Part 4

Teresa sampai di Singapore Changi Airport tepat waktu, sesuai dalam jadwal tiket. Ia masih menunggu pergantian pesawat menuju Jakarta, dan sudah dua jam-an di sana. Dasarnya orang yang tidak bisa diam dan cepat bosenan, perempuan itu berjalan ke sana-kemari melihat-lihat sekitar mencari hiburan.

Bandara yang besar, bagus, memiliki interior mewah, menakjubkan, dan toko-toko bertebaran di dalamnya, Teresa begitu mengaguminya. Ada banyak perubahan dari terakhir ia melihat. Itu pun yang tampak di pandangan dirinya, belum lagi yang di luar sana; ada taman dengan bagian tengah dibuat air terjun, ada bola-bola lampu bergerak menggelombang, dan itu yang paling iconic di Bandara Changi. Jika memiliki banyak waktu, ingin sekali ia keluar dan jalan-jalan. Terakhir ia jalan-jalan di Singapore, sembilan tahun lalu, setelah lulus SMA bersama teman-temannya.

Tengah malam selesai jalan-jalan karena kaki mulai lelah, Teresa bermalam di ruang tunggu. Banyak orang yang membersamai dirinya dengan tujuan penerbangan yang sama--ke Jakarta, dan menggunakan pesawat yang sama--Singapore Airlines.

Beruntung, ia hanya membawa tas punggung berisi paspor, charger, dompet, dan beberapa barang berukuran kecil, sehingga tidak kesusahan untuk menjaga diri. Ia juga memakai pakaian sederhana. Yang biasanya setiap hari menggunakan pakaian formal, dress, dan kaki beralaskan high heels, hari ini ia memakai celana cargo hitam, kaus hitam ketat sebatas pusar yang dibalut jaket kebesaran, serta sepatu Jordan hitam putih. Sementara rambut ia ikat kuda dilengkapi dengan topi hitam.

Keesokan harinya jam sepuluh pagi, Teresa sampai di Jakarta setelah melakukan penerbangan selama satu jam di atas awan. Lagi dan lagi, ia merasa asing untuk pertama kali menginjakkan kaki di negara kelahirannya. Sambil berjalan menuju tempat pengambilan koper, ia memerhatikan sekitar. Bandara Soekarno-Hatta sudah banyak berubah. Ia merasa bandara itu lebih indah dari sebelumnya terlihat dari interiornya.

Sampai di tempat pengambilan koper, Terasa berdiri sambil memerhatikan setiap koper yang melintas di depannya di atas alat jalan yang memutar. Ia menunggu dengan sabar koper miliknya keluar dari ruangan tertutup, dan tidak lama dua kopernya mulai menampakkan diri. Ia agak kesusahan saat menariknya turun karena terlalu berat, setiap kopernya berbobot 40kg.

Seorang petugas keamanan yang melihat Teresa pun, datang menghampiri sambil memberikan troli. "Saya melihat Anda kesusahan dengan dua koper besar ini. Lebih baik menggunakan troli untuk memudahkan membawanya," katanya pengertian.

"Owh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Teresa tersenyum lebar, terharu mendapat perhatian dari petugas keamanan itu. "Boleh minta tolong sekalian untuk menaruhnya ke sini?" pintanya dan mendapat anggukan.

Dua koper pun ditaruh di troli, ditumpuk. Sekali lagi Teresa mengucapkan terima kasih kepada petugas itu dan berlalu meninggalkan, menuju tempat penjemputan.

Sampainya di sana, sang mama dan Adam telah menunggu. Keduanya berdiri paling depan sambil melambaikan tangan ke arah dirinya. Teresa pun semakin mempercepat langkah kakinya keluar dari pintu pembatas. Lantas, langsung memeluk mamanya erat-erat.

"Ya Tuhan, anak gadisku. Mama sangat merindukanmu, Sayang." Monica berkata penuh haru sambil mengusap-usap punggung Teresa.

"Resa juga, Mama."

"Bohong, Tante. Kinder Joy pasti tidak merindukan, Tante," celetuk Adam, langsung mendapat tendangan dari Teresa mengarah ke betis. Namun, tidak mengenainya.

"Adam, lo jangan ngompor-ngomporin Mama. Lagipula, setahun sekali pasti ketemu kok."

"Iya, kalau Mama yang nyamperin ke sana. Tapi, sudah dua tahun ini Mama tidak menjengukmu ke sana, kan? Nenek sudah sering sakit-sakitan, jadi tidak tega meninggalkan terlalu lama," sahut Monica, mengurai pelukan. Ibu kandungnya ikut tinggal dengannya, memiliki riwayat penyakit jantung dan sudah tak bisa berjalan karena kaki terlalu lemah, sehingga membuatnya tidak tega meninggalkan.

