dan menunduk, menunggu sampai rasa pusing yang membuatnya kliyengan menghilang perlahan.
Merasa lebih baik lagi, Teresa kembali mengitari penjuru ruangan. Furniture, dinding dalam, dan lantai terbuat dari kayu, lebih dominan warna cokelat, kecuali permadani silver di bawah ranjang. Kali ini ia meyakinkan jika itu memang kamar apartemen, bukan hotel. Namun, yang menjadi pertanyaan, siapa pemiliknya?
"Coba ingat-ingat, Res." Teresa mengetuk-ngetuk dahinya, mencoba mengingat kejadian semalam.
Dari serentetan kejadian dan lokasi, Teresa mengingatnya. Dari acara pernikahan Gilang, tunangan dirinya yang tak terduga, menangis di pinggir jalan, naik taksi membayar ongkosnya menggunakan heels, dan berakhir di kelab malam. Ia minum whiskey, tapi setelahnya tidak mengingat apa-apa.
"Fuck! Bagaimana kalau lelaki hidung belang yang membawa gue ke sini?" Ia mulai gelisah, jangan sampai keperawanannya diambil paksa. Tapi, ia tidak merasakan sakit di tengah selakangan. Kata Anne, jika perempuan pertama kali melakukan hubungan intim akan merasakan sakit di sana.
Teresa bernapas lega, merasa masih aman. Namun, tidak berselang lama kegelisahan kembali menyerangnya. Semalam ia memakai gaun, tapi sekarang gaun itu telah menghilang dan terganti dengan kaus oblong hitam kebesaran serta bawahan celana kolor sport.
"Ini punya siapa?!" jeritnya terkejut, lalu beranjak turun dari ranjang.
Teresa mengabaikan rasa pusing di kepalanya yang masih nyer-nyeran. Ia berlari cepat keluar kamar, harus tahu siapa yang membawanya ke tempat asing. Kali ini, ia mulai menyalahkan diri karena semalam kebablasan mabuk. Tapi, ini tidak sepenuhnya kesalahan dirinya. Ini semua karena keluarganya yang membuatnya hampir gila semalam.
"Oooh, ternyata dia yang membawa gue ke sini?" gumam Teresa sambil berkacak pinggang, ketika menemukan Harden di ruang tamu. Lelaki itu duduk di sofa, sedang sibuk dengan laptop di atas pangkuannya dan telinga disumpel earphone. Ia menyipitkan mata, lalu berjalan cepat menghampiri.
"Jadi, lo yang udah berbuat kurang ajar ke gue!" seru Teresa sambil melangkah lebar. Sampainya di belakang lelaki itu, ia menjambak rambutnya dan menariknya ke belakang.
Harden tercengang, matanya yang setajam elang menatap dingin Teresa.
"Jangan kira kita tunangan semalam, terus lo bisa seenaknya ke gue! Enggak! Gue bukan wanita murahan dan lo sudah menyalahi aturan dengan membuka-buka baju gue dan menggantinya dengan ini! Asal lo tahu, gue enggak mau tunangan sama lo dan semalam terpaksa mengiyakan karena ada Nenek." Teresa berseru sampai napasnya menggebu. Sedangkan sang lawan bicara masih diam sambil menatapnya tajam serta rahang mengetat keras. Namun, tidak lama lelaki itu menghempaskan tangannya dalam sekali tarik.
Harden beranjak berdiri, mengayunkan kaki menghampiri Teresa. Tingginya yang mencapai 185cm, membuat perempuan di depannya tampak tenggelam--hanya sebatas dagunya saja.
"Kamu pikir sendiri kenapa bisa sampai di sini?"
Kali ini Teresa yang tertegun mendengar suara berat Harden. Untuk pertama kalinya dari semalam, ia bisa mendengar suara si lelaki manekin.
"Gue?" Teresa menunjuk dirinya sendiri sambil mendongak. "Kenapa harus gue yang mikir, hah?" Ia menatap menantang lelaki di depannya. "Ini apartemen lo. Pastinya lo yang membawa gue ke sini dengan kesadaran penuh seratus persen!"
"Ya."
"Dan lo udah nelanjangin gue! Cabul lo!"
"Terus? Aku harus meminta maaf dan bersujud di lututmu?"
"Ya!" Teresa berkata mantap sambil mengepalkan kedua tangan. Jika perlu, Harden harus melakukan itu karena telah menelanjangi dirinya. Enak saja!
"Kamu bukan Tuhanku, bukan ibuku, dan bukan siapa-siapaku. Dan aku tidak perlu melakukan itu kepadamu. Seharusnya kamu yang sadar diri dan berterima kasih karena aku telah membawamu ke sini, menjauh dari pria hidung belang di kelab malam. Ah, ya, satu lagi, kamu memiliki hutang padaku empat juta lima ratus untuk membayar tujuh botol minumanmu semalam. Kamu pikir minuman itu gratis, huh?"
