Bab 15
Seperti ditabok dari alam lain, pupil Valentina seketika melebar menyadari betapa tak terkontrol mulutnya bisa membocorkan rahasia besar. Cepat-cepat dia menggeleng sambil meringis dan berkata, "Canda doang. Iya kali dokter Raditya kawin sama saya, Mbak."
Hatinya sudah berdetak tak karuan seperti dikejar penagih hutang atau dipelototi dosen penguji sewaktu ujian OSCE. Kalau pun ada satu monitor yang mendeteksi bagaimana debaran di dadanya sekarang, Valentina yakin kalau para perawat di sini akan melempar kejut listrik atau suntik penenang. Selain itu, ingin sekali dia membenturkan kepala sendiri agar tetap waras untuk tetap bungkam bukannya meluncurkan pernyataan yang bisa membuat geger satu rumah sakit.
Kayaknya sedunia juga bakalan kaget kalau tahu aku nikah sama si mata empat.
"Ya iyalah, seleranya dokter Raditya juga tinggi, Dek," ejek perawat itu menyoroti penampilan Valentina yang sungguh tak cocok menjadi istri sang dokter. Tubuh kurus Valentina menyisakan lemak berlebih di pipi, tinggi yang tak sampai 165 cm, lingkaran mata hitam kayak pocong kurang tidur, sampai aura wajah suram bagai orang yang tak dapat hidayah. Valentina jauh dari kata kriteria menantu idaman jika disandingkan dengan residen pujaan hati mereka. "Orang pacarnya aja selebgram."
"Emang Instagramnya apa, Mbak?" tanya Valentina dengan sedikit penekanan. Kini tatapan matanya sudah seperti Iron Man yang siap menembakkan laser mata. Entah kenapa tiba-tiba hatinya dongkol kalau ada orang yang membicarakan Raditya dan Julia layaknya pasangan paling sempurna di dunia. Padahal, sesempurna apa pun pasangan residen itu, bakal kalah dengan status Valentina sebagai istri sah.
Ah, kadang ingin sekali dia memamerkan buku nikahnya kepada semua orang. Menunjukkan diri kalau gadis sepertinya bisa menggaet seorang dokter yang notabene adalah anak dari sahabat kedua orang tuanya tanpa harus bersusah payah mencari koneksi atau kenalan melalui dunia maya. Valentina sedikit membanggakan diri atas kedekatan kedua orang tua Raditya dan orang tuanya semenjak SMA memang patut diacungi jempol satu kampung. Berkat harapan mereka di masa lalu untuk menghasilkan anak laki-laki dan perempuan dari masing-masing pihak agar bisa dijodohkan.
Perawat berambut pendek ala Winter Aespa itu menunjukkan akun Instagram milik Julia yang sudah memiliki followers lebih dari seratus ribu. Valentina menelan ludah meniti satu persatu foto cantik Julia di balik balutan baju dinas dokter atau pun baju model. Bentuk tubuh sintal dengan kulit kuning langsat yang terkesan glowing menandakan kalau kekasih Raditya selalu rutin ke klinik kecantikan.
"Pasti mahal ini perawatannya," ucap perawat itu.
Menghiraukan gibahan senior, diam-diam Valentina mengingat nama akun Julia untuk menelusuri lebih jauh Instagram pacar sang suami. Sekilas tadi, dia menangkap ada salah satu Raditya yang sedang memeluk Julia mesra. Valentina mencibir, hatinya mendadak sepanas lava pijar yang baru keluar dari gunung berapi. Beberapa saat, dia menggeleng cepat menepis rasa cemburu pada nenek lampir.
"Dikira peluk-peluk gitu bagus dilihat apa," gerutu Valentina sepelan mungkin. "Awas aja kalau ena-ena di rumah, aku cincang juga mereka."
"Eh, kamu kok malah diem? Udah buang urin pasien?" tanya perawat itu tak rela mahasiswa seperti Valentina leha-leha saat magang.
"Sudah, Mbak. Sudah saya catat juga output dan menghitung balance cairan," jawab Valentina menunjukkan notebook kecil yang dimasukkan ke dalam saku.
"Sudah suction? Ngitung CVP? Mengubah posisi pasien? Nyiapin obat injeksi?"
"Sampun, Mbak. Tadi anak mahasiswa lain yang ngerjakan, saya bagian buang urin sama mencatat CVP sekalian ngecek obat syringe pump yang mau habis."
"Baguslah, Mahasiswa itu enggak boleh males-males," sindir perawat melirik sinis ke arah Valentina. "Dunia kerja itu kejam daripada kuliah."
###
Break setelah tindakan keperawatan pada pasien adalah hal terindah selama masa magang. Apalagi kalau satu ruangan ada beberapa mahasiswa, jadi Valentina bisa istirahat di luar ruangan. Nongkrong di masjid misalnya setelah ibadah atau pergi ke luar area rumah sakit untuk membeli makanan. Apalagi di sekitar Bendul Merisi banyak dijajakan makanan pengganjal lapar yang murah meriah sesuai kantong kering mahasiswa. Ada bakso semangkuk seharga sepuluh ribu bonus es teh, ada soto ayam yang full porsi, nasi goreng, mi ayam, sampai warung AG yang pemiliknya asli Blitar yang menjual nasi dan lauk pauk harga terpisah. Biasanya Valentina akan mampir ke warung AG sekadar membeli nasi seharga dua ribu, ditambah 3T alias tahu telur tempe tiga ribu yang diberi lalapan serta sambal penyet. Bukankah jadi mahasiswa sebenarnya enak? Yang tidak enak hanyalah tugasnya saja kan?
