Part 6
Memakai gaun bridal, duduk di trotoar pinggir jalan raya, dan menangis sesenggukan dengan high heels dijinjing, Teresa menjadi pusat objek pandangan orang-orang yang melintas di sekitar. Mereka mungkin akan mengira jika dirinya lari dari pernikahannya, atau mungkin patah hati karena sang pengantin pria selingkuh, kecelakaan, atau apa pun yang begitu mengenaskan.
Tidak. Jika mereka mengira seperti itu, salah besar. Ia memang sedang sakit hati, tapi bukan karena itu. Ia sakit hati karena perbuatan keluarga besarnya, terutama mama-papanya. Pertunangan yang menyangkut dirinya, kenapa mereka melakukan itu seenak jidatnya sendiri tanpa memberitahu dirinya? Tanpa mau tahu dirinya setuju atau tidak? Lalu, dengan licik, mereka menggunakan kelemahan sang nenek agar dirinya terpaksa menerima.
"Aargh! Kenapa mereka jahat banget sama gue! Emangnya gue boneka, hah?!" Berseru sampai napas menggebu, air mata Teresa terus meluruh tanpa henti.
Perempuan itu semakin dijadikan bahan tontonan orang-orang yang berkendara. Namun, ia tetap tidak memedulikan meskipun penampilan sudah seperti orang gila. Ia sangat kecewa. Teramat sangat kecewa. Sampai ulu hati paling dalam pun, rasanya berdenyut nyeri. Ia telah memiliki kekasih, lelaki pilihannya sendiri yang sangat ia cintai. Tapi, kenapa keluarganya justru menjodohkan dirinya dengan lelaki manekin?
Mereka semua error!
Sambil menahan amarah sampai ubun-ubun terasa ngebul, Teresa terus memaki dan merutuki keluarganya sendiri. Malam ini ia sangat membenci mereka. Untuk sementara tidak ingin melihat para wajah yang telah menjebaknya.
Memutuskan beranjak dari duduknya, menoleh ke arah kanan bertepatan dengan taksi melintas, ia menghentikan taksi itu.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya sopir taksi, setelah Teresa masuk dan duduk tanpa memasang sabuk pengaman.
"Kelab malam untuk orang kaya," jawab Teresa asal, di sela isakan tangis dan emosi. Ia ingin melampiaskan ke minuman, tetapi di tempat yang cukup elit dengan keamanan lebih ketat dibanding kelab malam biasa. Malam ini, ia hanya ingin menghilangkan semua yang baru saja terjadi. Dan besok, ia akan segera pergi meninggalkan Indonesi lagi.
"Baik, Mbak." Sopir taksi mengangguk. Ia tahu banyak tempat kelab malam untuk orang kaya, karena sering mengantar penumpangnya ke berbagai kelab malam mewah. Namun, dari lokasinya saat ini kelab malam untuk orang kaya alias kelab malam mewah yang paling dekat adalah Kelab Malam Manorica. Ia pun melajukan kendaraannya ke arah sana, tidak memakan waktu lama untuk sampai tempat tujuan.
"Mbak, sudah sampai," kata sopir taksi, menghentikan kendaraannya di pelataran kelab.
Teresa bergumam terima kasih. Ia mengulurkan sepasang high heels kepada sang sopir. "Aku tidak membawa uang, heels ini jadi ongkosnya saja."
Melongo melihat kelakuan sang penumpang, sopir taksi membalas, "Mbak, tapi saya hanya menerima ongkos dalam bentuk uang. Bukan barang."
"Kalau gitu jual saja heels ini. Masih baru. Masih dapat uang lebih dari lima juta karena berliannya premium, masih banyak untung, 'kan?" Teresa tidak peduli heels itu pemberian dari sang nenek.
Sopir taksi masing menimang antara menerima atau tidak. Sementara Teresa yang tidak sabaran, langsung menaruh heelsnya ke kursi samping kemudi, lantas turun.
"Dasar wanita sok kaya. Tidak punya uang saja, gayaan mau ke kelab malam mewah." Sopir taksi geleng-geleng sambil melihat kepergian Teresa memasuki kelab malam. Lalu, ia mengambil high heels silver memiliki manik-manik dari berlian dan memerhatikannya sangat serius. "Lumayan bagus. Kalau dijual sayang, kasih ke istri sajalah. Itung-itung hadiah untuk dia." Ia mengulas senyum, kemudian melajukan kendaraannya lagi.
***
Adam terus mencari-cari keberadaan Teresa. Ia telat. Seharusnya ia ikuti kepergian sepupu perempuannya itu sejak tadi, saat berlari keluar. Namun, dalam pikiran Adam, Teresa hanya keluar untuk mencari angin saja karena saking shocknya melakukan tunangan dadakan.
"Bagaimana, Adam? Teresa ketemu?" tanya Monica, dilingkupi rasa kecemasan.
