Part 2

"Kami ingin menciptakan sebuah pengalaman untuk pasangan. Di mana dua orang didorong untuk lebih intim saat menggunakan sofa ini. Dan hasil dari pengalaman yang Anda dapatkan, akan berakhir seperti yang Anda harapkan. Orgasme yang intens, kesenangan yang tinggi dan sangat mendalam, serta ... apresiasi spiritual." Di ruang meeting yang cukup luas, Peter--sang pencipta Sofa S dari pabrik furnitur--menjelaskan kepada team senior strategic planner tentang keunggulan sofa buatannya.

Sudah lebih dari tiga puluh menit lelaki itu di sana. Sebelumnya memberitahu jika ia kesulitan memperkenalkan produk barunya ke publik. Kesulitan mendapatkan branding yang bagus agar konsumen tertarik dengan Sofa S miliknya.

Teresa berusaha fokus kepada kliennya tersebut. Padahal pikiran dan batin sedang berperang teringat percakapan dengan mamanya tadi pagi. Untuk menghindari hanyut dalam lamunan, ia memerhatikan gerak tubuh, tangan, dan pandangan Peter, seolah sedang membayangkan dalam suasana kenikmatan yang indah. Logat bahasanya pun dibuat semenarik mungkin sambil mondar-mandir di depan Sofa S yang sengaja dibawa untuk bahan iklan nanti.

Teresa tidak lupa menulis permasalahan yang dialami Peter dalam penjualan. Ia juga menulis tujuan utama sofa itu dibuat; untuk pasangan berhubungan intim, untuk bersantai, dan bisa diletakkan di mana pun tempatnya. Yeah, sofa serba guna. Apalagi yang memiliki having sex, sofa itu sangat cocok.

"Bagaimana kalau kita menggunakan pasangan sebagai model iklan? Mereka bisa menjelaskan gaya apa saja yang bisa dilakukan di sofa itu." Sonny memberi usul sembari mengamati lekukan sofa tersebut.

"Maksudmu ... berhubungan badan di sofa itu?" Teresa menelengkan kepala, bertanya tidak yakin kepada Sonny sambil menautkan kedua alis. Bolpoin yang ia pegang diketuk-ketukkan ke dagu.

"Hanya untuk peragaan, Teresa. Tidak nyata," jelas Sonny.

"Yang benar saja." Teresa bergumam lirih. "Bakal jadi Pro-Kontra tidak?"

"Ini New York, Teresa. Ada yang lebih parah lagi, seperti; iklan tanpa berbusana, iklan alat seks, dan lain-lain. Hanya saja perusahaan kita tidak menerima itu."

"Lalu, ini?" Teresa masih beradu argumen dengan Sonny, bersuara lirih agar sang klien tidak tersinggung.

"Kalau sudah masuk sini, berarti manager sudah menyetujui. Dan tugas kita adalah membantu dia. Membantu memasarkan, membantu meningkatkan penjualannya, dan memberikan layanan yang baik untuknya. Mencarikan solusi dalam mengiklankan."

Oke, Teresa menyerah beradu argumen. Ia hanya karyawan biasa yang tidak memiliki wewenang lebih untuk menolak sang klien.

"Boleh saya mencoba berbaring di sofa itu, Pak? Saya ingin merasakan bagaimana rasanya," pinta Anne kepada Peter. Masalah sex, ia memang yang paling excited dibanding Teresa dan Jenna.

Peter mengangguk. Ia mempersilakan Anne untuk rebahan di sofa ciptaannya.

Perempuan bersetelan jaket kulit hitam menutupi tanktop hitam dan rok kulit hitam seatas paha itu beranjak dari kursi. Kaki jenjangnya yang terbalut boot hitam terayun ke Sofa S yang terletak di depan meja meeting, di bawah televisi besar yang menempel di dinding. Lantas, ia merebahkan diri di sana.

