29
Okin mengaduk mangkuk baksonya antara maju-mundur untuk mengatakan hal mencengangkan di balik skandal yang menyerang Valentina. Sebagai teman akrab sejak semester satu sekaligus tim selama pendidikan ners, ada dorongan dalam diri lelaki tambun berkacamata itu untuk melindungi Valentina. Jangan samakan perasaannya dengan pria lain karena ini murni sebatas teman yang tak rela Valentina dibuat bahan cemooh orang-orang. Terlebih mereka yang tak tahu kronologi malah menambah bumbu agar gosip dan skandal yang menyebar bak virus itu makin memanas.
Pada akhirnya setelah gadis itu mulai tenang dari kegelisahan yang mengikat, Valentina menguak rahasia yang disembunyikan. Awalnya Okin dan Dyas tercengang bukan main lantaran Valentina terlalu pintar memendam status pernikahannya dengan sang residen tanpa tercium siapa pun. Dia baru mengerti mengapa Raditya bersikap kejam sejak Valentina magang di UGD dan selalu membandingkan dengan mahasiswa atau anak koas.
"Aku sama dia itu ... kayak apa ya, minyak dan air. Enggak bisa bersatu kalau enggak ditambahi sabun," kata Valentina di akhir ceritanya.
"Hah? Apa hubungannya sama sabun?" timpal Okin tidak paham.
Dyas memutar bola matanya. "Ya elah, baca lagi deh teori emulsi. Itu pelajarannya anak farmasi."
Okin mendengus sambil mencibir, "Cih, si paling farmasi mulai deh! Terus selama tinggal sama dia, kamu enggak ada perasaan apa gitu, Tin."
"Enggak tahu aku. Dibilang benci kok dia kadang baik, dibilang sayang kok dia kejam mainin perasaan orang," ucap Valentina melow. "Oh, cinta deritanya tiada akhir," tambahnya mengutip kalimat Cu Pat Kai dalam serial lawas Kera Sakti.
Melihat temannya malah lahap memakan bakso kantin kampus sampai tambah seporsi lagi, Okin yakin kalau gadis itu sudah tidak memikirkan masalah yang menerpanya. Jangan lupakan segelas jumbo es degan sebagai pendamping terbaik menu selera rakyat ini. Semenjak dipermalukan oleh Julia dan tak dibela Raditya, selama beberapa hari Valentina tak mau memasukkan sesuap nasi ke dalam perut. Ditambah, setengah jam lalu dia baru menemui dua dosennya, kepala prodi dan dosen pembimbing untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak ingin citra kampus tercoreng hanya karena ulah satu anak pun tak segan-segan akan memberikan hukuman termasuk tidak diikutkan ujian kompetensi nasional.
"Saya enggak hamil duluan, Bu, sumpah! Ibu boleh cek keperawanan saya sekarang, saya berani," ucap Valentina jujur. "Mama menikahkan saya karena nurutin permintaan almarhum Papa. Dan kebetulan aja, Ra-- eh dokter Radit itu anaknya sahabat orang tua saya, Bu."
"Terus gimana ceritanya sampai kamu dilabrak pacarnya dokter Radit, Tina?" sahut perempuan berwajah Arab seakan mencari-cari letak kesalahan yang disembunyikan mahasiswa. Insting seorang dosen sekaligus ibu tak dapat diabaikan. Dia tidak mempermasalahkan pernikahan diam-diam yang dilakukan Valentina, hanya saja kenapa masalah itu sampai menimbulkan kekacauan?
Valentina membisu, dilema antara mengatakan kepada mereka atau tidak kalau sejujurnya dia tahu Raditya punya kekasih dan suaminya tahu Valentina milik Brian. Tapi, bukankah ini sama saja mengumbar aib rumah tangga?
Akhirnya dia memilih mengedikkan bahu, memendam rahasia besar itu seorang diri daripada menyulut api baru. "Maklum, derita mantan susah move on, Bu. Enggak terima kalau dokter Raditya milih saya sebagai istrinya," kata Valentina lalu tertawa terbahak-bahak. "Tapi, kami sudah komitmen buat nunda punya anak, Bu. Kalau itu yang Ibu khawatirkan."
Kepala prodi ners yang memakai jilbab ala ibu-ibu pejabat kota mengangguk sambil menghela napas. "Soalnya kami takut kejadian kakak kelasmu terulang lagi, Nduk. Ners itu enggak main-main capeknya kan? Tugas seabrek, presentasi kasus, bikin penyuluhan, dinas jaga, konsul, belum lagi bikin tugas akhir mana habis ini kalian praktek keperawatan komunitas di pesisir. Dulu kakak kelasmu hamil akhirnya keguguran juga karena kecapekan, kan?"
Valentina mengangguk ingat akan rumor itu. Makanya dia memilih menunda memiliki anak karena tidak ingin kewalahan mengurus rumah tangga dan karier.
