Part 3

"Beib, aku memesankan tiket untukmu yang transit Singapore, ya. Singapore Airlines, penerbangan dari sini hari Senin pukul 22.40," kata David bersuara tinggi. Ia duduk di sofa ruang tamu sambil memangku laptop dengan layar menampilkan web pembookingan tiket pesawat. Malam ini, sepulang kerja setelah kemarin malam sang kekasih memberitahu dirinya akan pulang ke Indonesia, ia langsung ke apartemen Teresa. Sudah berjanji akan membantu membookingkan tiket pesawat perempuan itu.

"Oke! Business class?" Teresa berseru lantang di dalam kamar, sedang menyiapkan barang-barangnya yang akan dibawa pulang ke Indonesia. Ia juga bisa mendengar suara David sangat jelas karena pintu sengaja dibuka lebar.

"Of course, Beib." David mengeklik persetujuan pembookingan tiket pesawat. Kemudian, ia menaruh laptop ke meja kaca depannya, terdapat beberapa macam box makanan yang ia bawa dan masih utuh.

David beranjak dari sofa. Kaki panjangnya yang terbalut celana kain hitam terayun menuju kamar Teresa. Lalu, ia berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahu kiri ke kusen sambil bersedekap. Mata hazelnya menyawang kamar sang kekasih yang teramat sangat berantakan. Tidak seperti yang biasa ia lihat; rapi dengan barang-barang tertata teratur di tempatnya masing-masing.

Saat ini, atas ranjang penuh dengan beberapa tas branded, pakaian, aksesoris, make up, dan skincare yang dikumpulkan jadi satu. Sementara lantai samping ranjang, terdapat beberapa pasang sepatu dan heels yang dijejerkan rapi.

"Kau seperti ingin pindah rumah selamanya. Semua barangmu dibawa."

Teresa yang peka dengan ucapan David langsung menilik ke ranjang, sepatu, dan dua koper besar yang melentang terbuka di lantai.

"You know me so well, David. Aku suka fashion, setiap apa yang aku pakai harus matching dari atas sampai bawah. Entah tas, sepatu, pakaian, aksesoris. Mix and match-nya harus sempurna. Tapi, itu tidak semua, masih banyak di lemari kamar sebelah." Dengan santainya Teresa menjawab. Meskipun barang-barang yang akan dibawa memang cukup banyak, tetapi masih banyak lagi yang di lemari.

David mengangguk paham. Yang membuatnya tertarik kepada Teresa saat pertama kali bertemu memang dari penampilan perempuan itu yang tak sembarangan. Fashionable, rapi, berwajah imut, cantik, semua yang ada pada perempuan itu ia suka.

"Kau tidak ingin ikut aku pulang ke Indonesia?" Teresa beralih menatap sang kekasih. "Mumpung sedang kumpul keluarga dan aku bisa mengenalkanmu ke semuanya, terutama ke Nenek."

"Tidak sekarang, Beib. Aku tidak bisa mengambil cuti dari pekerjaanku secara mendadak. Mungkin lain kali, atau nanti aku bisa menyusulmu dan kita bisa kembali ke sini bersama-sama."

"Terdengar bagus." Teresa tersenyum lebar. Ia beranjak dari jongkoknya yang sedang memasukkan beberapa helai pakaian ke vacuum bag, lantas menghampiri lelaki yang masih berpakaian kerja dengan kemeja putih digulung sampai sebatas siku, dasi hitamnya telah dilepas, dan dua kancing bagian atas telah dibuka membuat kemejanya agak terbuka dan terlihat lebih cool.

"Aku akan menunggumu di sana. Mengajakmu berkenalan dengan semua keluarga besarku. Lalu ... aku juga akan mengajakmu berkeliling, berwisata. Ah! Tempat wisata yang paling terkenal di Indonesia--."

"Bali." David memotong ucapan Teresa, mendapat anggukan cepat perempuan itu. "Aku ingin sekali berlibur di sana."

"Cocok. Biar lebih banyak waktu, bagaimana kalau kau mengambil cuti dua minggu dan kita bisa menghabiskan waktu lebih banyak di sana?" Teresa mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki itu sambil menatap lekat iris mata sang kekasih yang memiliki warna cokelat terang bercampur hijau dan orange.

Kata orang, jika ingin memiliki anak lucu, menggemaskan, dan cakep, bibitnya juga harus unggul. Dan bagi dirinya, David orang yang tepat untuk dijadikan suami. Tampan, bule, memiliki mata hazel yang indah. Ia bisa membayangkan bagaimana rupa anaknya jika nanti membuatnya dengan David. Pasti akan sangat menggemaskan seperti pada umumnya anak-anak blasteran lainnya. Tidak perlu jauh penggambarannya, papanya sendiri pun agak kebulean. Blasteran Indonesia-Amerika dan menetap di Indonesia sejak lahir, sehingga dirinya lebih kental darah Indonesia dibanding darah Amerika.

