Chapter 10
Wajahnya yang begitu damai membawaku ke dalam ketenangan, yang membuatku terbuai dengan harmoni ingatan masa lalu aku dan dia. Soal foto yang baru saja aku temukan aku ingin sekali menayakan perihal foto itu. Tapi, aku masih belum punya keberanian untuk saat ini, aku terus meneguk minuman yang ada dihadapanku.
"Apa kau ingin pulang, Ratna?" tanyanya membuka obrolan kembali, setelah sepersekian detik hening.
"Hmmm, iya."
"Baiklah, kau tunggu saja dulu aku akan mengambil kunci motorku," ucapnya, lalu berdiri dan pergi.
Aku menunggunya di teras depan, memandang langit pagi yang tergores awan putih yang latarnya warna langit biru. Beberapa menit kemudian dia keluar, dia sudah mengenakan jaket dan membawa dua helm.
"Ini kamu pake helmnya."
Aku dan dia mulai berjalan menuju rumahku. Di sepanjang jalan, udara pagi masih terasa dingin dan jalanan yang masih basah. Semua itu, terasa seperti kenangan beberapa waktu silam, kenangan yang masih terukir jelas di benakku dan tidak bisa aku lupakan begitu saja. Entah bagaimana, secercah batinku selalu ingin terus berada di dekat laki-laki yang berada di depanku. Tapi, batin yang lain menginginkanku dengan laki-laki yang tertidur pulas di rumah sakit.
"Ratna." panggilnya.
"Hmmm."
"Apa kau tadi dirumahku baik-baik saja."
"Iya, ada apa?"
"Ah, tidak sepertinya ada yang ingin kau tanyakan. Tapi, kalau tidak juga tidak masalah" Ucapnya.
Setelah dia mengucapkan itu tidak ada lagi kalimat dari mulutku atau pun mulutnya, semua diam seperti semula.
Aku teringat lagi tentang foto yang waktu tadi aku temukan di sekumpulan foto keluarga, fotonya yang sedang merangkul bahagia Rendy. Ada hubungan apa dia dan Rendy?
Pikiranku terus menggangguku, hingga sampai rumahku pun aku masih memikirkan foto itu. Apa aku tanyakan saja yah?
Dia mengantarku hingga depan rumah dan dia pamit langsung pergi ke rumah sakit. Pikiran tentang pertanyaan ku soal foto itu, sudah tidak bisa aku tahan lagi. Dia yang sudah membalikkan badan dan hendak pergi, aku memanggilnya dan dia berhenti melangkahkan kakinya.
"Ada apa Ratna?"
"Hmmm, Tommy aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu."
"Sesuatu? Kau ingin menanyakan apa Ratna?"
Dia melangkahkan kakinya, menuju tempatku berdiri dan dia sudah siap untuk mendengarkan pertanyaanku. Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tasku, mencari foto yang sudah sempat aku simpan di galeri ponselku dan menunjukannya ke Tommy.
"Soal ini."
Dia hanya diam seribu bahasa dan berpikir bagaimana bisa aku mendapatkannya.
"Bagaimana bisa-" belum sempat dia selesai bertanya aku langsung memotong pembicaraanya.
"Kau tak perlu tahu Tommy, aku dapat darimana. Tapi, kau harus kasih tahu ke aku, ada hubungan apa kau sama Rendy?" ucapku dan menanyakan yang dari tadi ada di dalam pikiranku.
Dia tetap diam, aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Apa kau tak ingin memberitahuku, Tommy?"
"Ya, aku akan memberitahumu. Tentang hubunganku dengan Rendy."
Aku hanya diam, dan menunggu kisah yang akan dia ceritakan.
"Dia saudara tiriku."
"Saudara tiri?"
"Ya, dia adalah saudara tiriku, maksudku dalam artian dia bukan benar-benar saudara tiriku."
"Maksudmu, tolong di perjelas lagi Tommy."
"Baiklah, aku akan cerita. Dia sebenarnya saudara kandungku, tapi aku selalu menganggapnya saudara tiriku. Ada satu hal yang membuatku menganggapnya seperti itu. Walaupun, Papa dan Mama melarangku menyebutnya saudara tiri," dia menghela nafas.
"Apa yang membuatmu menyebutnya saudara tiri?" tanyaku penasaran.
"Hah, dia sudah membuat kedua orang tuaku, pisah. Waktu itu sebelum dia menjadi seorang yang dewasa, seperti ini. Dia dulu seorang remaja yang labil. Kau tahu dia sering sekali membuat kedua orangtuaku, bertengkar hebat dan membuat mama tertekan batinnya. Masalah soal itu, aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Setelah itu, gugatan cerai terlontar dari bibir manis mamaku dan papaku menyetujuinya. Aku ikut papa dan dia ikut mamaku," dia mulai mengingat serpihan cerita kelam di masa lalunya.
"Hmmm, Tommy. Tapi, bagaimana bisa dia jadi Rendy yang sekarang?"
"Dia dulu urak-urakan, membuat mamaku semakin tertekan batinnya. Dia benar-benar berubah setelah, mamaku meninggal. Dia tahu kalau mama meninggal karena ulahnya, semenjak itu dia berubah. Tapi aku tetap menganggapnya saudara tiri walaupun kami berdua satu darah daging," ucapnya.
Kami saat itu sudah duduk manis, di pelataran taman depan rumahku, sambil bercerita tentang masa kelam dua saudara itu.
"Lalu, bagaimana kau dan Rendy, sekarang?" tanyaku lagi.
"Huft, kau tahu aku sebenarnya ingin sekali, seperti dulu merangkulnya penuh bangga dan kebahagiaan. Tapi, entah kenapa saat melihatnya seperti ini, hatiku terasa perih. Apalagi saat kau berharap dia tiba-tiba sadar, saat kau tak mendengarnya, aku selalu berbisik kepadanya, agar dia cepat bangun dan menemuimu," ucapnya lirih.
Aku ingin menanyakan banyak hal, mengenai dirinya dan Rendy. Tapi, saat aku mau bertanya, ponselnya berdering.
Telepon.
Dia mengangkat telepon, nada menjawabnya seperti sedang khawatir. Dari siapakah itu? Saat dia selesai berbicara dengan orang yang di seberang sana. Dia langsung pamit kepadaku, langkahnya tergesa-gesa, raut wajahnya menunjukan kalau dia saat itu tidak baik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top