"Tambah cantik saja anak Mama ini." Monica menatap lekat sang anak, lalu menangkup kepalanya dan mengecup penuh kasih sayang di kedua pipinya, bergantian.

"Mama, juga masih awet muda dan cantiknya tidak memudar. Berarti kecantikan Resa menurun dari, Mama." Teresa tersenyum lebar. Tersadar tidak melihat kehadiram papanya sedari tadi, ia pun melontarkan pertanyaan, "Papa enggak ikut, Ma?"

"Papa ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi, hanya Mama sama Adam yang menjemputmu."

"Padahal pingin dijemput Papa juga." Teresa berkata lesu. "Tapi, tak apa. Resa paham Papa, kok. Si pria pekerja keras dan penuh tanggung jawab."

"Sama sepertimu," kata Monica sambil mengulas senyum bangga. Sebebal-bebalnya Teresa, anaknya itu memiliki sikap tanggung jawab tinggi terhadap apa pun, terutama pekerjaannya.

Teresa beralih menghampiri Adam, lalu memeluk lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu. Adam adik kandung Gilang, tidak heran jika sifatnya sebelas dua belas dengan sang kakak. Yang membedakan adalah pemikiran Adam lebih dewasa dibanding Gilang yang lebih humoris.

"Bagaimana di perjalanan? Masih mabok pesawat nggak?" tanya Adam, membalas pelukan Teresa.

"Masih sama seperti dulu. Makanya gue males pulang," jawab Teresa santai. Tidak lama mengurai pelukannya.

"Padahal alasan Resa saja malas pulang karena mabuk pesawat. Alasan sesungguhnya lebih memilih dekat-dekat dengan kekasihnya, dibanding dengan Mama. Iya, 'kan?" Monica menimpali dengan sindiran, langsung mendapat lenguhan sang anak.

"Mamaku sayang. Resa 'kan, kerja di sana. Mana gajinya gede pula. Makin betah, dong." Teresa kembali menghampiri Monica, merangkulnya. Lalu, mengayunkan kaki menuju parkiran. Adam mengikuti sambil mendorong troli.

"Karena ingin hidup bebas juga pastinya. Kamu, 'kan, paling malas dengerin ocehan Mama, Resa. Urusan gaji gede pasti berada di urutan belakang. Mama sama Papa loh, masih sanggup mencukupi semua kebutuhanmu."

"Beda dong, Ma. Resa juga pingin ngerasain hasil jerih payah sendiri. Iya kali jadi anak Mama yang enggak bisa ngapa-ngapain. Malah bikin malu tahu. Enggak ada yang bisa dibanggain dari Resa untuk kalian."

Monica menghela napas lelah. Ngomong dengan Teresa tentu tidak akan pernah berhenti dan menemukan ujungnya, karena anaknya selalu saja bisa menjawab. Sama-sama dengan balasan yang panjang.

Sementara Adam yang berjalan di belakangnya hanya diam menjadi pendengar. Ia tidak tahu ingin menyela apa, sebab itu urusan keduanya dan ia tidak akan ikut campur.

"Kita pulang ke rumah dulu, baru ke rumah Adam. Semua keluarga sudah ngumpul di sana, Nenek juga beberapa hari ini tinggal di sana," kata Monica. Ia membuka pintu bagian penumpang, sedangkan Adam dan Teresa memasukkan koper ke bagasi.

"Iya, Tante," balas Adam.

***

Malam hari tepat jam tujuh, Teresa bersama Adam dan mamanya sampai di kediaman lelaki itu. Semua sanak saudara telah berkumpul di sana dari yang jauh dan dekat. Kebetulan, rumah dirinya dan Adam masih satu kota. Jarak pun tidak terlalu jauh.

Memasuki ruang tamu, suasana ramai terasa begitu kental terdengar dari canda tawa mereka yang begitu menggelegar.

"Oh God! Gue kangen juga ikut nimbrung dalam acara keluarga seperti ini," adu Teresa kepada Adam yang berjalan di sampingnya. Sementara sang mama sudah mendahului.

"Teresa mana, Monica?" Salah satu dari keluarganya bertanya dengan nada tinggi, tepat Monica menginjakkan kaki di ruang keluarga yang luas.

"Ada di belakang," balas Monica, berjalan anggun menghampiri ibunya yang duduk di kursi roda.