"Aku boleh bertanya sesuatu kepadamu, David?" Perempuan berpakaian kaus putih kebesaran yang menutupi celana pendeknya itu teringat perbincangannya dengan sang mama. Bagaimana bisa mamanya menolak David menjadi mantunya? Apa alasan yang lebih masuk akal dan jelas, selain karena beda negara? Lelaki di depannya sudah paket lengkap. Bibit unggul, tampan, sangat menghargai dirinya. Jika tidak, sudah dari dulu David memaksa dirinya untuk membuat anak tanpa harus menunggu ikatan pernikahan. Ketahuilah, David sangat kriterianya sekali.

"Tentu. Ingin bertanya apa?" Kedua tangan lelaki itu sudah bertengger di pinggang Teresa dan tubuh telah berdiri tegak.

"Kalau kita sudah menikah, apa kau mau pindah tinggal di Indonesia? Kau tahu bukan, Mamaku tidak ingin aku menetap di sini selamanya?" Teresa menghela napas perlahan, berharap David mengiyakan permintaannya. Jika sudah ada kejelasan, tidak ada alasan lagi mamanya tidak mengizinkan dirinya menikah dengan lelaki itu.

"Tinggal di Indonesia?" David merapatkan bibir sampai membentuk garis lurus. Tampak berpikir bagaimana pekerjaan dirinya andai tinggal dan menetap di Indonesia. Sementara di negaranya sekarang, ia memiliki pekerjaan bagus yang tentunya gajinya pun bagus.

"Aku memikirkan pekerjaanku kalau tinggal di sana, Beib."

"Nanti aku bantu untuk mencarikan pekerjaan yang setara denganmu di sini. Ada Papa, dia kenal dengan banyak kolega bisnis yang memiliki perusahaan besar."

"Baiklah." David mengangguk pelan. Nanti aku pikir-pikir lagi dan membicarakan ini ke orang tuaku."

"Aku berharap mereka menyetujui ini."

David mengangguk lagi, lantas mengajak sang kekasih menyantap makan malamnya. Makanan yang dibawa telah mendingin, Teresa pun membawanya ke dapur untuk dipanaskan dalam microwave, dibantu dirinya.

Sambil menunggu siap, Teresa berlari mengambil ponselnya di kamar, lalu kembali lagi ke dapur sambil menyalakan musik agar suasana tidak terlalu hening. Lagu Snowman dari Sia mengalun indah dengan alunan instrumen yang cocok untuk berdansa. Tubuh Teresa bereaksi untuk menari.

Di depan konter dapur yang masih memiliki cukup ruang, Teresa dan David berdansa begitu mengkhayati musik. Gerakan kakinya melangkah sesuai irama lagu dengan salah satu tangan kanan dan kiri keduanya saling bertautan. Tangan kiri Teresa yang bebas bertengger di pundak David, sementara tangan kanan David bertengger di pinggang perempuan itu.

Let's go below zero and hide from the Sun
I love you forever where we'll have some fun
Yes, let's hit the North Pole and live happily
Please, don't cry, no tears now
It's Christmas, baby

Memasuki lirik itu, keduanya bergerak lebih cepat ke kanan-kiri, lalu membentuk pola kotak diiringi tawa bahagia.

My snowman and me
My snowman and me
Baby

Teresa bergerak memutar, salah satu tangannya masih digenggam David. Kemudian, lelaki itu menariknya kembali ke dekapan dan menggerakkan kakinya ke kanan-kiri perlahan.

Mengingat makanan yang dipanaskan sudah siap sejak beberapa detik lalu, Teresa menjauh dari David untuk mengeluarkan makanannya dari microwave.

"Empat hari lagi kau akan meninggalkan New York dan meninggalkanku," kata David sambil membantu menata makanan ke meja makan. Teresa masih memanaskan makanan lainnya lagi.

"Aku akan kembali lagi ke sini. Setelah mendapat restu dari Mama dan Papa, aku ingin kita segera menikah, David."

"Iya, Beib." David menghampiri Teresa, berdiri di belakangnya dan mengecup pipi kiri perempuan itu.

Beberapa menit kemudian, semua makanan telah siap di meja. Keduanya pun menyantapnya diselingi obrolan ringan.

***

"Ma, Resa jadi pulang ke Indonesia. Sekarang lagi perjalanan ke Bandara JFK." Teresa menelepon mamanya, tepat di hari kepulangan dirinya. Malam ini.

Sejak lima hari lalu, ia tidak memberi kabar apa pun kepada sang mama. Sengaja. Seolah dirinya menghilang dari peradaban. Padahal sedang persiapan.

"Sayang, kamu seriusan pulang ke Indonesia hari ini?"

Suara Monica terdengar heboh. Seperti dalam perkumpulan keluarga, karena sekitarnya ramai. Teresa mendengar ada yang melemparkan pertanyaan, bukan satu dua orang, tetapi lebih. Seakan ingin memastikan dirinya benar-benar pulang.

