Bab 8
Harap-harap cemas, Valentina sembunyi-sembunyi membuka ponsel untuk mengintip apakah ada notifikasi dari si mata empat. Sayangnya, sampai matahari merangkak ke ubun-ubun pun tidak ada tanda-tanda Raditya mengomentari masakannya atau catatan kecil yang ditinggalkan di atas meja.
Di sisi lain, dia sudah mengeluarkan semua tenaga, pikiran, dan hati untuk menulis sebuah surat yang bahkan belum tentu dikirim ke pacarnya sendiri, Brian. Valentina terpaksa memberi diskon besar-besaran atas harga dirinya kepada Raditya supaya lelaki itu memaafkan insiden coretan mobil.
"Dek mahasiswa!" teriak seseorang. "Mana siswa nersnya!"
Tergopoh-gopoh, Valentina keluar dari kamar mandi dekat dengan salah satu bed pasien. Dia langsung mendekati seorang perempuan berkacamata dengan gulungan rambut bak pegawai bank seraya berkata,
"Maaf tadi saya ke kamar mandi."
"Ambilin resep kateter di farmasi, nanti kamu pasang ya!" perintah perawat itu memberikan secarik kertas resep bertuliskan 'folley catether nomor 16'
"Iya, Mbak!"
Sedikit mempercepat langkah kakinya, Valentina bergegas ke bagian farmasi yang berada di lobi UGD bersebelahan dengan loket pendaftaran. Tak sengaja dia bertemu Raditya keluar dari lift yang berada di belakang instalasi obat dan alat kesehatan itu. Untuk beberapa detik, pandangan mereka bertemu tapi Raditya berlalu begitu saja seperti mereka tidak saling kenal. Valentina berpaling sembari mengerucutkan mulut meniti punggung lebar Raditya yang tertutup scrub merah maroon.
"Kenapa dia enggak bilang apa-apa? Senyum dikit kek, ngedipin mata kek. Dia pikir aku ini siapanya? Is--" Valentina membungkam mulutnya sendiri hampir keceplosan menyebut status yang disembunyikan dari semua orang. "Awas aja bilang enggak enak," desisnya lagi lalu melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Setelah mengambil selang urin yang satu paket dengan kantung penampungnya, Valentina memasang alat tersebut ke salah satu pasien laki-laki berusia 68 tahun dengan keluhan kencing tidak lancar dan sedikit berbuih. Memasukkan selang karet kekuningan itu dengan bantuan gel sampai ke kandung kemih. Matanya mengawasi cairan kemerahan yang langsung keluar dari sambungan selang menuju kantung urin.
Cairan kemerahan bak sirup marjan itu hampir memenuhi kantung. Cepat-cepat Valentina mengeluarkan dan menampungnya ke dalam urinal lalu membuang ke kamar mandi. Dia langsung melaporkan ke perawat senior, berbarengan dengan sosok tinggi yang mendiaminya sedari subuh datang menghampiri pasien lansia itu.
Seberkas senyuman sehangat matahari pagi yang kaya akan vitamin D terpancar begitu saja di wajah tegas Raditya. Valentina mendekat, hendak menguping sekaligus mencuri-curi pandang tuk mencari perhatian atas hasil kerja kerasnya subuh tadi. Mana mungkin Raditya melewatkan sarapan, batin Valentina.
Raditya si Raja tega adalah lelaki disiplin terhadap waktu dan kehidupannya begitu teratur seperti jadwal kegiatan anak SD. Termasuk masalah sarapan yang dipuja-puja sebagai sumber energi utama dibanding makan siang. Jika bukan dokter, rasa-rasanya Raditya lebih cocok menjadi seseorang yang mengiklankan minuman berenergi di TV, pikir Valentina.
"... Jadi sebelumnya Bapak punya riwayat darah tinggi? Sering berobat ke dokter atau enggak?"
Raditya menyentuh pergelangan nadi pasien itu lalu berpaling ke arah Valentina. "Tensi?"
"Hah! Eh, eng anu... 180/100, Dit, eh Dok!" jawab Valentina gelagapan.
Anjir, kenapa malah hah heh hah heh sih aku!
"Saya jarang ke puskesmas buat berobat, Dok! Saya beli sendiri obatnya di apotik," tutur pasien. "Saya lupa namanya, pokoknga tabletnya putih harganya sepuluh ribuan satu strip."
"Bawa obatnya? Biar saya lihat," pinta Raditya yang dibalas gelengan kepala. "Oke, kalau begitu sembari kita tunggu hasil cek darah dan urin, Bapak. Saya rencanakan untuk CT-Scan daerah kandung kemih sampai area kedua ginjal buat melihat di mana sumber perdarahan karena pipisnya berwarna merah."
"Jadi, saya sakit apa, Dok?"
Raditya kembali melempar tatapan ke arah Valentina. "Menurut kamu?"
"Hah? Anu ... gagal ginjal? Tapi enggak, nefrolitiasis? Prostat?"
Bibir Raditya naik sebelah yang berubah seper sekian detik menjadi senyum ramah saat berpaling ke pasiennya. "Untuk saat ini, kemungkinan ada masalah peradangan di ginjal, Pak. Tapi, bisa jadi juga ada peradangan di prostat. Selama ini Bapak sering minum air putih?"
"Ya, agak jarang sih, Dok. Saya sukanya jamu," jawab pasien itu. "Tapi, buat kencing nyeri apa kemungkinan ada batu ya, Dok? Dulu waktu muda saya pernah kena batu ginjal."
"Nah itu, kemungkinan muncul batu lagi ditambah Bapak sering minum jamu. Nanti kita bisa memastikan diagnosanya setelah melihat hasil CT-Scan."
