28

"Bacot!" ketus Julia setelah digiring ke lorong dekat ruang pertemuan. "Bacot!" rutuknya lagi sambil menampar Raditya berharap wajah tampan itu akan rusak. Dia sudah tak mau tahu alasan yang diucapkan lelaki itu kepadanya. "Bilang aja kamu cuma memanfaatkan aku kan?  Bangsat! Pembantu apanya! Haha ... goblok banget aku percaya gitu aja sama omongan kamu!"

"Bukan gitu, Julia!" kilah Raditya. "Aku menikahi dia karena mau tepati janji ke almarhum ayahnya Tina. Sumpah!"

"Janji? Terus gimana kamu mau tepati ucapanmu sendiri buat melamar aku, hah!" seru Julia lantas melepas cincin yang disematkan janji manis sebagai tanda ikatan cinta mereka. Dilempar benda keperakan itu ke arah sawah-sawah yang ada di depan parkiran karyawan. "Kamu bajingan, Dit!" tunjuknya ke dada lelaki itu. 

Ditahan tangan kanan Julia sambil berkata, "Maka dari itu aku mau minta maaf karena enggak bisa pilih di antara kalian berdua. Aku ..." 

"Pilih dia atau aku!" potong Julia melepaskan tangannya dari cengkeraman Raditya sambil melotot seakan bola mata itu akan menggelinding ke tanah.  

Ada jeda cukup lama bagi Raditya untuk bisa menjawab pertanyaan itu. Dikunci iris mata Julia yang dipenuhi rasa sesal atas apa yang dirahasiakan darinya. Dia menengadah melihat ke arah kanopi parkiran motor khusus pegawai sementara angin sore berhembus menyapa kulit. Jujur saja, selama tiga hari diberi kesempatan Sofia, Raditya merasa kalau waktu yang diberikan tak cukup untuk memutuskan.

Bukan karena ke mana hati lelaki itu akan berlabuh melainkan bingung bagaimana caranya memberi pengertian kepada Julia yang keras kepala ini. Dia lebih mengkhawatirkan nasib Valentina selama magang di sini tanpa memedulikan dirinya sendiri. Dan akhirnya terjadi juga dengan insiden siraman air selokan itu. Raditya sudah kebal terhadap gunjingan atas hierarki senior-junior di kalangan PPDS, tapi bagaimana dengan Valentina? Bagaimana jika masalah ini sampai dibawa ke kampus?

Bahkan ada rasa bersalah yang membelenggu diri Raditya membiarkan begitu saja Valentina di ruang mahasiswa tanpa mendekap betapa memalukan penampilan gadis itu. Tapi, Raditya tak punya pilihan lain selain memisahkan Julia yang kehilangan akal. Raditya sudah menyiapkan diri jika nantinya Valentina lebih murka. Yang terpenting, dia harus mengakhiri hubungan ini dengan Julia. Suka tidak suka. Mau tak mau. 

"Enggak bisa jawab kan?" suara Julia menghardiknya lagi seperti Radityalah yang memikul dosa besar ini sendirian. "Pengecut!"

"Maaf, Julia, kurasa kita harus berpisah di sini," tutur Raditya pelan namun terasa menggema di telinga gadis di depannya itu. 

Julia mengulang kalimat yang dilontarkan Raditya dalam hati. Kristal bening yang tadinya mulai mengering kini bergumul dan jatuh membasahi pipi untuk ke sekian kali. Bagai dihantam batu besar, kepala Julia mendadak pening tak menyangka kalau mimpi buruk ini nyata adanya. Diremas dadanya sendiri berharap tidak terkena serangan asma atau jantungnya tidak berhenti berdetak secara tiba-tiba. Tubuh Julia nyaris  tumbang jikalau Raditya tidak segera menahan punggung gadis yang patah hati itu.

Dia berusaha menegakkan badan menghadapi getirnya sebuah perpisahan. Mencoba menyapu genangan air mata untuk membuktikan bahwa kakinya masih bisa menopang harga diri dan keping-keping kepercayaan yang telah hancur akibat kebohongan Raditya. Sayang, bibir Julia malah gemetaran bahkan memandang lelaki itu sebagai kesempatan terakhir saja dia tidak mampu sekarang. Lantas bagaimana Julia akan menjalani masa PPDS jika masih berada satu tim?

"Maaf," lirih Raditya. "Aku sayang kamu, Julia, tapi ternyata perasaan itu juga ada untuk Tina."

