Part 1
Teresa melangkah anggun menginjakkan kakinya yang beralaskan high heels setinggi tujuh senti ke lobi lantai satu gedung kantornya, setelah menaiki escalator dari grand floor. Dengan tangan kanan menggenggam ponsel yang ditempelkan pada telinga, ia mendengarkan mamanya yang berbicara panjang lebar dari seberang sana.
Lagi dan lagi, masih topik yang sama. Perempuan yang telah melahirkan dirinya itu memintanya segera pulang ke Indonesia.
"Kami semua sangat merindukanmu, Resa. Atau kamu sudah tidak sayang kami dan baru akan pulang setelah kami tidak ada?"
Teresa mengapit ponselnya di antara kepala dan bahu, lalu menempelkan ID card karyawan yang mengalung di lehernya ke pintu mesin sebatas pinggang. Ia terenyuh mendengar ucapan Monica--sang mama--begitu memelas. Kali ini terdengar sangat memohon, tidak seperti biasanya. Ia tentu merindukan mereka, terlebih kepada mamanya. Namun, ia masih perlu mencari jati diri untuk dirinya sendiri di negara orang.
"Tidak seperti itu, Ma. Resa juga sayang kalian. Nanti Resa bakalan pulang, kok. Swear," jawab Teresa meyakinkan sambil berjalan menuju lift. Ia mendongak untuk melihat monitor di atas empat pintu lift yang saling berhadapan, mengecek lift mana yang akan lebih cepat untuk membawanya ke lantai lima belas.
Lift nomor tiga sedang berjalan turun, masih di lantai tiga. Ia pun berjalan mendekati lift tersebut dan berdiri di depannya.
"Nanti itu, kapan, Sayang?"
Teresa memasuki lift, setelah lift itu mendarat di depannya dan seorang karyawan dari divisi lain keluar. Suara mamanya menghilang karena tidak ada signal di dalam. Beberapa saat kemudian, lift sampai di lantai kantornya.
"Maaf, Ma. Tadi, Resa enggak denger suara, Mama. Enggak ada signal di dalam lift soalnya." Teresa melangkah keluar, melewati koridor untuk menuju ruang kerjanya.
"Nanti itu, kapan, Sayang?" Monica mengulang pertanyaannya. "Kamu jawabnya selalu nanti, nanti, dan nanti terus. Sudah tujuh tahun, loh, kamu pergi. Nenek juga sudah semakin tua. Dia ingin sekali melihat kamu, cucu perempuan satu-satunya segera menikah. Satu minggu lagi Gilang akan menikah, dan Nenek mengharapkanmu pulang, Sayang. Katanya, kalau kamu tidak pulang, acara pernikahan Kakak sepupumu akan diundur sampai kamu pulang."
Teresa terpejam sesaat mendengar ucapan mamanya yang ternyata panjang kali lebar kali tinggi. Terlebih ada selipan kata menikah untuk dirinya dan pengunduran acara pernikahan Gilang jika dirinya tidak pulang. Aturan macam apa itu?
"Kenapa bawa-bawa Gilang, sih, Ma? Kasihan dia tahu. Gi---."
"Makanya cepat pulang, Sayang. Kelamaan di negara orang, kamu jadi lupa negara sendiri. Mama sama Papa masih mampu menghidupi kamu, loh. Kami bekerja juga untukmu." Monica berkata cepat, memotong ucapan sang anak.
Teresa mendesah lemas sembari memasuki ruangan luas penuh dengan barang-barang keperluan kerja, terdapat meja-meja panjang milik karyawan; atasnya berjajar komputer dan tumpukan buku tertata rapi. Ada satu meja besar di tengah-tengah ruangan; paling sering digunakan oleh para team kreatif pembuatan iklan saat melakukan perundingan sebelum terjun ke lapangan.
Memasuki ruang kerjanya yang tersekat dinding kaca, perempuan berusia 27 tahun yang memiliki rambut golden brown bergelombang bagian bawah itu menaruh tas tangan dan tas laptopnya di meja, lantas mendaratkan pantat ke kursi beroda lima. Rekan seruangannya belum ada yang datang, mungkin tidak akan lama lagi berhubung sekarang sudah pukul 08.30. Sementara kantor mulai beraktivitas jam sembilan.