"Gue gak akan mengucapkan terima kasih, karena gue enggak pernah minta pertolongan ke elo. Satu lagi, gue akan membayar hutang ke elo transfer ke rekening. Mana, kasih ke gue nomor rekening lo. Karena gue tidak ingin bertemu dengan lo lagi. Ingat! Tidak ada kata tunangan di antara kita. Dan hari ini, hari terakhir kita bertemu."
"Aku harap begitu. Lagipula aku juga tidak sudi memiliki istri sepertimu. Bukan tipeku."
"Dan lo kira, lo tipe gue? Enggak! Lo sama sekali bukan tipe gue, Lelaki Manekin!"
Keduanya saling melemparkan tatapan permusuhan. Jika ada tekanan listrik yang menyorot dari bola matanya, akan terlihat saling bentrok untuk memperjuangkan kemenangan.
Harden memutuskan tatapan lebih dulu. Lantas, berlalu mengambil buku catatan di laci meja yang atasnya terpajang tiga guci kecil. Ia menuliskan nomor rekening miliknya. Menyobek kertas itu dengan cepat dan diberikan ke Teresa.
"Aku tunggu transferan uang darimu dalam waktu 24 jam."
Teresa menyahut kertas itu. Tanpa mengucapkan sepatah-kata pun, ia keluar dari apartemen Harden. Tidak peduli dengan penampilan dan pakaian yang dikenakan sekarang. Gaunnya di mana pun, ia tidak peduli. Bahkan, kaki jenjangnya tidak beralaskan sandal maupun sepatu pun, ia tidak peduli.
"Pulang ke Indonesia bukannya senang, malah bernasib malang," gerutunya sambil berjalan menuju lift.
***
"Sudah jam empat sore, tapi Teresa belum pulang juga. Mana dicari ke setiap tempat, masih enggak ketemu." Di ruang tamu rumahnya, Monica berjalan mondar-mandir menampilkan wajah sendu, lusuh, dan gelisah. Semalam ia tidak bisa tidur, terus menunggu anaknya di ruang tamu.
"Resa pasti akan pulang, Ma."
Edward yang duduk di sofa sambil memerhatikan sang istri juga merasakan kekhawatiran yang sama. Tetapi, lelaki itu terlihat lebih tenang. Seringkali melontarkan kata menguatkan untuk Monica. Sementara Adam, Vi, dan Ershad masih melanjutkan pencarian Teresa. Erika masih diinapkan di rumah Adam untuk menghindari hal yang tak diinginkan.
"Ini salah kita, Pa." Monica menatap lesu sang suami. "Tapi, kalau kita berkata jujur ke Resa akan dijodohkan dengan Harden, dia pasti tidak akan mau pulang ke Indonesia. Pasti akan berbuat nekat untuk menikah dengan David, tanpa persetujuan kita."
Edward mengangguk paham. Lalu, pandangannya tertuju pada jendela. Bukan teralis berukir maupun gorden silver blackout yang menjadi objek tatapannya, melainkan taksi yang melaju dari gerbang melewati jalanan menuju teras rumah. Memang agak jauh jaraknya dari pintu gerbang menuju rumah, harus melewati jalanan panjang saling berseberangan, tengahnya terdapat taman mini dan air mancur bertingkat.
"Kita lihat ke depan siapa yang datang." Edward beranjak dari duduknya, melangkah lebar menuju teras rumah. Monica yang penasaran pun ikut membuntuti.
"Resaaa!" seru Monica saat melihat anaknya turun dari taksi.
"Pak, tunggu bentar, ya, aku minta uang dulu," kata Teresa sebelum pintu tertutup, kemudian berlalu. Dengan menampilkan ekspresi wajah muram, ia menghampiri orang tuanya yang berdiri di tangga terakhir.
"Pa, Resa enggak punya uang buat bayar ongkosnya," adu Teresa, malas. Ia masih marah kepada kedua orang tuanya, tapi justru terlihat lucu dan menggemaskan bagi Edward.
"Biar Papa yang bayar." Edward mengulas senyum. Sambil berjalan melewati Teresa, ia mengacak puncak kepala sang anak.
"Resa, maafkan Mama, Nak." Monica memeluk anaknya erat-erat. "Mama khawatir sekali dengan keadaanmu."
"Kalian jahat sama Resa."
"Mama tahu. Maafin Mama, Sayang."
"Resa masih marah sama kalian dan enggak mau ngomong dulu. Resa mau ke kamar, pokoknya jangan ganggu." Teresa melepas pelukan sang mama. Agak berlari meninggalkan Monica, tetapi ia berhenti sejenak saat mamanya bertanya.
"Kamu pakai baju siapa, Resa?"
"Laki-laki," jawab Teresa singkat tanpa menoleh, lantas benar-benar meninggalkan sang mama menuju kamarnya.
Sampai di kamar, yang Teresa lakukan adalah mencari ponsel miliknya. Ia melihat barang itu ada di atas nakas tergabung dengan pouch silver yang semalam dibawa ke pesta. Ia langsung mencari M-banking BNI yang sudah dibuatnya dari New York, lalu memasukkan kata sandi untuk masuk ke aplikasi tersebut.
