Part 5
"Aku sudah sampai di Indonesia dan sekarang sedang berkumpul dengan keluarga besar."
"Syukurlah. Aku sempat khawatir dan was-was selama kau dalam penerbangan. Aku takut terjadi sesuatu."
Teresa bisa melihat raut cemas di wajah sang kekasih, tergabung dengan senyum simpul yang terukir di bibir tipisnya. "Dan kau tidak perlu khawatir lagi karena aku baik-baik saja, David."
"Iya, Beib."
"Kau ingin bicara dengan Mama?"
David terdiam seketika mendengar tawaran Teresa. Tampak berpikir. Bukan ia tidak mau berbicara dengan Monica, tetapi berbicara dengan orang yang tidak menyukainya dari ponsel justru lebih terasa menyakitkan jika responsnya kurang menyenangkan. Akan menjadi bahan pikiran terus menerus.
"Tidak sekarang, Beib. Aku takut merusak suasana hati Mamamu. Lain waktu saja, ya." David mengulas senyum.
Mimik wajah Teresa berubah sendu, tetapi berhasil ditutup dengan wajahnya yang tegar. Justru sekarang dirinya yang merasa was-was dengan David. Ia takut lelaki itu balik arah setelah dirinya di Indonesia. Dalam artian, lelaki itu akan menyerah untuk memperjuangkan hubungannya.
"David, aku akan berusaha membujuk Mama lagi. Minta bantuan Nenek sepertinya sangat ampuh. Tadi, aku memperlihatkan fotomu ke Nenek dan dia bilang, kau sangat tampan." Kali ini Teresa berkata penuh ceria. Walaupun sebenarnya ia belum melakukan itu, tetapi ia akan berusaha membuat hati David lega.
"Sungguh?"
"Iya, David. Nenek menyukaimu." Teresa meyakinkan. Untuk menghilangkan raut keraguan dari wajahnya, ia memainkan kaki yang di celupkan ke kolam renang--diayun-ayunkan. Ia memisahkan diri dari keramaian keluarganya yang sedang berkumpul-- duduk di tepi kolam renang mencari tempat tenang--hanya ingin menelepon David saja.
"Resa."
Mendengar suara papanya yang memanggil, Teresa langsung menoleh ke sumber suara. Edward Kinnear, berdiri di anak tangga penghubung rumah dan kolam renang sambil mengembangkan senyum lebar. Teresa langsung beranjak--melupakan dirinya sedang teleponan dengan David--dan berlari ke arah papanya yang turun sampai ke lantai dasar pinggiran kolam renang.
Perempuan itu langsung menghambur ke pelukan sang papa erat-erat. "I miss you so badly, Mr. Kinnear," katanya diiringi tawa bahagia.
"Papa juga. Maaf, tadi tidak ikut menjemputmu." Lelaki berperawakan tinggi dengan rambut mulai memutih tetapi masih tampak bugar, mengusap penuh perhatian kepala Teresa.
"Tak apa. Papa, lagi sibuk 'kan tadi?" Teresa merasakan anggukan papanya di puncak kepala. Ia mengurai pelukan, mendongak menatap wajah sang papa. "Makin tua, makin cakep saja, Papa, ini. Jangan sampai jadi Sugar Daddy di luaran sana, ya." Ia menyipitkan mata, memperlihatkan wajah garang.
"Banyak yang menggoda Papa perempuan seusiamu itu. Tapi, Papa tidak tergoda. Papa punya anak perempuan dan tidak ingin kamu kenapa-kenapa hasil dari ulah Papa."
"Syukurlah, masih sadar diri." Teresa terkekeh, lalu kembali menghambur ke pelukan sang papa lagi. Ingat sedang teleponan dengan David, ia segera mengecek ponselnya. David telah memutuskan sambungan telepon, dengusan lelah pun keluar dari hidungnya.
"Kenapa?" tanya Edward penasaran.
Teresa menggeleng. "Barusan telepon David, ternyata sudah dimatiin sama dia."
Mengangguk paham, Edward pun berkata, "Ya sudah. Ayo, masuk. Sudah mau makan malam, tinggal menunggumu saja."
"Oke."
Teresa dan Edward saling merangkul meninggalkan area kolam renang, berjalan menaiki tangga terbuat dari batu alam sambil bercerita apa pun.
"Papa masih kuat gak gendong, Resa?" tanya Teresa sebelum memasuki rumah.
