Bab 22

Seperti anak ayam, tiga mahasiswa itu berdiri sejajar seraya menundukkan kepala mendengar omelan yang seharusnya dilontarkan kepala ruangan. Entah salah siapa dan apa yang mereka lakukan hingga sang residen yang terkenal kejam itu menceramahi Valentina dkk masalah etika di rumah sakit. Sampai Dyas menyikut Valentina menyiratkan kalau dia tidak mengerti apa yang dipermasalahkan.

Valentina menyuruh Dyas diam daripada Raditya kebakaran jenggot dan bisa melaporkannya ke kepala ruangan yang sedang menghadiri rapat untuk akreditasi rumah sakit. Sementara Okin memajukan mulutnya tak terima harus bertemu dengan dokter yang pernah mempermalukannya di UGD. Sayang, hubungan dokter-perawat seperti mereka tidak akan pernah bisa dipisahkan sekalipun ingin memaki kesombongan sang residen. 

"Kamu juga Valentina!" tunjuk Raditya berkacak pinggang. "Kalian tuh di sini belajar bukannya malah peluk-peluk enggak jelas gitu!"

"Hah?" Valentina baru bisa menangkap maksud cecaran Raditya. "Oh ... gitu." Dia malah terkikik sendiri membuat dua temannya menoleh kebingungan. 

"Udah sana!" usir Raditya puas menceramahi mereka. 

Julia yang sedari tadi diam menghampiri Raditya seraya melipat tangan di dada memandang curiga sang kekasih yang dinilai terlalu ikut campur terhadap urusan mahasiswa perawat. Padahal, di depan mereka juga ada anak-anak koas yang lebih perlu mendapat bimbingan sesama dokter bukannya perawat. 

"Tumben? Habis makan apa kamu mau ngurusin bocil-bocil itu?" tanya Julia yang dapat didengar Valentina. 

Mendengar diejek seperti anak-anak otomatis bola mata Valentina membesar ingin melayangkan tendangan maut di pantat Julia. "Bocil? Dasar kamp--" 

"Sudah, enggak usah aneh-aneh," lerai Okin menarik Valentina menuju ruang mahasiswa sembari menunggu kepala ruangan. 

"Kalian kayaknya sensi banget sama dua dokter itu," timpal Dyas yang tidak memahami garis sejarah pertemuan Okin dan Valentina dengan dua residen yang dijuluki Romeo-Juliet rasa lokal. 

"Enggak sensi cuma pengen pites-pites sama ngeracunin mereka pakai racun tikus," kata Okin masih kesal. "Heran aku, wong awak dewe enggak kenal ae sok-sokan nyeramahi kene. Gendeng arek iku!"

(Heran aku, orang kita enggak juga sok-sokan menceramahi kita. Gila anak itu!)

"Hush, lambemu, Kin!"  tegur Valentina walau sebenarnya dia juga jengkel dengan sikap kekanakan Raditya. 

Kalau cemburu bilang aja kenapa harus nyeret dua temenku, batin Valentina ingin menendang pangkal paha Raditya. 

Sementara itu, Julia menyorot tajam ke arah wajah Raditya sambil membatin bahwa tidak semestinya dia mengurusi urusan anak-anak yang bukan berasal dari jurusan yang sama. Dia menggeleng pelan sambil tersenyum sinis kalau yang dilakukan Raditya itu hanya membuang-buang waktu. Padahal ada anak koas yang lebih penting ketimbang siswa ners seperti Valentina. 

Raditya berpaling mendapati ekspresi Julia seakan sedang mengorek isi pikirannya. Lelaki jangkung itu berdeham lalu berkata, "Kenapa liatin aku kayak gitu?"

"Aneh aja kamu ngomel sama mereka," jawab Julia sinis, "enggak biasanya."

"Ah masa?" kilah Raditya. "Aku biasa aja tuh."

"Yakin? Kamu enggak main di belakang aku kan?" terka Julia menyipitkan pandangan seolah sedang menyinari Raditya dengan laser panas. "Inget, Dit, kamu pernah melamar aku pas liburan di Malang." Gadis itu menunjukkan cincin perak yang melingkar di jari manisnya.

"Eh?"

Mampus, aku lupa!   