"Oke, oke. Nanti Resa pikir-pikir lagi untuk pulang." Teresa berucap santai sambil menggoyang-goyangkan kursi.
"Astaga, ini anak. Pulang ke rumah sendiri saja masih pikir-pikir lagi. Bisa-bisa Papa mencoretmu dari KK, Resa." Monica mulai kesal dan geregetan. Anaknya memang susah sekali untuk diminta pulang ke Indonesia.
"Papa tidak akan melakukan itu ke Resa, Mama. Dia, 'kan sayang banget sama anak perempuan satu-satunya."
"Tapi, Papa akan menurut apa pun yang dikatakan Mama, Resa."
"Maaa, pleeeease. Resa belum ingin pulaaang." Seperti anak kecil, Teresa merengek manja dengan raut wajah memelas meskipun mamanya tak melihat.
"Resaaa, tidak baik loh, membuat kesal orang tua terus menerus."
Teresa merebahkan kepala ke meja berbantalkan lengan kiri. Pusing sendiri.
"Nanti, Mama, bilangin ke Nenek deh, kalau Resa akan pulang dan akan segera menikah. Tapi, tidak tahu kapan. Kalau urusan calon suami, Resa sudah menemukan yang tepat dan tampan. Pokoknya Nenek bakal cinta sama calon cucu mantunya itu," balas Teresa. Ia mengangkat kepala lagi, lalu mengambil map di laci meja kerjanya.
Hari ini ada klien datang untuk membicarakan perencaan pembuatan iklan Sofa S. Teresa mengernyit melihat gambar model kursi santai tersebut. Unik. Bergelombang. Namun, pikiran dirinya langsung tertuju pada hal sex. Kata Anne--rekan kerja satu teamnya, sofa itu memang ditujukan untuk sepasang kekasih berhubungan sex yang lebih intim.
Ada-ada saja.
Teresa menggeleng pelan. Lalu, kefokusannya beralih kepada mamanya lagi.
"Jangan bilang sama David, Sayang. Sedari awal Mama sudah tidak setuju kamu berhubungan dengan dia. Apalagi David asli orang sana, pasti bakal membawamu menetap di sana. Enggak, pokoknya Mama tidak setuju kalau kamu menikah dengannya, Resa."
Teresa mengembuskan napas berat. Ia meletakkan map ke meja, langsung menyangga dagu menggunakan salah satu tangannya. Sementara pandangan terfokus pada figura foto dirinya dan David, serta foto keluarganya yang ditempelkan di dinding kubikel.
"Nenek minta Resa cepat menikah. Tapi, Mama tidak setuju sama laki-laki pilihan Resa. David calon suami yang benar-benar menyayangi Resa loh, Ma. David orangnya baik dan memiliki sifat mengayomi. Kalau Mama udah kenal dekat dengan David, pasti Mama akan menyukai dia. Untuk tempat tinggal setelah menikah, nanti kami bisa rundingkan lagi. Dia orangnya nurutan, kok. Pasti mau diajak tinggal di Indonesia, asal punya pekerjaan yang bagus di sana," jelas Teresa. Mamanya memang tidak merestui hubungan dirinya dengan David. Alasannya cukup jelas karena beda negara, takut jika dirinya menetap selamanya di New York.
Dulu pun, Monica yang paling menentang saat Teresa memutuskan kuliah di New York. Alasannya karena ia anak tunggal dan tidak ingin hidup jauh, serta mengkhawatirkan dirinya yang akan tinggal sendirian. Dan semakin resah lagi saat ia melanjutkan kerja di New York; sebagai seorang strategic planner di sebuah perusahaan Advertising Agency, tanpa pulang lebih dulu.