"Masih lah. Tubuhmu kurus gitu."
"Kalau gitu, Resa mau digendong, dong. Pengen ngerasain jamannya masih kecil dulu, selalu digendong Papa."
"Ayo." Edward agak membungkuk di depan Teresa, tidak lama merasakan berat pada punggungnya. Bobot Teresa memang tidak berat, terlihat dari porsi bentuk tubuhnya mungkin hanya 50kg saja dari tinggi badannya yang mencapai 167cm. Anaknya memang lebih manja kepada dirinya dibanding dengan yang lain, dan tidak heran jika sifat itu masih melekat sampai sekarang.
***
Beberapa hari kemudian, hari spesial yang paling ditunggu telah tiba. Resepsi pernikahan Gilang diadakan di sebuah ballroom hotel, dengan mengambil konsep negeri dongeng. Dekorasinya begitu mewah dan megah ditambah dengan lampu LED yang menjuntai menyala terang. Kursi dan meja yang terbalut kain putih, di atasnya terdapat vas berisikan bunga buatan bermacam jenis dengan warna yang cerah.
Di tempat duduknya, dalam diam Teresa memerhatikan sekitar. Sesekali melihat kebahagiaan sepasang pengantin yang berada di atas panggung sedang menyalami para tamu undangan. Cukup banyak tamu yang datang; dari teman-teman Gilang dan sang istri, serta dari rekan dan teman para orang tuanya.
Kemudian, perempuan itu beralih memainkan ponsel. Ia melihat-lihat hasil bidikan foto dirinya sewaktu di ruang ganti setelah selesai dimake over. Gaun silver memiliki payetan penuh bagian dada sampai pinggang, terlihat sangat pas ditubuhnya. Seperti yang dikatakan dirinya waktu lalu, gaun itu lebih pas jika yang memakainya adalah sang pengantin. Bukan dirinya yang hanya tamu, meskipun dalam anggota keluarga inti.
Teresa memilih salah satu dari bidikan fotonya, lantas dikirimkan ke David.
Aku sudah siap dibawa ke pelaminan, David.😂
Pesan terkirim. Tidak lama, Teresa mendapat pesan balasan.
Kau sangat cantik. Aku pasti akan segera membawamu ke pelaminan. Tunggu saja waktunya, Beib.❤
Belum sempat Teresa menulis balasan untuk sang kekasih, ia dikagetkan oleh suara seorang perempuan yang menyapa mamanya begitu heboh. Teresa mendongak untuk menghilangkan rasa penasaran siapa yang datang. Seorang perempuan cantik seumuran sang mama, di belakangnya ada dua pria berbeda usia. Dua perempuan itu saling berbincang akrab, pun dengan papanya yang saling berjabat tangan dengan dua lelaki itu, dan berlanjut berbincang dengan lelaki yang lebih tua.
Teresa hanya memerhatikan. Ia menebak mereka adalah teman akrab. Datang ke acara pernikahan Gilang, mungkin juga tamu itu dekat dengan semua keluarganya.
"Ini Teresa, Adira." Sambil berdiri di samping Teresa, Monica merangkul bahu sang anak--mengenalkan.
"Ya Tuhan, cantik sekali dia." Perempuan bernama Adira itu tampak terpana melihat Teresa, membuat yang ditatapnya merasa canggung. "Lebih cantik aslinya, daripada yang di foto."
"Sekarang sudah dewasa juga," sahut Monica.
"Iya. Terakhir aku bertemu dengannya, saat dia masih usia lima tahun, 'kan? Setelah itu sudah tidak pernah bertemu lagi."
"Kamu terlalu sibuk menemani Dareen berkarier, Dir. Dan Tuhan mengabulkan semua doa atas kerja keras kalian, sampai perusahaan advertising yang dibangun berjalan lancar dan sukses, menjadi salah satu perusahaan advertising terbesar di Indonesia." Monica tersenyum lebar, menatap penuh bangga kepada sahabat lamanya.
Adira mengangguk. Lalu, mendekati Monica dan membisikkan sesuatu.
"Semua sudah disiapkan dengan rapi," balas Monica lirih. Ia beralih menatap sang anak yang sedang berbincang dengan neneknya. "Resa, salaman dulu sama Tante Adira dan Om Dareen."