"Oh God! Ini sangat luar biasa. Aku bisa merasakan kenyamanan di sini," seru Anne diiringi tawa dan menular ke Peter. "Bisa untuk relaks saat badan pegal-pegal," lanjutnya.

"Ya. Aku berharap dengan membuat iklan dari sini, sofa ini laris manis, terkenal, dan menjadi incaran pasangan muda maupun tua." Peter berkata semangat penuh harap.

Merasa puas mencoba berbaring di Sofa S, Anne kembali duduk ke kursinya lagi. Ia menulis apa saja yang dirasakan di sofa tersebut. "Aku berpikir akan membelinya satu," ucapnya kepada Teresa dan Jenna.

"Kau serius akan membelinya?" Jenna menyahutnya lirih.

"Yupz!"

Sementara, Teresa tidak menanggapi. Benak sedang memikirkan solusi penempatan iklan yang tepat untuk Sofa S itu. Ia menulis setiap ide yang datang. Setelah selesai, ia mengangkat kepala lalu menatap satu per satu orang-orang yang duduk melingkari meja meeting. Masuk dalam pekerjaan ia memang akan serius. Ia tahu menempatkan diri kapan waktunya main-main atau bercanda dalam ucapan.

"Menurut pendapat saya, ada tiga tempat yang cocok untuk menaruh iklan sofa ini. Pertama, untuk iklan YouTube. Penggunaan sofa untuk bersantai. Lokasi pengambilan video bisa dilakukan di luar ruangan, seperti ... di taman atau pantai gitu?" kata Teresa. Pandangannya tertuju pada Peter yang mendengarkan usulannya. Tidak lama ia melihat lelaki itu mengangguk paham sambil duduk ke kursinya.

"Kita butuh sesuatu yang berbeda dalam pengambilan videonya." Jenna menimpali sambil mengangguk.

"Yupz! Benar. Karena sesuatu yang unik akan mudah menarik perhatian orang-orang. Dan YouTube selalu ramai dikunjungi ribuan orang setiap harinya." Teresa mengacungkan bolpoin yang tergenggam di tangan kanan. "Kedua, sedikit lebih panas jika tujuannya untuk berhubungan intim. Iklan di majalah dewasa. Konsepnya, kita sediakan beberapa katalog tentang kursi-kursi tersebut, foto sepasang model di Sofa S, dan penjelasan dengan tulisan-tulisan yang menarik. Saya pikir, ini sangat tepat untuk ditaruh di majalah dewasa. Aman dari jangkauan anak-anak," sambungnya.

Anne, Jenna, dan Sonny, mengangguk sembari mencatat masukan Teresa.

"Ketiga, di 3D Billboard. Time Square adalah lokasi yang tepat. Banyak lalu lalang pejalan kaki di sana, yang nantinya akan mudah menarik perhatian mereka." Teresa selesai memberi usulan. Ia masih menatap rekan-rekannya dan Peter. Semua seakan berpikir dalam diam.

"Ada yang ingin menambahkan ide lain?" tanya Teresa tampak serius.

"Bagaimana jika ditambah iklan jangka pendek, seperti event activation? Bisa diadakan di aula mall, dan memberikan kesempatan kepada calon pembeli untuk mencobanya terlebih dahulu. Kita bisa stay di sana selama seminggu atau dua minggu lamanya sambil menunggu iklan digital selesai digarap." Anne memberi usul. Teresa menerimanya dan mengangguk. "Mereka bisa mengetahui seperti apa tingkat kenyamanan sofa tersebut. Dengan begitu, akan lebih mudah menarik konsumen untuk datang," sambungnya.

"Ide bagus," kata Teresa.

"Dalam bentuk dukungan event activation, kita bisa memberikan brosur tentang sofa tersebut. Dan mungkin bisa dibarengi dengan kursi produksi unggulan dari pabrik Anda, Pak. Hal ini akan memudahkan membentuk branding toko furnitur Anda lebih cepat dikenal masyarakat." Jenna menambahkan.

