Chapter 16
Sesaat aku melupakannya, sesaat lagi aku mengingatnya dan seperti itu terus-menerus. Tanpa, aku sadari aku kembali menghamburkan puzzle yang sudah tersusun setengahnya.
***
Setelah selesai makan, aku menuju kamar, membuka laci meja kerja yang berada di dekat lemari berwarna putih dan mengambil buku diary berwarna cokelat muda. Sudah dari beberapa waktu lalu, aku mulai menyukai kegiatan ini sebelum tidur. Menulis setiap lembaran momen yang aku alami dalam satu hari ini, tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
***
Tommy POV
Saat aku terbangun dari tidurku, aku tidak begitu bingung dengan tempat tidur dan ruangan yang tak begitu asing lagi. Aku mencoba beradaptasi lagi dengan ruangan ini, mencoba agar aku nyaman tidur ditempat ini. Seseorang sedang menuju ke ruangan ini dan aku yakin itu adalah dokter atau suster yang akan memeriksaku.
Tapi, dugaanku salah. Ratna, aku melihat Ratna yang masuk di ruanganku, kenapa dia bisa berada disini? Padahal aku tahu pasti, aku kemarin atau saat aku membuka mata, aku tidak ada menelepon siapa pun. Aku melihat wajah khawatirnya, aku mencoba mencari tahu, kenapa dia memasang ekspresi seperti itu?
Ah, apa mungkin dia baru saja bertemu dengan Rendy? Dan dia mengetahui penyakit Rendy.
"Kenapa Ratna?" tanyaku memastikannya.
"Tidak, tidak ada apa-apa," aku tahu dia sedang berbohong.
"Jangan bohong, Ratna. Katakan padaku, ada apa?"
"Aku tidak--" aku langsung memotong kalimatnya, aku tahu dia pasti bakal berbohong lagi.
"Aku tahu ada yang kamu sembunyikan, ada apa Ratna? Katakan padaku dan aku tidak ingin kamu berbohong," ucapku mendesak.
Aku baru menyadarinya, dia pasti menangis sebelum masuk ke ruangan ini. "Apa kamu habis menangis?" dia menggeleng, padahal aku sangat yakin dia baru saja menangis.
Aku terus mendesaknya, tapi tak ada jawaban yang memuaskan untukku. Kecewa, yah aku kecewa dengannya yang tidak jujur. Tapi, aku mengerti perasaannya jika dia baru mengetahui penyakit Rendy, pasti membuatnya terpuruk.
"Pulanglah, Ratna. Istirahatlah, aku tidak ingin melihatmu sakit."
Dia menggeleng dan dia menggenggam tanganku.
"Apa kamu masih sakit, Tommy?" pertanyaan itu tidak pernah terpikirkan olehku.
"Sudah mendingan, saat kamu datang menjenguk aku rasa tubuhku sudah mulai sembuh," jujur tubuhku masih terasa sakit, aku juga masih sesak. Disisi lain saat dia datang, aku merasa senang dan aku merasa semangat untuk sembuh. Karena, aku ingin melindungi Ratna, sampai Rendy sadar dari tidur panjangnya.
"Aku akan menunggumu disini."
Aku memalingkan wajahku, tidak ingin melihatnya dan aku terus menyuruhnya pulang, aku tidak ingin membuatnya sakit. Sungguh cukup aku yang menderita, jangan sampai dia juga menderita.
Akhirnya dia menuruti apa kataku, dia pulang dan aku lupa menanyakannya dia pulang bersama siapa. Tubuhnya menghilang dibalik pintu, suara sepatunya semakin samar terdengar. Dia sudah pergi dan aku merasa kesepian lagi di ruangan ini. Aku yang menyuruhnya pulang, lalu kenapa aku yang merasa bersalah? Ah, ini tidak benar.
Cukup lama aku menatap langit ruangan, cukup lama pula aku merasakan diriku yang lemah. Saat itu pula, suara sepatu pria menghentak dilantai lorong depan ruanganku, arah sepatu itu mengarah ke ruanganku. Apakah itu suara sepatu dokter? Tapi, bukankah dokter tadi sudah ke ruanganku dan dia sudah memeriksaku bersama suster. Lalu, ini suara sepatu siapa?
Per sekian detik kemudian, gagang pintu ruangan di putar, sebentar lagi aku akan melihat siapa yang akan datang.
"Papa?"
Pria paruh baya itu, kenapa dia datang ke tempat ini? Apa yang ingin dia katakan? Padahal waktu itu, waktu aku kembali dia mengusirku, sewaktu dulu bukankah aku yang ikut dia dan berpisah dengan Mama. Tapi, sekarang kenapa dia kembali lagi.
"Bagaimana Papa bisa tahu aku ada di rumah sakit ini?"
"Anakku, kamu dan saudaramu itu tidak jauh berbeda. Apakah kalian berdua janjian untuk sakit dan menjadi laki-laki yang lemah," dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Aku tanya ke Papa. Bagaimana Papa bisa tahu aku berada di rumah sakit ini?"
"Kenapa? Apakah kamu tidak senang, jika aku menjengukmu? Dan menjenguk adikmu itu juga," pria itu dia berdiri di sebelahku, memegang infus, sembari melihatku. Matanya penuh simpati, simpati yang penuh kebohongan.
"Apa kau datang untuk meminta izin kepadaku? Agar kau boleh menikah lagi. Kalau iya, sebaliknya kau pergi dan jangan menemuiku lagi atau menemui Rendy."
Aku sangat geram dengan pria yang ada dihadapanku sekarang. Mungkin kalau aku sembuh dan tidak lemah seperti saat ini, dia sudah aku hajar habis-habisan. Aku tidak peduli lagi. Karena, saat aku ingin peduli dengannya dia tak pernah peduli denganku.
"Tebakanmu salah. Aku datang untuk menemuimu, untuk bertanya tentang satu hal."
Senyuman licik itu, aku tahu apa maksudnya.
"Apa kau baru bertemu dengan seorang wanita? Dan apakah wanita itu kekasih adikmu? Apakah kau ingin merebutnya?"
Sialan! Berengsek! Apa yang dia maksud dengan merebut kekasih? Tahu apa dia tentang kehidupanku?
"Siapa yang kamu maksud merebut kekasih orang? Kamu salah besar, Papa. Aku tidak pernah merebutnya dan tidak akan pernah."
Dia berjalan meninggalkan sisi ranjangku dan berjalan kearah sofa, pria licik ini mau apa dia sebenarnya.
"Mamamu ada disini. Bukankah waktu itu kamu mengatakan menyesal ikut denganku dan ingin kembali ke Mamamu yang hampir gila itu. Aku bisa menebaknya sekarang dengan kondisi anak-anaknya yang seperti ini, kurasa Mamamu akan kembali depresi dan sekarang dia akan menjadi gila sungguhan," dia menyudahi omongannya itu dengan senyum yang begitu licik. Jika, aku terlahir kembali dan dapat memilih, aku tidak akan memilih Papa seperti dia.
Beberapa tahun lalu, aku memang sempat mengatakan ingin kembali lagi ke Mama. Tidak ingin bersama Papa, aku juga mengatakan hidupku akan jauh bahagia dengan Mama dibandingkan dengan Papa. Aku mengatakan itu bukan tanpa sebab, aku mengatakan itu karena Papa sudah berulang kali menghabiskan hartanya untuk bermain wanita. Bukan di simpan untuk kehidupannya kelak.
"Aku tidak akan--"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top