"Tujuan kami meminta kalian menunda pernikahan itu ya macam ini loh, Dek. Biar kalian fokus ners dulu dan lulus ujian kompetensi. Kalau udah lulus, kalian mau nikah, mau punya anak banyak silakan," lanjut sang kepala prodi. "Kalau enggak lulus ujian kompetensi, mau kerja di mana? Bank? Sayang banget kan ijazah perawat malah nyasar di perbankan?"
"Nggih, Bu, maaf ya Bu kalau saya bikin heboh kampus," kata Valentina menundukkan kepala. "Saya bawa buku nikah saya kok biar orang-orang yang ngeledek saya percaya."
Gara-gara mendapat wejangan, cacing-cacing dalam perut Valentina langsung demo karena butuh asupan energi. Ternyata selain marah-marah, mendapat ceramah juga menguras tenaga, pikirnya. Lagi pula setelah dipikir ulang, jikalau dia sampai sakit karena tidak makan akibat kebanyakan galau, belum tentu si pembawa sial bermata empat akan merawatnya sepenuh hati kan?
"Kesuen awakmu, Kin, nek ngomong ndang ngomong," ujar Valentina menyeruput minuman lalu bersendawa tanpa rasa malu. "Enaknya..."
(Kelamaan kamu, Kin, kalau ngomong segera ngomong.)
Okin geleng-geleng kepala. "Wedok nggilani."
(Perempuan menjijikkan)
Valentina menjulurkan lidah tak mau tahu. "Cepet ngomong apa? Kamu enggak nembak aku kan? Aku lagi mode males mainan cinta-cintaan."
"Yang mau nembak kamu itu siapa? Pede banget jadi orang," protes Okin memotong bakso miliknya dengan garpu lalu melahapnya. "Aku cuma mau bilang kalau udah tahu siapa biang keroknya."
Iris mata Valentina membulat, dia menggebrak meja lalu berseru, "Siapa!"
Beberapa mahasiswa yang notabene adalah adik kelasnya menoleh sebentar ke arah Valentina. Mereka berkusu-kusu bahwa gadis berambut sebahu itu adalah kakak kelas yang digosipkan bertengkar dengan seorang PPDS. Merasa diperhatikan, Valentina melotot ke arah mahasiswa tak sopan sambil menunjuk, "Dek, sini kamu!"
Seorang perempuan bertubuh lebih tinggi dari Valentina mendekat dengan wajah sepucat mayat. Dia menunduk ketika Valentina menghardiknya secara terang-terangan.
"Udah lupa diajarin tata krama ya? Masih kurang ospeknya?" Valentina melihat name tag mahasiswa semester satu itu. "Siswa baru sok-sokan kamu!"
"Tin, udah, Tin," lerai Okin agar temannya tidak dipanggil lagi ke ruang dosen karena memancing masalah. "Emosian arek iki koyok ghost rider."
(Gampang emosi anak ini kayak ghost rider)
Bibir Valentina mengerucut bahkan karet gelang saja mampu mengikat mulut bergincu pink itu. Okin berpaling ke arah adik kelasnya dan berkata, "Kamu juga kalau ada kakak tingkat itu disapa bukannya dilihatin kayak gitu. Kalau kamu diposisinya temen saya gimana? Risih enggak?"
"Ri-risih, Kak," jawab si adik kelas. "Maaf, Kak. Saya tidak mengulanginya lagi."
"Sana pergi!" usir Valentina seraya mengibaskan tangan kanan seolah mengenyahkan setan.
Selepas mahasiswa itu pergi, Okin berkata, "Aku udah ngasih pelajaran ke biang keroknya. Kamu enggak usah pikirkan masalahmu lagi."
"Kamu kalau ngasih info jangan separuh dong kampret!" gertak Valentina kehabisan rasa sabar. "Siapa? Gara-gara dia, aku--"
"Brian," sela Okin. "Brian yang memergoki kamu sama dokter Raditya."
Bagai ditampar lalu dijatuhi durian dari atas kemudian didorong ke tepi jurang, jantung Valentina serasa merosot ke lantai. Rahang bawahnya nyaris menyentuh lantai berkeramik hitam kantin jikalau Okin tidak membantu menutup mulutnya dengan tangan sambil berkata, "Tuh kan, pasti mukamu kayak gini."
Dada Valentina ngilu bukan main mengetahui bahwa Brian yang membuatnya mengalami kesialan seperti itu. Dia kira setelah hubungan berakhir, Valentina akan lebih leluasa dalam menjalani kehidupan sebagai single fighter selama ners. Tidak disangka pula, Brian menaruh dendam yang tidak diketahui Valentina apa alasannya. Mungkinkah lelaki pendiam itu cemburu buta? Mungkinkah dia iri dengan Raditya?