"Emangnya gue enggak punya uang apa. Tapi, makasih juga udah ngebayarin dulu. Nih, gue kasih lebih ke elo, Lelaki Manekin," ucap Teresa penuh penekanan seraya mengambil kertas dari saku celana. Ia segera memasukkan nomor rekening Harden, kemudian memasukkan jumlah uang yang akan dikirim. Ia kembali meneliti dengan jeli jumlah nol di belakang lima, jangan sampai kelebihan satu dan kurang satu dari total lima juta.
Setelah menyelesaikan transaksi transfer uang, Teresa kembali sibuk mencari tas punggungnya yang ia bawa dari New York. Semua berkas miliknya ada di sana dari pasport, visa, dan barang lainnya. Ia menemukan tas itu di lemari khusus tas, tidak pakai lama langsung mencari barang yang diinginkan. Namun, semua sudah lenyap, tak ada di sana. Teresa ingat betul tidak pernah mengambil atau memindahkan ke tempat lain.
Sudah dipusingkan oleh keadaan, kali ini ia dipusingkan lagi dengan barang-barang pentingnya yang tak ada. Perempuan itu tidak menyerah, terus mencari ke mana pun sampai ke sudut kamar, laci, dan semua tempat, tetapi tetap tidak menemukan.
"MAMAAA!" seru Teresa, lantang, suaranya menggelegar di kamarnya. Ia menggeram sambil mengepalkan kedua tangan. Darahnya benar-benar mendidih membuat tubuhnya panas akan amarah. Jika ia memiliki tanduk, mungkin detik itu juga sudah keluar.
Teresa berlari cepat keluar kamar, lalu menuruni anak tangga tanpa memikirkan keselamatan diri. Ia menghampiri orang tuanya yang sedang berbincang di ruang keluarga.
"Mama, pasti yang ambil pasport Resa, 'kan?! Mana, kembaliin!" pinta Teresa penuh emosi sambil mengulurkan tangan kanan ke arah sang mama.
"Mama, kenapa seenaknya begini, sih?! Udah ngejodohin Resa sama orang yang enggak Resa kenal! Ngambil barang Resa tanpa izin! Mama sama Papa, nyiksa batin Resa tahu gak?! Resa juga punya pilihan sendiri untuk dijadiin pasangan hidup! Yang akan ngejalanin rumah tangga juga Resa, bukan kalian! Yang akan ngerasain bahagia dan tidaknya juga Resa, bukan kalian!" ucap Teresa dengan nada tinggi, napas menggebu, sampai dada naik-turun.
Monica beranjak dari duduknya, menghampiri sang anak. "Resa, Mama ingin kamu tetap di Indonesia, Sayang. Mama tidak ingin kamu jauh-jauh lagi dengan kami." Ia berkata lembut, mencoba menenangkan emosi sang anak.
"Tapi, Resa punya kerjaan di sana. Resa juga enggak betah di sini dengan perlakuan kalian yang seperti ini! Ngejodohin tanpa bilang-bilang dulu. Emangnya anak kalian ini boneka yang enggak punya nyawa?" Teresa terus meluapkan emosinya dengan berkata nada tinggi.
"Kalau Mama bilang langsung ke kamu, emangnya kamu mau pulang ke Indonesia? Pasti selalu cari alasan yang belibet lagi. Sekarang gantian Mama yang main curang ke kamu, dulu kamu aja kayak gitu. Selesai kuliah tidak langsung pulang ke Indonesia, malah langsung lanjut kerja di sana."
Oke, Edward hanya menonton keduanya. Akan berbicara membaik-baiki Teresa jika keadaan hati sang anak sedang tidak baik, juga akan percuma. Ia harus menunggu emosi anaknya mereda untuk diajak berbincang santai.
Teresa mengentakkan kaki menuju sofa, lantas mendaratkan bokong di sana sambil mengambil dua bantal sofa, digunakan untuk menutup kedua telinga. Kakinya yang terangkat dan ditekuk, digunakan untuk menyembunyikan kepala di sela lutut. "Resa enggak mau nikah sama Harden!" serunya.
"Kalau kamu ingin tahu semua tentang rencana perjodohan ini, nanti Mama akan kasih tahu kamu. Sebenarnya rencana perjodohan ini sudah ada kesepakatan sejaka lama. Kami semua, Mama, Papa, Tante Adira, dan Om Dareen, sudah merencanakan."
"Kalian semua licik!" Teresa tidak memedulikan ucapan sang mama.
"Besok kita adakan makan malam bersama untuk menceritakan perihal perjodohan kamu dan Harden," kata Monica lagi. Ia sudah duduk di samping suaminya.
***
Gimana ini, ikut terbawa emosinya Teresa gak?😂😂😂 Ngomongnya nada tinggi terus dia di part ini.
Cerita ini lagi Pre-Order, Bestie. Yang mau pesen, bisa langsung hubungi nomor WA di banner, atau DM IG penulisnya langsung Yuli_Nia994.
Dan yang ingin dapatkan novel ini secara gratis. Kalian bisa ikut GA yang sedang kuselenggarakan di IG.
8 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top