Peter mengangguk. "Yaa. Aku menerima ide kalian. Aku percaya dengan iklan-iklan yang diproduksi oleh Saviour Group hasilnya selalu memukau dan menakjubkan."

"Oke. Jadi, penempatan dan pembuatan iklan Sofa S ini sudah jelas?" tanya Teresa, memastikan.

"Jelas." Jenna mengangguk. Diikuti Anne, Sonny, dan Peter.

"Baik, kalau semua sudah jelas. Rapat hari ini kita tutup. Dan bisa diadakan pertemuan selanjutnya setelah melakukan perundingan dengan tim kreatif lainnya," ucap Teresa, menatap satu per satu rekan-rekannya dan Peter, sekaligus menutup acara meeting.

"Untuk anggaran periklanan, kami akan memberi tahu Anda setelah berdiskusi dengan tim kreatif lainnya, Pak. Kami akan menghubungi Anda untuk melakukan pertemuan berikutnya. Apakah itu sesuai dengan anggaran Anda atau tidak, dan apakah ada pergantian dari perencanaan ini." Sonny beranjak berdiri. Ia mengulurkan tangan kanan kepada Peter.

"Terima kasih atas bantuannya," kata Peter seraya membalas uluran tangan Sonny. Kemudian, ia berlalu lebih dulu dari ruang meeting.

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ada peragaan penggunaan sofa itu." Sambil merapikan buku-buku miliknya, menumpuk, dan didekap, Teresa masih tidak yakin dengan kerja sama yang satu ini. Ia memang penyuka kebebasan, tetapi tidak dengan hubungan seks bebas. Ia memang memiliki kekasih yang sangat dicintai, tetapi ia bukan wanita bodoh yang bisa menyerahkan keperawanan secara bebas ke pria yang belum menjadi suaminya. Memiliki sahabat yang suka seks bebas, tidak berarti dirinya ikut terjerumus ke hal yang sama.

Teresa masih memegang kuat pesan sang papa, boleh tinggal jauh dari keluarga, dari Indonesia, asal bisa jaga diri dengan baik dan pulang tidak membawa anak dari hubungan di luar nikah. Ancamannya cukup menakutkan. Tidak akan pernah dianggap anak, dicoret dari KK, sedangkan dirinya seorang perempuan yang masih lajang. Jika menikah tentu sangat membutuhkan saksi sah dari ayah kandung.

"Ya, ya, Indonesian blood," seloroh Anne seraya beranjak dari tempatnya melangkah menuju pintu. Sama seperti Teresa dan dua rekannya, ia mendekap buku kerjanya.

"Sudah waktunya istirahat. Mau makan di restoran mana?" Sonny mengubah topik pembicaraan.

Teresa langsung menoleh menatap lelaki itu. "Aku tidak ikut, ya. Boleh minta tolong nitip belikan makanan saja untukku? Aku harus menemui manager sekarang, membicarakan soal kepulanganku."

"Oke, Honey. Aku tahu makanan kesukaanmu. Nanti aku bawakan." Jenna berkata riang, disetujui oleh Anne yang mengangguk cepat.

"Thank you, Girl's."

"Nasib laki-laki sendiri, ikut dipanggil Girl's," gerutu Sonny, menjadi bahan tertawaan tiga temannya sampai di ruang kerja. Mereka meletakkan buku ke mejanya masing-masing. Lalu pergi lagi meninggalkan Teresa seorang diri yang duduk di kursi.

Teresa meraih vas mini berisi tumbuhan hijua buatan. Dipandangnya barang itu sambil memainkan ujung daunnya yang terbuat dari plastik. Lama terdiam, lambat laun ia masuk dalam lamunan. Benak berpikir macam-macam, bak benang kusut yang tak tahu ujung. Ia masih dilanda dilema. Ingin tetap menetap di New York, tetapi hati berkata jika ia harus pulang. Namun, ia teringat kembali bagaimana susahnya pergi ke New York yang bakal ditahan oleh sang mama.