"Res, akhirnya lo pulang juga. Adik gue emang terbaik! Nyelametin pernikahan gue."

Itu suara Gilang. Jika berhadapan langsung dengan lelaki itu, Teresa bisa menebak dirinya akan digemas-gemas sampai kebangetan. Pipi akan dicubit sampai menimbulkan blush on alami. Gilang memang kakak sepupu, tapi sudah seperti kakak kandung untuk dirinya. Dan di dalam rantai keluarga besar neneknya dari sang mama, ia cucu satu-satunya perempuan di antara empat cucu laki-laki. Sementara dari sang papa tidak ada karena lelaki itu anak tunggal; seperti dirinya.

"Demi lo, Kak. Kalau lo gagal nikah, pasti lo bakal ngirim santet ke gue. Ya, kan?" Taksi yang ditumpangi berhenti di pelataran bandara. Ia menunggu Jenna keluar. Kedua temannya ikut mengantar, bersama David yang duduk di sebelah kemudi.

"Ya, lah! Nenek bakal batalin pernikahan gue kalau lo gak pulang. Walaupun itu acara digelar besok, tetep bakal dibatalin. Savage emang. Untungnya masih hari Minggu. Dan syukurnya ada keajaiban dari adik gue yang sadar diri ini, memberi kabar baik atas kepulangannya."

"Iiish! Ngatain Nenek savage. Nanti gue bilangin ke Nenek biar tahu rasa, lo! Eh, tapi, emang bener sih, savage. Buktinya berhasil ngancem gue pulang."

"Tuh, kan. Lo aja mengakui kalau Nenek savage."

Teresa sudah keluar dari taksi, membantu David mengambil koper dari bagasi. Sementara, satu kopernya Jenna dan Anne yang menurunkan.

"Gue terbang dari sini jam sepuluh lebih empat puluh. Transit di Singapore, sampai sana Selasa sekitar jam enam sore. Terus, lanjut terbang ke Jakarta hari rabu, sekitar jam sembilan pagi. Berarti sampai Jakarta sekitar jam sepuluhan," lanjut Teresa.

"Oke. Hati-hati di jalan, Kinder Joy. Besok gue jemput di bandaranya."

"Hei, calon nganten enggak boleh pergi-pergi. Pamali tahu. Minta Adam sama yang lain aja yang jemput gue. Papa sama Mama juga pasti bakal jemput gue."

"Oke-oke, bercanda gue. Kasihan calon istri gue, kalau guenya kenapa-kenapa, 'kan, ya?"

"Nah, itu lo tahu. Ya udah, gue matiin teleponnya, ya. Sampain salam gue ke Mama, Papa, Nenek, dan yang lain. Byeee, Burung Kutilang." Teresa memutuskan sambungan telepon. Taksi sudah berlalu. Ia mengikuti langkah David memasuki bandara.

"Hati-hati di jalan, Beib. Beritahu aku kalau sudah sampai Indonesia, ya." David memeluk Teresa, sebelum melepaskan perempuan itu melakukan check-in. Cukup lama. Rasanya tak ingin melepaskan. Kecupan pun ia bubuhkan di kening perempuan itu, kemudian mencium bibirnya.

"Aku akan sangat merindukanmu, David." Teresa mendongak, menatap wajah sang kekasih sendu.

Anne dan Jenna yang berdiri di sebelah kiri sepasang kekasih itu, menatap Teresa sedih. Keduanya saling merangkul.

"Aku juga." David membalasnya. Sekali lagi ia mengecup kening dan bibir Teresa.

"Teresa, aku akan sangat merindukanmu juga. " Anne melepaskan rangkulannya dari Jenna, lantas beralih memeluk Teresa. Jenna menyusulnya. Ketiganya saling merangkul, cukup lama dan erat.

"Hati-hati di jalan, Honey," ucap Jenna, mendapat anggukan dari lawan bicaranya.

Tidak lama kemudian, Teresa melepaskan pelukan. Ia menatap bergantian antara tiga orang tersebut. Agak lama saat ia menatap David. Dari sorot mata lelaki itu, ia tahu ada rasa sedih yang disembunyikan.

"Oke, aku pergi dulu." Teresa melangkah perlahan ke belakang sambil menarik kedua koper. "Bye, Girl's. Bye, David. Aku mencintai kalian semua. Spesial untukmu, David." Ia melambaikan tangan, dibalas oleh ketiganya. Lantas, ia benar-benar berlalu menuju loket pengambilan tiket.

Teresa masuk dalam antrean, sebelum tiket dalam genggaman. Dan dua jam lagi ia akan meninggalkan New York, meninggalkan pekerjaannya, serta meninggalkan mereka yang mengantar dirinya. Meskipun sementara, tapi berasa akan lama.

***

3 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top