Tanpa sadar tangan Valentina terkepal kuat ingin mengamuk saat ini juga. Gadis itu beranjak menghampiri si penjual bakso langganan karena tak banyak memiliki waktu untuk membayar semua yang telah masuk ke lambung. "Pak, utang dulu ya! Besok saya bayar!"
"Tin, Tina!" teriak Okin mengejar Valentina. "Pak, kulo utang!" tambahnya ke penjual bakso.
(saya hutang)
###
Gadis itu menunggu tak sabar di parkiran motor di mana kendaraan milik Brian masih terparkir di sana. Menurut informasi teman satu kelompok sang mantan, lelaki itu masuk pagi yang artinya sekarang dia turun jaga sama seperti Valentina. Okin menghampiri si gadis bar-bar dengan napas memburu sambil mengumpat karena kelelahan mengingat tubuhnya kelebihan lemak.
"Cuk ... capek aku," keluh Okin. "Awakmu mlaku ta mumbul, Tin? Pegel sing ngejar."
(Kamu jalan apa terbang, Tin? Capek yang ngejar)
"Siapa juga yang nyu--" ucapan Valentina terhenti kala menangkap sosok Brian berjalan seorang diri. "Woi! Bangsat!"
Lelaki yang dipanggil secara tak sopan itu tertegun beberapa detik sebelum kedua alis tebalnya menyatu dan melangkah cepat mendatangi sang mantan yang pernah dicintainya itu. Jika bukan perempuan, mungkin Brian sudah melayangkan sebuah bogeman di rahang Valentina. Tapi, keinginan itu terpaksa ditahan mengingat ada Okin yang menyorot tajam bak tameng yang bakal sulit dilawan.
Jejak senja di atas cakrawala hari ini sepertinya bergulir lebih cepat layaknya perasaan yang dulu dia curahkan kepada Valentina telah berubah menjadi sebuah kebencian. Otaknya langsung memutar kilasan di mana gadis itu berbincang dengan lelaki yang ternyata adalah suaminya. Siapa yang tidak murka mengetahui kalau selama ini pacarnya adalah istri orang lain? Siapa yang tidak patah hati memergoki sang mantan tengah berduaan dengan orang lain seolah perpisahan mereka tak berarti? Selama ini orang hanya tahu dari sisi Valentina tanpa mempertanyakan bagaimana remuknya cinta Brian. Mereka juga tak tahu bagaimana Brian melewati hari-harinya usai putus dengan Valentina hanya ditemani putung rokok sebagai pelipur lara.
"Apa lagi?" tanya Brian dengan nada menantang.
"He cok! Lambemu lambe wedok, Setan! Kamu enggak tahu apa gara-gara kamu--"
"Apa! Terus aku harus apa? Minta maaf?" potong Brian melotot tajam mengeluarkan emosi.
Okin hendak maju ke tegah-tengah pertikaian itu tapi Valentina mendorongnya untuk tidak ikut campur.
"Mantan ya mantan, ngapain sih kamu harus ngurusin kehidupan orang lain? Kayak enggak ada hal lain yang diurus!" cerocos Valentina tak terima. "Enggak nyangka ya, hatimu picik! Busuk! Sampah!" makinya.
Valentina memukul dada Brian dengan kepalan tangan, melampiaskan kekesalannya kenapa harus Brian yang menjadi pelaku utama yang membocorkan rahasia itu. Brian bergeming menerima perlakuan Valentina sampai akhirnya Okin menarik lengan temannya agar menyudahi perdebatan tak berujung ini.
"Nyesel aku suka sama kamu, Brian!" pekik Valentina tanpa sadar telah mengeluarkan air mata. "Bajingan!"
"Tin, udah Tin," lerai Okin.
Mata Brian memerah menahan murka, lantas mengeluarkan kunci motor tak menghiraukan umpatan yang dilayangkan padanya. Lelaki itu menarik stang setelah memasang earphone memutar lagu yang menulikan pendengaran, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi menyisakan jejak juga menanggalkan rasa cintanya pada Valentina. Dia sama sekali tak menyesal telah mengungkapkan kebenaran walau terasa begitu pahit merasuk ke dalam tulang. Angin senja berhembus menerpa wajah lelaki berwajah tirus itu, dia mendongak sebentar bermunajat kepada semesta agar menghilangkan seluruh kenangannya bersama Valentina. Semua momen indah yang terbayang-bayang di pelupuk mata termasuk janji mereka untuk berjuang bersama sampai kelulusan tanpa ada kata putus.
"Semua cuma palsu," gumam Brian dengan suara gemetar ketika lagu Naif mewakilkan perasaannya yang tercampur aduk tak karuan.
Selama ini aku salah mengartikan maksud di balik hatimu
Selama ini aku anggap engkau benar-benar cinta kepadaku
Dan akhirnya kutahu kau tak mencintaiku
***
Bonus akhir tahun wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top