"Baik, Dok!"
Raditya meninggalkan pasien itu sementara Valentina mengekorinya dan berbisik, "Jadi, yang mana yang bener, Di eh Dok?"
"Dek, kamu pasang infus ke pasien itu ya!" perintah salah satu perawat sebelum Raditya menimpali pertanyaan Valentina.
###
Curut : Dit, enggak ngomong apa gitu?
Curut : kn aku udh minta maaf, buatin masakan kesukaan kamu juga.
Curut : Dit, pulang jam berapa? Mau bakso?
"Baru gitu aja sok caper," desis Raditya membaca pesan teks Valentina yang sudah mirip bom atom.
Sejak pagi sampai siang, gadis itu tak henti-hentinya mengirim pesan yang isinya sama semua. Memang aneh bin ajaib, subuh tadi dia sudah mendapati meja makan tak kosong seperti sebelumnya. Nasi dalam magic com, cap cay kuah yang masih hangat walau potongan sayurnya tak estetik, hingga segelas teh hangat serta secarik surat yang diselipkan di sana.
To : Suamiku, Raditya
Ini sarapan pagi kamu. Aku tahu mungkin ini enggak seenak ibuku buat, tapi setidaknya aku udah usaha buat bikin kamu seneng. Aku minta maaf ya, Suami. Mau kan memaafkan istri kamu yang kadang enggak bisa memfilter pikiran?
Btw, jangan bawa dokter Julia lagi dong.
Salam tak sayang,
Tina.
Dia tahu perubahan mendadak seorang Valentina akibat gertakan Raditya yang ingin mengadu ke dosen. Untuk beberapa saat Raditya menikmati betapa menyenangkan mengerjai Valentina seperti ini. Sejurus kemudian, muncul barisan ide yang menelusup masuk ke dalam sanubari membuat wajahnya semakin sumringah.
Dia memilih tak membalas pesan dan memandang kotak bekal yang disiapkan Valentina di atas meja tamu tadi pagi. Tiba-tiba pintu ruang dokter terbuka menampakkan Julia yang terlihat kelelahan sambil memijit tengkuknya.
"Duh, capek banget!" keluh gadis berbibir tebal itu. "Eh, kamu kok tumben bawa bekal, Sayang?"
"Iya, tadi dibawain pembantu."
Tubuh langsing bak gitar Spanyol itu duduk di sebelah Raditya, menyandarkan kepala sebagai tempat ternyaman di dunia. Belum lagi aroma tubuh Raditya yang tercium segar dan manis, entah parfum apa yang dikenakannya kali ini. Mengingatkan aroma iris yang dipadu dengan jeruk tapi ada sentuhan amber. Raditya yang berkelas sesuai dengan kepribadiannya yang perfeksionis.
"Kamu mau?" tawar Raditya.
"Kamu enggak makan emangnya?"
Laki-laki itu menggeleng. "Kamu dulu aja, aku gampang kok." Dia membuka kotak bekal berwarna biru laut memberikannya kepada sang kekasih dengan penuh Cinta.
"Aku makan ya," kata Julia menyendok nasi yang dicampur cap cay. Beberapa detik kemudian ekspresi cantik itu seketika berubah dan refleks memukul lengan kanan Raditya. "Dit, kok asin banget! Pembantu kamu mau kawin lagi ya!"
Yang dipukul tertawa terpingkal-pingkal, Raditya sudah merasakan betapa asinnya masakan Valentina. Maka dari itu seharian ini dia tidak membalas pesan dari sang istri karena tahu yang dinanti hanyalah pujian. Raditya tak pandai berkata manis apalagi pada perempuan yang tidak dicintainya.
Tanpa mereka sadari, kedua bahu yang tertutup skoret berwarna putih itu merosot kala mendengar komentar-komentar yang keluar atas usahanya pagi-pagi buta tadi. Dia menengadahkan kepala lantas melihat jari telunjuk kanan yang terbalut plester cokelat. Hatinya terasa seperti sedang ditusuk ratusan jarum. Nyeri menggerogoti tubuhnya, sesak memenuhi relung dadanya.
Ekspektasi memang tak seindah kenyataan dan dia sempat bergantung pada harapan itu. Dia mengira usahanya akan berbuah manis, justru omongan mereka yang masih membicarakan cap cay itu membuatnya menangis.
Valentina mengusap jejak bening itu dengan kedua tangan, berusaha tersenyum sekuat tenaga. Dia sadar untuk menghancurkan dinding pertahanan Raditya tak mudah. Bahkan ombak sekuat apa pun juga butuh waktu untuk mengikis karang.
Dia menyeret kakinya pergi meninggalkan ruang dokter, memilih kembali ke ruang P2 yang masih ramai daripada harus mendengar dua manusia yang tidak tahu berterimakasih. Sayang, semangatnya sudah terlalu cepat menghilang. Valentina mengedarkan pandangan ke ruang yang dipenuhi pasien dengan lesu.
Ponselnya bergetar, Valentina membuka notifikasi pesan masuk dari Raditya.
Monyet : gantian nanti aku yang masak. Kamu bersihin rumah.
Monyet : lain kali, sebelum masak, hapalin dulu antara garam sama gula. Kamu bikin aku darah tinggi lama-lama.
Monyet : Salam tak sayang, Suami.
"Apaan sih, bikin malu aja," gumam Valentina kala pipinya terasa panas.
Nefrolitiasis : batu ginjal
Btw, beberapa tindakan di atas aku ambil dari kasus di RL ya. Kalau ada yang salah, mohon koreksi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top