Mama sangat merindukanmu, Resa. Pernikahan Gilang ada pada dirimu. Kondisi nenek sudah semakin tua, kamu tidak kasihan dengannya?

Teringat ucapan mamanya yang menghantui isi kepala, akhirnya Teresa memutuskan untuk menemui sang atasan. Ia beranjak dari kursi, berlalu dari ruang kerja, lantas mengayunkan kaki menuju ruangan sang manager yang masih selantai. Terlihat dari dinding kaca, Noel--sang manager--sedang teleponan dengan seseorang. Lelaki itu berdiri membelakangi dirinya di depan dinding kaca, pandangan terarah ke hamparan Kota Manhattan.

Ada rasa enggan untuk Teresa masuk. Ia masih berdiri di depan pintu, menimang-nimang lagi. Namun, keputusan dirinya sudah bulat. Ia harus pulang secepatnya demi pernikahan Gilang. Ia tidak ingin menjadi penyebab atas kegagalan pernikahan kakak sepupunya itu.

Menarik napas panjang dengan jantung berdebar tak keruan, Teresa memberanikan diri mengetuk pintu. Noel langsung menoleh ke belakang menatap dirinya. Lelaki itu mengangkat salah satu tangan, seolah memberi isyarat meminta dirinya menunggu.

Tidak lama kemudian, Noel menyudahi teleponannya. Ia menjauhkan ponsel dari telinga sambil berjalan mendekati meja kerjanya.

"Masuk, Teresa," pinta lelaki itu, lantas mendaratkan pantat di kursi kebesarannya.

"Terima kasih, Pak." Teresa melangkah masuk. Melihat Noel mempersilakan dirinya duduk, ia mendaratkan pantat di kursi tamu depan meja kerja lelaki itu.

"Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, Teresa?" tanya Noel, ramah.

"Eeehm, yeah. Ini tentang saya, Pak." Teresa berkata sangat hati-hati.

Noel mengangkat sebelah alisnya. Menatap penuh tanya kepada Teresa. "Ada apa denganmu?"

Teresa menggigit bibir bawahnya, lalu meringis, seakan tak enak hati untuk memberitahu Noel jika dirinya harus pulang ke Indonesia. Secara mendadak. Sementara, dirinya memiliki tanggung jawab besar di pekerjaannya tersebut.

"Katakan saja, Teresa. Apa kau memiliki masalah dengan pekerjaanmu?" pinta Noel sekaligus bertanya. Namun, ia mendapat gelengan dari perempuan itu.

"Eeehm, tidak! Bukan itu. Saya ... saya hanya ingin meminta izin untuk pulang ke Indonesia, Pak."

Noel mengernyit. Namun, ia mengangguk paham. "Kapan?"

"Dalam waktu dekat. Mungkin dalam tiga sampai lima harian ke depan."

"Kenapa sangat mendadak?" Dari raut wajahnya Noel tampak terkejut. Kemudian, ia diam saat Teresa mulai menjelaskan permasalahan yang ada. Dari orang tuanya yang memaksanya pulang, pernikahan sepupunya yang dijadikan taruhan. Ia berusaha memahaminya. Apalagi Teresa memang belum pernah pulang sejak masih kuliah sampai sekarang.

"Baik, kalau begitu. Aku mengizinkanmu pulang ke Indonesia. Waktu satu bulan cukup?"

Teresa mengangguk semangat, tersenyum lebar. "Yeah, itu sangat cukup, Pak. Terima kasih banyak."

"Ya, sama-sama, Teresa. Kau boleh mengambil cuti mulai besok, untuk persiapan mengemas barang-barangmu."

Sekali lagi, Teresa mengangguk. Noel memang orang yang penuh perhatian sedari dulu. Yang paling ia sukai dari lelaki itu adalah sering memberikan tips dan mentraktir bawahannya ketika timnya sukses memproduksi iklan yang dipasarkan. Sebab, klien yang dibantu merasa terpuaskan dari iklan yang diedarkan dan mendapat hasil penjualan barang cukup besar.

***

2 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top