"Tidak, Tante. Aku kehilangan jejak."
Vi dan Ershad yang baru tiba di hadapan Monica--sama-sama mencari Teresa--pun, menggeleng pelan.
"Kami juga tidak menemukan dia, Tan."
"Ya Tuhan, Tante tidak tahu akan jadi seperti ini. Bagaimana kalau dia loncat dari jembatan?" Kepanikan, pikiran negatif, dan anaknya mengakhiri hidup dengan cara tragis, benar-benar mengusik kepala Monica. Perasaan dirinya sangat tidak tenang.
Anak perempuan dan satu-satunya, Monica tentu sangat menyayangi Teresa. Ia melakukan perjodohan itu demi kebaikan sang anak. Harden pun bukan pria sembarangan, yang baru ditemuinya sekali. Lelaki itu anak dari sahabat lama yang masih terjalin silaturahmi sampai sekarang. Bahkan, ia dan Adira telah melakukan kesepakatan perjodohan sejak kedua anaknya masih kecil. Tidak ada salahnya bukan jika menginginkan kedua anaknya menikah, agar tali persaudaraan semakin erat? Selain itu, Monica juga tidak ingin anaknya menikah dengan David. Jelas pastinya lelaki itu akan memboyong Teresa ke tempat asalnya.
"Tante, tenang, oke. Kami akan mencari Teresa. Teresa bukan anak yang mudah putus asa seperti itu. Jadi, tidak mungkin dia akan mengakhiri hidup secara tragis." Adam berusaha menenangkan Monica. Namun, dilihat dari raut wajahnya yang cemas, sepertinya tidak berhasil.
Monica berjalan mondar-mandir sambil memilin jemari. "Jangan beritahu Nenek dulu. Bilang saja Teresa sudah pulang. Tante akan ikut mencari nanti," ucapnya terdengar gelisah, dan mendapat anggukan persetujuan dari tiga keponakannya.
Sementara itu, di parkiran basement, Harden masih betah diam duduk di kap mobil sambil menyesap rokok. Sudah tiga batang yang ia sesap, dan menuju empat.
Ia pergi dari ballroom tidak lama setelah Teresa. Sama halnya seperti yang dirasakan perempuan itu, ia juga baru tahu akan adanya acara pertunangan untuk dirinya. Orang tuanya tidak memberitahu sama sekali. Mengajaknya ke acara pernikahan pun sangat memaksa, katanya untuk menghormati keluarga besar sang sahabat lama.
Jika ia diberi kesempatan memilih; menolak atau menerima, tentu ia akan menolak. Namun, sialnya, pertunangan itu tidak membutuhkan persetujuan darinya. Terlebih lagi perempuan tua yang duduk di kursi roda itu ikut andil dalam acara, membuat dirinya tak sanggup mengeluarkan kata sarkas. Sebelumnya, mamanya telah bercerita jika Erika menderita penyakit jantung dan diurus oleh sahabatnya.
Harden mengembuskan napas berat. Ia kembali menyesap rokoknya panjang-panjang, lalu mengepulkan asap putih pekat itu sampai membentuk cincin, tidak lama memudar. Perlahan, asap putih pekat itu mengabur, lalu menghilang dari pandangan dan ia membuang putung rokoknya--diinjak sampai bara di ujung sigaret itu mati.
Beranjak dari tempatnya dan masuk ke mobil duduk di balik kemudi, Harden mengecek ponsel yang diambil dari saku tuxedo dalam. Terdapat beberapa mischall dan pesan dari Indira, sang kekesih. Alih-alih membuka pesan maupun telepon balik, ia justru menyimpan ponsel ke saku tuxedo dalamnya lagi.
Harden mulai melajukan mobil. Tujuannya sekarang ke Kelab Malam Manorica yang sering ia datangi ketika ingin minum di luar. Kelab malam yang cukup nyaman, karena hanya kalangan orang tertentu yang bisa masuk. Bukan untuk orang menengah ke bawah, sehingga bisa dipastikan bagaimana tingkat kenyamanannya.
***
"Tahu nggak? Mereka semua jahat banget ke gue! Mereka tidak peduli dengan perasaan gue! Mereka semua egois! Mereka ngejebak gue!" Di tengah kesadaran yang tinggal tiga puluh persen, Teresa meracau tidak jelas duduk di stool depan meja bartender. Sesekali ia tertawa seperti orang gila, tapi di detik berikutnya ia akan menangis. Beberapa botol minuman memabukkan telah ia tandaskan.
Di sekelilingnya, para lelaki mata keranjang melihatnya lapar. Mereka ingin mendekati, tetapi Teresa perempuan garang. Ia akan menggunakan botol untuk perlindungan diri, sudah ada satu korban yang dipukul kepalanya sampai kulitnya sobek dan darah bercucuran.