"Tinggal peresmiannya aja kan di depan orang tua kita?" sambung Julia mengingatkan. "Kamu bilang--"

"Jangan bicarakan hal itu di sini, Julia," sela Raditya gugup bukan main. Bagaimana dia bisa lupa kalau pernah mengajak Julia menikah? Buru-buru sel-sel dalam otak Raditya membongkar berkas memori tepatnya kapan dan di mana dia menjanjikan hal yang tidak mungkin dilakukan. Kalau sampai orang tuanya tahu, maka Raditya bisa dilempar ke Suramadu atau digantung di tiang bendera.

Sebelum Julia menimpali ucapan Raditya, lelaki itu bergegas pergi ke ruang dokter berpura-pura ingin ke toilet. Kala melintasi ruang mahasiswa perawat yang bersebelahan dengan ruang dokter, ekor mata sang residen kembali menangkap Valentina yang sedang sibuk bercengkerama dengan kedua teman sambil tertawa terbahak-bahak. 

Bisa-bisanya dia masih sempet ketawa, batin Raditya kesal. 

###

"Yes! Dapat kasus cholesistitis!" seru Valentina kegirangan setelah mendapat jadwal jaga sekaligus judul kasus untuk seminggu ke depan. Cholesistitis atau peradangan pada kantung empedu yang diderita pasien perempuan berusia 40-an disertai diabetes melitus dan hipertensi. Tapi, Valentina akan mengambil kasus utama cholesistitis sebagai laporan karena bosan dan juga sudah terlalu hafal dengan dua penyakit penyerta lainnya.

"Kamu jaga malam pertama ..." tunjuk Okin,"spesialis jaga malam beneran kan."

"Oh iya untuk tema penyuluhannya kita ambil gizi untuk penderita hipertensi gimana?" sahut Dyas memberi ide.

"Senam kaki diabetes aja," timpal Okin. "Itu bahan skripsiku kemarin."

"Hilih gayamu," cibir Valentina melihat Okin membusungkan dada bangga. "Ya udah, Dyas, biar kita pakai senam kaki diabetes tapi nanti Okin yang memperagakan. Kita diem aja di belakang bagian dokumentasi sama kosumsi, oke!"

"Sip, mantap!" Dyas cekikikan. 

"Kampret ... ya kalian bikin leafletnya lah, masa aku!" protes Okin lalu melihat Raditya melintas dari arah ruang dokter. Dia langsung menyikut Valentina dan menjaga jarak sekitar dua meter agar tidak disembur oleh dokter tukang ikut campur. Okin pura-pura tak melihat sementara Valentina malah mengamati Raditya dari atas ke bawah sambil menggerutu pelan.

Beberapa saat mereka bertemu tatap, Raditya melengos begitu saja seolah sosok perempuan yang kemarin dicumbuinya tak berarti di mata sekarang. Raditya melempar senyum sehangat mentari pagi ketika Julia keluar dari salah satu ruangan diikuti dua anak koas sambil membawa stetoskop. Dia yakin gadis itu baru saja melakukan visite harian menggantikan dokter yang bertanggung jawab menangani pasien. 

Valentina mengikuti arah jalan Raditya yang menghampiri Julia yang berbisik entah membicarakan apa. Dia mendengus kesal melihat dua manusia menyebalkan itu berada satu ruangan dengannya. Tak lama Julia meliriknya tajam seperti sedang menyuntikkan cairan kimia ke dalam tubuh Valentina menimbulkan gelenyar panas merasuk ke dalam tulang. Bak sinetron, Julia pergi dari ruangan itu dibuntuti Raditya yang memanggil-manggil nama si nenek lampir. 

"Selamet ... selamet ..." lirih Okin mengelus dadanya lega. "Setidaknya kupingku aman enggak perlu denger ceramah mereka lagi."

"Oh iya, Kin, nih!" Valentina mengeluarkan map merah berisi beberapa file absensi, nilai pre dan post conference, sampai lembar evaluasi mahasiswa. "Kamu kan lagi libur, sekalian ke kampus serahin ke dosen."

"Si kampret ..." gerutu Okin yang dibalas kedua temannya yang melayangkan pandangan tajam. "Iya-iya, gitu aja langsung ngamuk."

"Terus kamu print lagi deh buat di sini lembar absensinya dan yang lain, di rumah aku kehabisan tinta," sahut Dyas memberikan selembar uang dua puluh ribu. "Kembaliannya buat beli es."