Prinsip Teresa, ia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Ingin tahu banyak hal tentang dunia luar dan tidak ingin bergantung kepada orang tuanya meskipun mereka orang berada. Perempuan berzodiak Gemini itu memang memiliki sifat keras kepala dan tidak suka dikekang, ia ingin bebas melakukan segala sesuatu, tapi tetap dalam kontrolnya. Termasuk, ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai strategic planner. Pekerjaan yang menuntutnya banyak omong, berfikir, berganti klien yang setiap harinya memiliki planning berbeda, dan itu sangat mengasyikkan untuk dirinya. Sebab, tidak membosankan. Tidak monoton.
"Mama tidak perlu kenal dekat dengan David, Sayang. Mama tidak menyukai dia." Ada jeda sesaat. "Pokoknya kamu harus pulang saat pernikahan Gilang. Titik. Nasib Kakak sepupumu itu ada pada dirimu, Resa. Mana umurnya juga sudah tua," lanjutnya.
"Baru juga 33 tah---."
Monica memutuskan sambungan telepon, membuat Teresa ternganga yang belum menyelesaikan ucapannya. Ia menjauhkan ponsel dari telinga sambil ngedumel tidak jelas. Raut wajahnya masam seketika. Melihat pintu kaca ruangannya terbuka dan satu rekan kerjanya memasuki ruangan, ia terdiam masih dalam keadaan kesal.
"Apa yang terjadi? Ada masalah?" tanya Sonny, nama rekan kerja Teresa.
Lelaki itu menampilkan wajah penasaran melihat Teresa tampak muram. Biasanya perempuan itu yang paling semangat. Setiap rekan kerjanya datang, sapaan riang akan menyambut pendengarannya. Ia mendaratkan pantat ke kursi. Menaruh tas kerjanya ke bawah meja, serta paper bag berisi kopi panas dan sandwich di atas meja.
"My Mom. Memaksaku kembali ke Indonesia." Teresa berkata lirih sambil menatap lelaki berkemeja navy sedang mengeluarkan satu cup kopi dari paper bag. Sedangkan, dirinya memainkan ponsel yang masih dalam genggaman di atas meja.
"Lagi? Dan kau tidak pernah mengabulkan? Kau tahu, 'kan, Mamamu sangat merindukanmu?" kata Sonny seraya membuka penutup cup. Aroma kafein dari kopi menyeruak harum di penjuru ruangan bernuansa aesthetic. Ada tumbuhan dedaunan di pot pojok ruangan samping dinding kaca. Sedangkan di setiap meja kerja bercat putih, terdapat pot mini tumbuhan hijau buatan.
Sonny mengambil bungkusan gula dari dalam paper bag. Menyobeknya dan menuangkan isinya ke kopi, lantas mengaduk rata menggunakan stick kayu yang telah tersedia di dalam paper bag tersebut.
"Aku bingung, Sonny. Kalau aku pulang ke Indonesia, akan susah untukku datang ke sini lagi. Mamaku pasti tidak akan mengizinkanku kembali ke New York. Aku sangat paham untuk itu. Tapi, kalau aku tidak pulang, sepupu lelakiku yang menjadi taruhan." Teresa menampilkan wajah sendu. Ia semeja dengan lelaki itu. Hanya tersekat pembatas berbahan plastik dan transparan, di tengah-tengah mejanya. Sementara dua rekannya lagi berada di meja depannya yang tersekat kubikel berbahan kayu bercat cokelat.
Sonny tahu tentang itu, tentang Teresa yang tidak mendapat izin mamanya berlama-lama di New York. Namun, dasarnya perempuan itu yang bebal, justru ingin berlama-lama di New York. Katanya, lebih bebas saja menjalani kehidupan. Tidak dalam kekangan peraturan ini dan itu. Perempuan itu juga bilang ingin menikmati masa remaja dan masa hidupnya sebelum terikat pernikahan, yang mungkin akan berakhir menjadi ibu rumah tangga nantinya.
Ia bekerja sama dengan Teresa sudah lebih dari empat tahun. Sangat paham bagaimana sifat Teresa yang tidak suka dikekang. Namun, di sisi lain, Teresa pribadi yang menyenangkan. Perempuan itu cepat akrab kepada siapa pun, penuh semangat, energik, dan akan bercerita hal apa pun ketika sedang berkumpul. Ia menyukai kepribadian Teresa yang memiliki energy positif, terlihat dari raut wajahnya yang periang dan murah senyum. Bahkan, Teresa tidak pernah jaim. Akan bersikap apa adanya pada dirinya sendiri.
