Chapter 13

Bagaikan jatuh ketiban tangga.
Ah, inilah yang sedang aku rasakan saat ini. Tidak ada yang tahu takdir Tuhan itu seperti apa? Tapi, inilah yang terjadi dalam hidupku. Semua berjalan begitu saja.

***

Hari ini aku harus bersiap menerima semua kenyataan pahit tentang penyakit Tommy, sekarang dirumah sakit ini ada dua orang yang terkulai lemah dan aku tidak bisa melakukan apa pun.

"Tommy dia mengalami penyakit jantung," dia melirihkan bagian penyakitnya, namun aku masih bisa mendengarnya.

"JANTUNG?" Teriakku saat aku tahu penyakit yang diderita Tommy.

"Ya, penyakit jantung koroner," dia mempertegas penyakit jantung jenis apa yang diderita Tommy.

Dadaku sudah mulai sesak dan aku tidak bisa menahan air mataku lagi, aku sangat tahu tentang penyakit ini, terlebih tentang penyakit jantung koroner. Aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, ini adalah penyakit yang berbahaya. Bagaimana mungkin aku menerima dua kenyataan pahit seperti ini? Pertama tentang Rendy yang sekarat dan sekarang Tommy yang juga sedang sekarat.

"Maaf jika informasi ini membuat anda terpuruk," Sam mengucapkan kata yang membuat aku seperti orang yang menyedihkan di dunia ini.

"Iya, sebaliknya informasi ini sangat membantuku."

Aku pamit keluar dan pergi menemui Tommy lagi, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kesempatan untuk aku selalu di dekat Tommy, biasanya dia yang selalu di dekatku. Kini giliranku.

Aku berjalan kembali ke bangsal 208 Ahmad Yani dan sebelum itu, aku teringat dengan Rendy. Aku memutar balik arahku dan menuju ruangan Rendy, kebetulan sekali rumah sakitnya sama.

Saat aku berjalan menuju ruangan Rendy, aku melihat dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. Aku segera menghampiri dokter yang umurnya kira-kira 50 tahunan, naluriku mengatakan aku harus mengetahui apa penyakit dari Rendy. Biarlah jika aku mengetahuinya dan aku terpuruk, itu tak apa. Sebab, sekarang saja kondisiku sudah menyedihkan dan sudah terpuruk, jika sudah basah kenapa aku tidak langsung menyelam saja.

"Dokter," panggilku saat jarak antara aku dan dokter hanya sekitar 5 langkah.

"Iya, apa ada yang bisa saya bantu."

Aku mengangguk dan mendekat kearah dokter itu. "Dok, saya mau mengetahui penyakit yang dideritanya. Rendy, ya dia sakit apa ya dok?" tanyaku menahan diriku agar tidak terbawa alur emosiku.

"Anda ini siapanya Rendy? Keluarganyakah."

"Saya teman saudaranya, Tommy. Saya ingin mengetahui penyakitnya, dok."

"Baiklah, mari ikut saya ke ruangan, saya akan menjelaskan pada anda."

Aku mengikuti langkah dokter menuju ke ruangannya, saat aku memegang pintu ruangan itu dinginnya benda itu dan hawa dalam ruangan menyelimuti tubuhku.

"Silakan duduk."

"Jadi, dok?"

"Saya harap anda tidak terlalu memikirkan hal ini dan anda bisa membantu memulihkan ingatan Rendy."

"Memulihkan ingatan? Maksud dokter apa?" tanyaku heran.

"Baiklah akan saya jelaskan."

Aku mengatur dudukku senyaman mungkin.

"Rendy mengalami benturan yang cukup keras dibagian otaknya, yang menyebabkan Rendy mengalami Amnesia Permanent dan kemungkinan sembuhnya hanya beberapa persen saja."

Penjelasan dokter yang walaupun singkat, namun jelas ini sudah cukup membuatku semakin tenggelam dalam duka kelam. Belum cukup tentang kondisi Rendy yang semakin memburuk sebab sekarang dia mengalami Amnesia dan tentang kondisi Tommy yang mengalami jantung koroner. Ah, apa ada hal yang lebih parah lagi dari ini?

"Terimakasih dok atas penjelasannya, kalau begitu saya izin keluar dok."

Aku keluar dengan suhu tubuhku yang dingin. Aku berjalan menuju ruangan Rendy, aku ingin melihat kondisinya. Aku tak pernah berpikir hal lain lagi saat ini.

"Bagaimana mungkin aku bertahan disaat seperti ini?"

Sampai juga aku di depan ruangan pintu yang bercat warna putih, gagang pintu yang dingin menahanku sebentar untuk bertemu dengannya. Aku melepaskan lagi tanganku dari gagang pintu itu. Aku belum siap. Tapi, gerakan pikiran dan tanganku berbeda, tanganku sudah membuka pintunya dan kakiku telah melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

"Apakah aku bisa melihat kondisimu yang seperti ini, Rendy?"

Aku menghampiri sesosok laki-laki yang ada diranjang itu, matanya masih terpejam seperti sebelumnya, tangannya masih diam tak bergerak. Apa yang aku lakukan? Apa yang bisa aku rasakan saat ini? Aku tak mengerti.

"Rendy, kumohon bangunlah. Aku ingin bertemu denganmu dan bercanda denganmu lagi," mataku sudah mulai panas, aku tidak bisa menahan air mataku. Aku harus pergi dari sini. Mungkin aku harus ke ruang Tommy lagi.

Aku meninggalkan ruangan Rendy, berjalan menelusuri jalanan rumah sakit, hilir mudik orang dan para keluarga yang menunggu sanak saudaranya yang sakit sudah menjadi pemandangan yang biasa di rumah sakit.

Bangsal 208 Ahmad Yani.

Aku telah sampai disini di depan ruangan Tommy, aku menghapus air mataku, agar Tommy tidak melihatku bersedih.

"Tommy, bagaimana keadaanmu? Apa masih sakit seperti yang kemarin?" tanyaku pelan, walaupun aku tahu kalau pertanyaanku ini adalah pertanyaan yang bodoh. Buat apa aku bertanya seperti itu, padahal aku tahu kalau dia tidak sedang baik.

"Baik, Ratna. Saat kau menjengukku, aku bersemangat untuk sembuh. Kamu habis nangis, Ratna. Kenapa?" tanyanya saat melihatku, dia bisa menebak bahwa aku habis menangis, itu tandanya jejak air mataku masih tersisa.

"Tidak. Aku tidak menangis."

"Jangan bohong, apa kamu bertemu dengan Rendy?"

Kenapa dia tahu segalanya tentang yang apa aku lakukan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top