"Rokok?" 

"Aku bilangin si Rapika biang loh!" ancam Valentina,

"Rafika weh! Rafika!" protes Okin. 

###

Valentina baru sampai di rumah ketika hari menjelang petang setelah terjebak kemacetan di daerah lampu merah Margorejo yang selalu menguras emosi. Salah satu pemberhentian sementara yang paling dibencinya apalagi kalau ada kereta api lewat bisa kebakaran jenggot dia menunggu lampu hijau. Setelah turun jaga pagi di ICU Anestesi, dia langsung ke kampus untuk mengembalikan dan meminjam buku sekalian mengerjakan laporan pendahuluan untuk minggu depan. Valentina tidak suka menunda-nunda waktu apalagi harus mengerjakan laporan kasus untuk presentasi kelompok besar. Kebetulan kelompoknya mendapat kasus pasien dengan gagal ginjal kronis yang disertai kardiomegali atau pembesaran jantung. 

Alhasil, sekarang tubuh Valentina serasa digebuk puluhan orang dan butuh tidur panjang untuk mengembalikan energi. Sayang, hari ini jadwalnya membersihkan rumah sekaligus masak ditambah Raditya mengirim pesan teks kalau ketika dia datang kondisi rumah harus bersih tanpa debu kalau tidak maka uang saku Valentina akan dipotong sampai sembilan puluh persen. 

"Dasar pelit," gerutu Valentina. 

Begitu sampai di rumah, gadis itu langsung berganti kostum dengan daster bercorak bunga berwarna merah mencolok dan tak lupa mengikat rambutnya tinggi setinggi harapannya akan kepastian perasaan Raditya. Diselingi musik Kpop untuk menambah semangat, Valentina menyiram bunga-bunga pemberian mertua dilanjut menyapu selagi menunggu nasi matang di rice cooker. Rencananya dia akan memasak ayam geprek sebagai makanan termudah selain mi instan. 

Hanya butuh potongan ayam yang dibaluri tumbukan bawang putih dan merica bubuk untuk dimarinasi kemudian dicelupkan ke adonan basah tepung serbaguna dan tepung kering sebelum masuk ke penggorengan. Rasanya Valentina ingin sungkem kepada para pencipta bumbu instan sehingga tak perlu repot-repot menghabiskan waktu di dapur. Manalagi dia sering terbalik antara ketumbar dan merica padahal Raditya sudah menunjukkan kalau biji merica lebih besar daripada biji ketumbar. Mungkin inilah alasan Tuhan menikahkan dirinya dengan Raditya sebagai penyeimbang kehidupan Valentina yang tidak tahu masalah dapur. 

Hentakan musik Itzy membuat gadis itu menggoyangkan badan ketika mengepel lantai tak menyadari ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Valentina serasa konser solo ketika girlband dari Korea Selatan itu menyanyikan lagu berjudul Swipe yang cocok untuk menyindir orang-orang yang terlalu kepo dengan kehidupan orang lain. 

"Swipe ... Swipe ... Sorry but next ... Swipe ... Swipe ..." Valentina menggerakkan pantat tak sintalnya sembari mengikuti tiap liriknya. 

Hingga terdengar sebuah ketukan yang membuyarkan aksi gila gadis kecil itu. Buru-buru Valentina berjalan pelan-pelan sambil mengomel merutuki lantai yang belum benar-benar kering. "Iki sopo sing teko sih? Enggak ero arek lagi ngepel!" omel Valentina seraya membuka kenop pintu. 

(Ini siapa yang datang sih? Enggak tahu anak lagi ngepel!)

Dunianya serasa dijungkir sekarang kala menangkap sosok tinggi semampai mematung di depannya dengan bola mata yang hampir mencuat keluar. Jika ada kekuatan yang bisa menghilangkan diri Valentina, mungkin dia akan menggunakan kekuatan itu saat ini juga. Saking kagetnya, ganggang pel yang dipegang Valentina jatuh ke lantai menimpa punggung kakinya. 

"Kamu!" seru Julia menunjuk Valentina dari atas ke bawah tak menyangka kalau mahasiswa yang ditemuinya di rumah sakit satu rumah dengan Raditya. 

"Hai ..." lirih Valentina sambil meringis tak tahu harus berekspresi seperti apa. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top