"Apa itu? Kenapa sepupu lelakimu yang dijadikan taruhan?" Sonny semakin penasaran. Ia mengambil sandwich, menawarkannya kepada Teresa dan mendapat gelengan dari perempuan itu. Lantas, ia melahapnya sendiri.
"Sepupuku akan menikah minggu depan. Tapi, kalau aku tidak pulang, pernikahannya ditunda sampai aku pulang. Lalu, apa yang harus kulakukan, Sonny?" jelas Teresa sekaligus bertanya, meminta masukan. Jemari tangan kanannya beralih dari ponsel dan mengetuk-ngetuk meja.
"Pulang kalau begitu," celetuk Sonny, santai. Ia menatap ke luar ruangan. Para karyawan telah berdatangan, menempati meja kerjanya masing-masing. Termasuk Anne dan Jenna--dua rekan kerjanya dalam satu team senior strategic planner--memasuki ruangan.
Teresa menegakkan tubuh, lalu melambaikan tangan kanannya ke Anne dan Jenna. Ia menyapanya singkat sambil tersenyum tipis. Sedetik kemudian, ia kepikiran obrolannya dengan Sonny lagi. Yeah, dirinya tidak memiliki pilihan lain. Mungkin sudah waktunya ia pulang ke Indonesia sekarang.
"Aku akan mendiskusikan ini dengan bos. Minta izin pulang ke Indonesia sekalian," kata Teresa lesu.
"Teresa, kau serius akan kembali ke Indonesia?" Anne langsung menyambung obrolan Sonny dan Teresa, masih berdiri di depan mejanya. Pun, dengan Jenna yang ikut menyimak.
"Kupikir begitu. Mamaku memaksaku pulang. Aku tidak punya pilihan, Anne." Tatapan Teresa menyendu ke arah dua perempuan itu.
Mendengarnya, Anne dan Jenna bergegas menghampiri. Lantas, memeluk Teresa erat-erat. Keduanya teman baik Teresa. Mereka sering pergi shopping, clubing, terkadang tidur bersama, bergiliran apartemen sambil mengerjakan tugas. Pokoknya senang dan duka ketiganya selalu lalui bersama, selama beberapa tahun ini.
"Aku akan merindukanmu, Honey." Suara Jenna terdengar sendu.
"Tidak ramai tanpamu, Teresa." Anne tak kalah memelas.
"Girls ... tolong, jangan bersedih. Kalian membuatku sedih juga."
Suara rengek tangis ketiga perempuan itu terdengar seperti paduan suara. Padahal tidak ada linangan air mata yang keluar dari pelupuk. Namun, ketiganya begitu mendramatisir. Sonny memutar bola matanya. Bekerja dengan para perempuan, terkadang ia ikut terbawa suasana. Ngerumpi, misalnya. Lebih parah lagi saat mereka membicarakan lelaki teman kencannya, tidak ada habisnya dan ia hanya menjadi pendengar setia.
"Hei, Ladies. Kalian ini seperti anak kecil. Tolong, jangan menangis. Berisik. Sebentar lagi kita akan ada meeting. Jangan rusak make up kalian agar tetap tampil cantik, oke," tegur Sonny seraya membuang sampah ke tempatnya. Ia tahu para wanita itu sangat hati-hati menjaga penampilan dan make up-nya. Fashion number one untuk ketiganya. Harus terlihat sempurna apa pun keadaannya.
Pernah Sonny datang ke pesta bersama ketiganya, menjemput ke apartemen, dan dihajar habis-habisan karena harus menunggu selesai berdandan selama berjam-jam. Namun, tidak dipungkiri jika hasil cantik maksimal.
***
Happy New Year 2023🥳🥳🥳
Selamat menyambut hari di tahun baru dan cerita baru. Semoga kalian suka sama ceritanya, ya. Dan jangan lupa vote~komennya.😘😘
1 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top