"Salaman dulu, Sayang. Kamu pasti sudah lupa sama sahabat Mama dan Papamu." Erika ikut berbicara.
Mau tidak mau Teresa menurut. Ia beranjak dari kursinya, dengan sopan menghampiri Adira dan Dareen, lantas menyalaminya bergantian. Kecuali, lelaki muda menjulang tinggi, dari rupanya saja sudah terlihat sangat menyebalkan. Mata menyorot tajam, rahang tegas seperti sedang berhadapan dengan musuh, dan terlihat sangat kaku. Persis manekin yang terpajang di toko pakaian kerja laki-laki, dengan tuxedo hitam membalut kemeja putih berdasi kupu-kupu.
"Teresa, ini, Harden, anak Tante." Adira berdiri di antara Harden dan Teresa. "Harden, ini Teresa, anak Tante Monica."
Teresa merespons dengan anggukan dan senyum simpul. Sementara, Harden tetap diam. Seolah tidak penting ucapan sang mama tentang perempuan di hadapannya itu. Lagipula, memang tidak penting untuk dirinya, siapa perempuan yang tidak pernah dilihatnya selama ini.
"Sebenarnya kalian pernah saling kenal. Tapi, duluuu sekali, saat masih sama-sama kecil. Mungkin sekarang sudah pada lupa, ya." Monica memecahkan keheningan antara Teresa dan Harden yang saling diam. Dan tetap saja tidak ada yang terpancing untuk membuka suara antara Teresa dan Harden.
"Duduk dulu baru ngobrol, Monic, Dira."
Mendengar ucapan ibunya, Monica menepuk jidat. "Ah, iya. Aku sampai lupa mempersilakan kalian duduk. Aku sengaja meminta satu meja dengan kalian, biar lebih enak ngobrolnya."
Mereka yang berdiri pun langsung duduk ke kursinya masing-masing. Teresa seperti orang asing berada di antara mereka yang tak dikenalnya, kecuali keluarganya sendiri. Untuk menghilangkan kejenuhan, ia kembali berbalas pesan kepada David, Anne, dan Jenna. Sementara pernikahan Gilang cukup berjalan lancar dengan berbagai macam acara yang dilaksanakan, seperti; memotong kue bertingkat, hiburan, dan lainnya.
Satu jam kemudian, acara berganti lagi. Teresa cukup tergelitik saat mendengar Gilang berbicara menggunakan mikrofon. Suaranya terdengar lantang.
"Yeah, selain acara ini spesial untuk pernikahan saya dan istri. Acara ini juga dispesialkan untuk acara pertunangan sepupu saya."
"Pertunangan? Siapa yang akan tunangan, Nek? Adam, Ershad, atau Vi?" tanya Teresa kepada sang nenek di tengah ketercengangannya.
"Kita lihat saja siapa yang akan tunangan, Resa."
"Kok, gak ada yang ngasih tahu Resa?"
"Makanya jangan kelamaan di luar negeri, Sayang. Jadi, tidak tahu informasi penting tentang keluarga kita, 'kan?" Erika berkata pelan sambil menepuk-nepuk punggung tangan Teresa yang digenggamnya.
"Nenek, ih. Enggak asyik, enggak ngasih tahu Resa."
"Untuk semua keluarga saya, boleh datang ke depan untuk jadi saksi dua mempelai calon pengantin setelah saya?" Suara Gilang menggema lagi.
Di antara semua keluarga yang berdiri dan jalan ke depan, hanya Teresa yang seperti orang linglung mencari tahu siapa yang akan bertunangan. Lebih bingung lagi saat melihat sahabat mamanya dan anak kakunya itu ikut ke depan. Mereka semua berdiri di depan panggung karena Erika menggunakan kursi roda.
Teresa tidak mampu berbicara ketika pikiran dipenuhi dengan rasa penasaran. Ia hanya mampu mengikuti mamanya yang mengatur barisan. Anehnya, ia dihadapkan dengan Harden. Dilihat dari raut wajahnya, lelaki itu tampak kebingungan dan tertekan. Mungkin juga sama seperti yang dirasakan dirinya. Cengo dengan keadaan sekarang.
Perasaan Teresa semakin tidak enak. Dengan cepat, jantung berdebaran tak karuan. Tidak mungkin dirinya yang akan bertunangan. Namun, tidak mungkin juga tiga sepupu lelakinya yang akan bertunangan. Tidak ada perempuan asing, kecuali lelaki asing itu, Harden.