Tapi, tempat yang menjadi favoritnya selama masa praktik seperti ini adalah masjid. Dia bisa bertemu teman-temannya yang ada di ruangan lain, bertukar bagaimana suasana ruangan sekaligus kasus dan tugas yang dihadapi. Kadang juga menggibah bersama untuk membicarakan senior-senior ruangan yang memiliki berbagai ragam karakter dari yang lucu sampai menyebalkan. Mungkin malaikat pencatat amal akan bingung bagaimana mereka mesti mencatat kelakuan mahasiswa jikalau setiap selesai ibadah selalu diselingi gibah.
"Eh, tahu enggak," bisik Iren--salah satu teman sekelas Valentina yang kini praktik di ruang anak--mengawali cerita sambil memasang kaus kaki.
"Enggak, kan belum cerita," timpal Valentina. "Brian!" Dia memanggil kekasihnya yang berjalan bersama dua laki-laki dari kampus lain hendak masuk ke masjid.
Brian hanya melengos begitu saja seolah sosok Valentina hanyalah gundukan batu tak bermakna. Suara yang masuk ke telinga hanya kerumunan nyamuk yang hendak meminta izin untuk mengisap setetes darah. Dia masih enggan untuk berbicara dengan Valentina sejak gadis itu mengabaikan semua pesan seolah kehidupan ners adalah nomor satu.
Bukannya egois, hanya saja, ada sela-sela waktu bagi para pejuang ijazah itu untuk berduaan walau sebatas ngobrol masalah tugas. Brian hanya rindu tapi perasaannya tak terbalaskan. Brian juga ingin makan bersama meski di kantin kampus, melihat wajah Valentina untuk mengurangi betapa penat masa pendidikan ini. Sayang, sepertinya Valentina tak merasakan apa yang dirasakannya. Entah apa yang merasuki Valentina sampai melupakan status hubungan mereka.
"Oh, main diem-dieman," ucap gadis itu sedikit meninggi sampai orang-orang menoleh ke arahnya. "Oke fix!"
Brian berbalik kemudian menghampiri Valentina yang sepertinya sudah tersulut emosi. "Kamu yang mulai, bukan aku. Kenapa aku jadi yang salah?"
"PMS kamu, Brian? Sensi amat jadi cowok," sembur Valentina. "Udah lah, kalau emang enggak mau ngomong sama aku ya udah. Aku enggak keberatan kok, dikira pacaran selama kuliah itu enak? Capek tahu!"
Brian mengepalkan kedua tangan menahan gumpalan emosi yang memenuhi rongga dada kala mengetahui kebenaran kalau Valentina keberatan menjalin hubungan dengannya. Kalau dia tidak suka, kenapa sewaktu kuliah gadis itu mau saja diajak pacaran? Kenapa tidak menolak kalau di pikirannya hanyalah belajar, belajar, dan belajar tanpa ada keseimbangan hidup.
Sebelum Brian membalas pernyataan yang terkesan sebagai pemutusan hubungan sebelah pihak, Valentina melengang begitu saja tanpa berpamitan kepada Iren yang melongo menyaksikan prahara rumah tangga mini di antara kedua temannya.
"Hayoloh, Brian, kalian putus ya ... hayoloh, nangis itu pasti si Tina," tunjuk Iren memojokkan Brian.
###
Setelah bermalam di rumah sakit selama berhari-hari karena jadwal jaga yang tidak menyenangkan, akhirnya Raditya bisa pulang ke rumah. Bukan dia kangen dengan istri kecil yang kemarin tertangkap basah sedang bertengkar dengan kekasihnya bak anak TK, melainkan kerinduan terhadap kasur dan aroma kamar yang ditinggali. Kalau mengingat perdebatan Valentina dan Brian, ingin rasanya Raditya menuangkan bensin agar mereka saling cakar-mencakar.
Lalu, dia teringat dengan daftar tugas rumah yang wajib dilakukan Valentina. Penasaran juga apakah gadis bar-bar itu berhasil melaksanakan pekerjaan setelah Raditya menyogok dengan beberapa lembar uang. Dia hafal betul Valentina penyuka duit seperti karakter Tuan Crab di film SpongeBob selain menggilai artis-artis Korea Selatan. Bahkan beberapa waktu lalu, saat Valentina kebagian jadwal mencuci, dia menemukan selembar uang lima puluh ribu dari saku baju Raditya.
"Dit, aku nemu duit di bajumu!" teriak Valentina dari arah kamar mandi. "Aku ambil, siapa cepat dia dapat kan?"
"Tina, itu duit buat beli token! Balikin enggak!" seru Raditya keluar kamar.
"Males! Sama istri jangan pelit!"
Si putih yang sudah kembali seperti sedia kala terhenti di depan pagar rumah. Raditya menunduk sejenak mendapati lampu teras masih terang benderang padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Alisnya mengernyit dengan bibir menggerutu kalau istri super borosnya itu tidak bisa diajak berhemat barang sedikit pun.
Setelah memarkirkan mobil di teras dan mengunci pagar, Raditya yang diselimuti rasa lelah membuka pintu rumah. Seketika suara Valentina memenuhi rumah membuat lelaki itu terperanjat kaget ketika istrinya berlari menghampiri sambil berteriak dan menangis,
"Dit, aku putus sama Brian! Tolongin aku!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top