"Gila, kenapa gue jadi deg-degan coba. Macam mau bertemu keluarga calon suami saja." Teresa langsung mencengkeram kemeja Adam bagian pinggang belakang. Di saat yang bersamaan pun ia merasakan debaran jantungnya makin kencang serta tubuh terasa panas dingin. Mungkin efek saking lamanya tidak bertemu mereka dan ada rasa malu serta canggung. Padahal sebelum ditanyakan keberadaan dirinya, ia masih baik-baik saja.

'Pasti bakal jadi objek pandangan dan penuh dengan pertanyaan ala-ala orang kepo,' batin Teresa penuh keyakinan.

Belum juga perkataan itu hilang dari pikiran, orang-orang di sana langsung menghampiri ketika melihat dirinya memasuki ruang keluarga. Ia bagaikan mangsa yang sedang diburu, langsung dikerumuni dan dipeluk-peluk secara bergantian.

Teresa tidak bisa menolak dan tidak bisa bergerak. Ia hanya mampu merespons sambil tertawa yang dibuat-buat saking bingungnya menghadapi keluarga besar.

"Kinder Joy, akhirnya lo sampai rumah juga." Gilang yang terakhir memeluk Teresa, masih merangkul perempuan itu sambil mencubiti pipinya. Tidak akan lupa untuk melampiaskan kegemasannya dengan sang adik.

"Untung gue gak punya alergi kulit, jadi masih aman walaupun pipi gue abis sama lo, Burung Kutilang."

"Sebentar lagi juga udahan. Sudah ada gantinya elo soalnya."

"Iya, iya, yang udah mau nikah mah." Teresa melirik lelaki itu, lalu mencubit perutnya.

"Teresa."

Mendapat panggilan dari sang nenek, Teresa langsung menoleh ke arahnya. Perempuan tua yang masih ayu itu tersenyum lebar kepada dirinya. Terlihat kedua tangannya membentang, meminta dirinya mendekat untuk didekap.

"Nek." Teresa berlari menghampiri, segera melesak pada pelukan sang nenek.

"Terima kasih sudah mau pulang, Sayang." Sebegai cucu perempuan satu-satunya, Erika sangat menyayangi Teresa dibanding keempat cucu lelakinya. Meskipun begitu, ia tidak membedakan kasih sayang ke semuanya. Hanya saja Teresa yang memiliki tingkatan paling tinggi.

"Maafin Resa ya, Nek."

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah pulang dan ikut menyaksikan pernikahan Gilang." Erika mengurai pelukan. Untuk sejenak ia menatap lekat sang cucu. "Nenek sudah punya gaun untukmu. Nanti dipakai saat pernikahan Gilang, ya. Nenek sendiri yang memilihkan bersama Mamamu," katanya lembut.

"Nenek sudah menyiapkan dari jauh hari, Resa. Kalau kamu tidak pulang, sungguh benar-benar akan menghancurkan hatinya," sambung Monica yang duduk di penyangga lengan sofa sambil merangkul sang ibu.

"Monic, tolong ambilkan gaunnya. Biar Resa mencobanya langsung. Takutnya nanti kebesaran atau tidak muat."

"Iya, Ma."

Monica beranjak dari tempatnya, langsung menuju kamar ibunya yang berada di lantai bawah. Ia masuk, tidak lama keluar dan kembali lagi menghampiri Teresa serta ibunya dengan tangan kiri menenteng gantungan gaun yang terbungkus, dan tangan kanan membawa box berisi high heels warna senada.

"Nenek bener-bener ingin lo jadi princess saat di pernikahan gue, Kinder Joy," kata Gilang, melihat Teresa menerima box dari Monica dan membukanya.

"Tapi, ini enggak berlebihan? Nanti dikira gue mau nikah sama lo." Lalu, Teresa menatap bergantian sang mama dan neneknya. "Ma, Nek, ini enggak berlebihan?"

"Tidak, Sayang." Keduanya menjawab kompak.

"Iya kali berlebihan? Gaun pesta lo aja lebih glamour dari itu. Nenek membelikan itu ke elo karena tahu selera elo, Kinder Joy." Adam menyahutnya, sementara yang lain hanya menonton ketercengangan Teresa.

"Oke, deh. Nanti Resa pakai pas Kak Gilang nikahan." Akhirnya, Teresa mengangguk menyetujui.

***

Next, ada Cimoy yang akan menemani kalian, guys. Masih belum jelas siapa pemiliknya. Jadi, tungguin aja tingkah lucu dia, ya.😂😂😂

4 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top