Mikrofon dari Gilang diambil alih oleh Erika. Kemudian, ia berkata dengan nada bahagia, "Saya sangat bahagia sekali berada di sini, masih bisa menghadiri pernikahan salah satu cucu saya. Dan malam ini, di malam yang bahagia ini, bersamaan dengan pernikahan Gilang, akan menjadi hari yang paling bahagia untuk saya bisa melihat cucu perempuan saya satu-satu-satunya bertunangan. Teresa Kinnear dan Harden Hernandez, anak dari pasangan Adira Sofia dan Dareen Hernandez, yang tak lain adalah sahabat anak saya, Monica dan Edward."
Nyes!
Teresa langsung panas dingin mendengar ucapan sang nenek, diiringi dengan suara tepuk tangan riuh dari para tamu undangan. Detik itu juga ia kesusahan bernapas. Terlalu terkejut. Seluruh tubuh lemas seketika, tulang-tulangnya terasa dilolosi dan sakit tapi berdarah.
Seseorang datang membawa baki ditutup kain beludru merah. Atasnya ada sekotak cincin, diambil oleh Adira lantas dibuka.
"Harden, ayo dipasang ke jari manis Teresa," pinta Adira penuh kelembutan.
Harden belum bereaksi. Mimik wajahnya tak mampu terbaca untuk memperlihatkan bagaimana perasaannya. Antara marah dan biasa, raut wajahnya akan tetap sama. Lelaki berzodiac Capricorn itu memang lebih dominan sifat dinginnya. Siapa pun yang belum mengenalnya akan menganggap dirinya kejam, jahat, dan hal-hal buruk lainnya.
"Ma, Pa, Nek ... kenapa kalian tidak bilang dulu ke Resa? Kenapa kalian melakukan ini tanpa persetujuan dari Resa?" Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, Terasa berkata penuh kecewa. Apa keluarganya menutup mata jika dirinya sudah memiliki kekasih? Kenapa mereka menjodohkannya dengan lelaki yang tak ia kenal? Jadi, inikah alasan mereka memaksanya pulang? Memberi dirinya gaun bagus yang lebih cocok dipakai untuk sang pengantin?
"Resa, maafkan kami semua, Nak. Kami terpaksa menutupi ini semua darimu." Monica menyentuh bahu kanan Teresa dan langsung diempaskan.
"Resa, Nenek mohon terima pertunangan ini, Sayang. Kamu sayang dengan Nenek, 'kan?"
Ya Tuhan, aku harus melakukan apa sekarang? Jika aku menolak, bagaimana dengan kesehatan Nenek? Bagaimana jika penyakitnya kambuh dan aku yang menjadi penyebabnya? Kalau aku menerima, bagaimana dengan David? Aku sangat mencintai lelaki itu, Tuhan. Kamu tahu itu.
Teresa menangis tanpa suara dan menjadi tontonan keluarga besarnya. Fuck! Kenapa mereka diam saja, tidak ada yang membantu mencegah?
"Resa." Erika menggenggam lengan kanan Teresa, membuat sang cucu langsung membuang muka dengan napas tersendat-sendat.
"Oke." Teresa mengangguk penuh paksa. Tanpa menoleh dan melihat ke semua orang, ia mengangkat tangan kanannya. Sejenak ia tidak merasakan apa-apa. Beberapa detik kemudian dingin dari cincin ia rasakan di jari manisnya.
"Gantian kamu yang menyematkan cincin ke jari Harden, Resa," perintah Erika.
Teresa semakin terisak. Masih di posisi yang sama, ia tidak menatap satu orang pun saat mengambil cincin dan menyematkannya ke jari kokoh Harden.
Tepuk tangan di atas luka, Teresa dengar begitu meriah. Dan ia menganggap tepuk tangan itu bagaikan cuka yang menyiram lukanya tanpa perasaan. Sakit, perih, jeritan hati yang diabaikan, Teresa hanya menahannya sendiri. Detik itu juga ia berlari keluar dengan luruhan air mata bercucuran deras, tidak memedulikan sekitar.
***
Kaget banget jadi Teresa, sih.🥺🥺🥺
Mau lanjut segera enggak? Soalnya rencana mau nyelesaiin cerita yang satunya dulu, Unstoppable Revenge.
Komen ya.😘😘
**
5 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top