Chapter 14

Aku menyusun puzzle memori kenangan itu,  mencoba merangkainya menjadi satu. Apa yang terjadi dalam hidupku di masa lalu?

***

"Hmmm,  aku tidak--" aku mencoba merangkai kata-kata agar bohongku tidak terlihat,  tapi sebelum aku selesai merangkainya dia sudah memotong kalimatku.

"Jangan berbohong kepadaku, Ratna."

"Aku..."

Dia memalingkan wajahnya,  aku melihat sisi kecewa pada dirinya. Mungkin karena aku berusaha berbohong atau apa aku tidak mengerti tentang kecewa pada dirinya. Aku memegang tangannya dan dia memegang tanganku lebih erat,  seakan dia tidak ingin aku pergi jauh darinya.

"Tommy,  apa kau bisa berjanji padaku akan segera sembuh?" tanyaku padanya.

"Aku janji, Ratna. Asalkan kau tidak membuatku kecewa dengan kau berbohong seperti tadi," dia menjawab pertanyaanku dengan suara yang parau dan dia juga menjawab pertanyaanku yang ada dalam pikiranku tadi. Dia kecewa karena aku berbohong.

"Baiklah."

"Kau pulanglah,  Ratna. Jaga kesehatanmu dan beristirahatlah," dia memperhatikan kesehatanku,  padahal dia sedang sakit seperti ini.

"Aku disini,  menunggumu sembuh."

"Kau keras kepala. Tidak akan adil jika kau hanya menungguku saja, sedangkan Rendy kau tidak menunggunya."

Dia tersenyum lemah dan aku mengerti maksud dia apa. Selama ini,  aku sadar saat Tommy kembali aku seolah-olah melupakan Rendy,  aku selalu bersama Tommy tanpa memikirkan Rendy. Bahkan,  saat Tommy sakit aku ada di sampingnya sedangkan Rendy aku tidak berada di sampingnya.

"Tapi,  kamu tahukan Tommy kalau aku tidak akan kuat melihat kondisi Rendy yang sekarang ini," aku mencoba memberikan alasan.

"Aku mau tidur Ratna. Sebaiknya,  kamu pulang sekarang. Kamu pasti banyak kerjaankan dan kamu harus istirahat. Bukankah, kamu ingin aku segera sembuh,  tapi jika aku tidak beristirahat sekarang, bagaimana aku akan sembuh?" dia menjelaskannya dan aku tahu kalau dia sedang mengusirku secara halus,  tapi jika dipikir dia memang ada benarnya. Aku akan pulang sekarang,  setidaknya aku sudah melihat kondisi Tommy dan mengetahui penyakitnya.

"Iya,  Tommy. Segeralah sembuh," aku menghela nafasku dan keluar dari ruangan Tommy.

Serasa sangat berat saat aku melangkahkan kakiku, entah kenapa aku masih tidak ingin pulang dari sini? Rasanya aku ingin menginap saja. Aku berjalan dengan lambat dan aku mengambil ponselku, menghidupkannya. Aku mematikan ponselku,  sebab aku tidak ingin ada yang menggangguku hari ini. Saat ponsel telah dalam mode menyala,  beberapa pesan dan panggilan banyak yang masuk. Salah satunya dari Abangku. Aku memencet nomor teleponnya dan menelepon balik ke dia.

"Hallo...  Dek kamu dimana sekarang?" dari nada bicaranya,  aku tahu dia sedang khawatir.

"Aku di rumah sakit--"

"Apa kau di rumah sakit? Kenapa?  Apa kamu sakit? Apa yang terjadi denganmu?"

"Tidak!  Bukan aku yang sakit,  tapi Tommy, dia yang sakit."

"Tommy? Apa penyakitnya kambuh lagi?"

Aku mendengar suara Abangku dipelankan saat kalimat terakhir.

"Hallo,  Bang. Apa Abang tahu penyakitnya Tommy?"

"Oh tidak,  Dek. Abang tidak tahu. Sekarang Abang jemput kamu, ya."

Tuuuutttt... Tuuutttt...

Nada sambungan terputus.

***

Aku menunggu Abangku, cukup lama untuk aku menunggu dia. Di kursi panjang dekat parkiran, aku memandangi orang-orang yang berlalu-lalang,  melihat pasien-pasien yang baru saja pulih atau pasien yang baru saja masuk ke rumah sakit. Suasana rumah sakit yang cukup ramai. Terkadang aku juga merasa kasihan jika melihat anak kecil yang seharusnya mereka ceria dan bermain bersama teman-temannya harus tertidur lemas di ranjang keras milik rumah sakit, atau sanak keluarga yang ditinggalkan oleh keluarganya yang lain,  disaat seperti itu aku takut jika orang yang aku sayang mereka harus pergi meninggalkan aku.

"Dek,  sudah nunggu lama," refleks aku memukul tangan yang tadi menepuk pundakku. "Wah,  sangking kagetnya sampai pukul tangan,  Abang ya," aku hanya tertawa kecil.

"Habis Abang ngagetin sih,  kan nggak lucu."

"Kamu ini,  Dek. Kebanyakan ngelamun aja,  emangnya bakal kenyang yah kalau ngelamun terus."

Aku menggeleng.

"Tidak,  Abang. Tapi,  aku juga tidak ngelamun. Aku hanya melihat sekelilingku saja."

"Bagaimana kondisi mereka?"

"Tidak terlalu baik dan juga tidak terlalu buruk," aku mengatakan ini sambil melihat Abangku yang duduk di sebelah kananku.

"Aku harap mereka segera sembuh."

"Aku juga berharap seperti itu."

Saat itu aku habiskan waktuku untuk mengobrol dengan Abangku,  mengingat lagi tentang yang lalu-lalu, mengingat saat aku harus ditinggal ke dua orangtuaku, saat itu dimana aku masih belum mengerti tentang banyak hal, dimana aku selalu bertanya, "Apa mereka sedang tertidur?" aku tidak mengerti hal itu. Waktu itu pun aku sangat takut berada dirumah sakit,  aku sangat takut sehingga aku tidak ingin bertemu dengan rumah sakit,  tidak ingin berada di sekitar rumah sakit.

Untuk ini,  aku kembali ke rumah sakit, untuk selalu berada di dekat orang yang aku sayang,  di dekat mereka yang membutuhkanku. Sekarang, aku bagaikan termakan omonganku sendiri,  bahwa aku tidaka akan pernah berada di rumah sakit atau berkunjung ke rumah sakut lagi.

"Dek,  ayo kita pulang. Cuacanya mendung."

Aku menatap kearah langit yang kini sudah di selimuti oleh mendung yang gelap. Mendung ini mengingatkan aku pada suatu kejadian beberapa waktu lalu. Di saat hujan tiba-tiba turun dengan derasnya dan menyebabkan dia terbaring di ranjang yang tak nyaman itu.

"Ayo,  Dek."

Aku mengangguk dan aku memantapkan diriku untuk melangkah pergi dari rumah sakit ini, mungkin dari sini aku harus menata lagi emosiku.

Aku akan segera sembuh , Ratna. Aku akan menjagamu lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top