Sang bartender yang melihat Teresa pun, menatap penuh prihatin. Ia paham perempuan itu sedang patah hati. Dari ocehannya karena masalah keluarga dan pertunangan. Rasa empati pun datang pada dirinya untuk menjaga Teresa dari gangguan para pria nakal. Mungkin, ia juga akan membiarkan perempuan itu menginap di kelab, sampai keadaan membaik dengan sendirinya.
"Gue disuruh pulang dari New York. Mereka ngancem gue mau ngebatalin pernikahan kakak sepupu gue. Tapi ... tapi ...." Teresa meminum botol ke tujuh, tinggal sedikit isinya. Lalu, ia merebahkan kepala lagi ke meja bartender dan menangis sesenggukan.
Teresa mengubah posisi kepala dengan dagu ditumpukan pada meja. Mata masih dalam keadaan terpejam sambil menahan kepala yang terasa nyer-nyeran. Jika menegakkan tubuh sedikit saja, sudah dipastikan ia akan terjatuh ke lantai.
"Mereka ngejebak gue! Brengsek gak, tuh?! Acara pernikahan yang dicosplay jadi acara pertunangan gue sama orang yang enggak gue kenal! Padahal gue udah punya pacar!"
Dari pintu masuk, Harden melangkah lebar menuju bartender. Dari belakang, ia tidak asing melihat perempuan bergaun silver tengah duduk di stool, menggenggam botol minuman, terlihat sudah mabuk.
Ingin membenarkan dugaan jika itu Teresa, ia semakin mempercepat langkah. Dan benar dugaannya. Perempuan itu, Teresa, sudah mabuk sambil meracau tidak jelas.
"Dia sudah lama di sini?" tanya Harden, kepada Daffin, bartender yang menjaga sekaligus melayani Teresa. Ia mendaratkan bokong di stool samping Teresa yang masih kosong.
"Hai, Hard," sapa Daffin. "Yeah, sedang meratapi nasib di sini. Aku tidak tahu siapa dia, tapi cukup prihatin melihat kondisinya seperti sangat patah hati."
Harden mengangguk paham. Pandangannya terpaku pada Teresa lagi yang sedang meracau.
"Gue enggak mau dijodohin sama lelaki manekin! Tapi mereka licik, Nenek gue dijadiin tameng. Gue enggak mau sama dia!" Teresa terisak lirih. Tidak lama kemudian, kesadaran hilang sepenuhnya.
"Selalu meracau seperti itu," kata Daffin, ketika melihat ketertegunan Harden.
Harden menoleh sekilas kepada lelaki yang sedang membuat cocktail. Lalu, beralih menatap Teresa lagi sambil melepas tuxedo hitamnya, digunakan untuk menutupi punggung mulus perempuan itu.
"Kamu kenal dengannya?" tanya Daffin. Tidak biasanya Harden perhatian dengan perempuan yang belum dikenal. Setiap datang ke tempat kerjanya dan mendapat godaan dari wanita malam, lelaki itu tidak menanggapinya. Hanya menampilkan ekspresi dingin.
"Tunangan saudaraku. Aku baru saja datang menghadiri. Sepertinya, aku harus membawanya pulang. Kasihan saudaraku kalau calon istrinya kenapa-kenapa di tempat seperti ini."
"Oh, syukurlah kamu mengenalnya. Tadi, aku berpikir akan membiarkan dia di sini sampai sadar sendiri."
Harden hanya menarik sudut bibirnya sedikit, tidak sampai tersenyum. Ia beranjak berdiri, lalu mengeluarkan dompet dari saku celana kain hitam. "Dia habis berapa botol?" tanyanya.
"Tujuh."
"Kuat juga minumnya." Harden tahu harga perbotol minuman itu. Ia pun mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompet yang dibuka, tidak lupa memberikan tips untuk Daffin.
Harden menyimpan dompetnya ke saku kembali, lantas membopong Teresa ala bridal. Sambil berjalan keluar, racauan lirih dari mulut perempuan dengan mata yang terpejam rapat itu masih ia dengar. Tidak tahu kenapa dirinya sangat baik mengeluarkan Teresa dari dalam sana. Namun, yang pasti ia juga tidak menerima pertunangan itu.
"Wooeek!"
Baru saja sampai di samping mobil dan belum sempat membuka pintunya, Teresa sudah menumpahkan cairan keruh dari perutnya ke dada Harden. Bau yang sangat menyengat, membuat perut lelaki itu terkoyak, tapi masih bisa menahan untuk tidak menumpahkan isinya. Yang ia lakukan hanya menatap dingin Teresa, menggeram sambil mengumpatinya.
***
Ini ke depannya bakal roncom, sih.🤣🤣🤣 Apalagi ada Cimoy si Kucing Gemoy, ya.
7 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top