Lidah Julia terasa kaku tidak dapat berkata-kata selain derai air mata yang menyiratkan betapa remuk hatinya kini. Hubungan yang sudah terjalin lama kini hancur meninggalkan luka menganga yang tak tahu kapan sembuhnya. Ucapan maaf saja dirasa tak cukup untuk menyatukan kembali potongan cinta yang koyak itu.

"Sayang? Kamu bilang sayang tapi tega bohong sama aku, Dit, kenapa enggak sejak awal saja kita pisah?" ujar Julia sesenggukan. "Kamu manusia apa setan sih? Punya hati enggak?"

Julia terpaksa menyeret kakinya pergi dari hadapan Raditya daripada berlama-lama memperdebatkan hal yang otomatis tak pernah dimenangkan. Status Valentina tentu saja lebih tinggi dan orang lain bakal menyalahkannya jika Julia bersikeras menahan Raditya. Julia tidak ingin dianggap sebagai rumah tangga orang. Biarlah rasa sakit ini dia pendam karena tahu semesta tak pernah tinggal diam. 

"Maaf," ucap Raditya melepas kepergian Julia dengan tatapan sedih yang mendalam. 

###

"Jadi, senam kaki diabetes ini bisa Bapak dan Ibu sekalian lakukan di rumah sambil menonton TV atau gibah dengan tetangga kesayangan. Olahraga ringan ini bagus banget buat memperlancar aliran darah di kaki terutama bagi keluarga yang memiliki penyakit kencing manis," jelas Okin sambil duduk di tengah-tengah ruang tunggu pasien dengan kaki telanjang yang dilapisi koran bekas. 

Acara penyuluhan sebagai salah satu tugas wajib mahasiswa ners kini terpaksa diatur oleh Dyas dan Okin mengingat Valentina terlihat lesu di belakang mereka. Meski bibir yang biasanya dipulas lip tint itu menyunggingkan senyum tetap saja tidak ada sinar di wajah ditambah matanya masih bengkak. Sampai-sampai ada salah satu keluarga pasien yang mengusik masalah pribadi Valentina karena kebetulan melihat pertengkaran kemarin. 

"Oh, ini yang kemarin disiram air got itu ya?" tuduh seorang perempuan paruh baya mengamati garis wajah Valentina. 

"Tin, biar aku aja," kata Dyas saat membagikan snack sebagai bonus mengikuti penyuluhan. "Udah kamu diem aja, kalau ditanyai bilang lagi alergi telur."

Yang diajak bicara mengangguk tanpa memperdebatkan alasan yang tak masuk akal. Semua orang di ruang rawat inap perempuan itu tahu bahwa ada salah satu mahasiswa dilabrak seorang dokter dan menuduh sebagai perempuan murahan dan pelakor. Tadi saja saat Valentina mengisi buku absen di atas meja saja langsung diberondong pertanyaan dari perawat yang berdinas. Mereka yang kenal couple Romeo-Juliet lokal menyayangkan aksi brutal Julia tapi penasaran apa yang membuat dokter setampan Raditya yang dikenal bucin in private itu keluar jalur. 

"Jangan yang levelnya kayak dokter Radit, sekelas Adam Levine dan Reza Arap aja seling--"

"Bukan selingkuh, Mbak. Kalau Mbak mau bukti buku nikah, saya bawa kok," kata Valentina menyela ucapan tak senonoh itu. "Suami saya enggak selingkuh kok, dokter Julia aja yang keburu baper," tambahnya sebagai pembelaan diri agar tidak terus-menerus dicap sebagai perebut kekasih orang.

Daripada melamun karena dirinya yang terombang-ambing dalam masalah yang belum menemukan ujungnya, Valentina mengeluarkan ponsel untuk memotret acara penyuluhan yang masih dipraktikkan Okin sementara Dyas berkeliling untuk membenarkan gerakan kaki meremas kertas koran sebagai alternatif terapi ringan penderita diabetes. Diabadikan satu persatu ekspresi peserta yang tampak antusias mengikuti kegiatan berhadiah sabun detergen satu kilo juga sabun mandi tiga batang ini lalu tak sengaja memotret sosok tinggi Raditya berdiri di belakang tak jauh dari posisi peserta. 

Detak jam sepertinya berhenti ketika bola mata Raditya mengarah kepadanya dengan raut yang tak dibaca. Bibir kemerahan lelaki itu terbuka sebentar seakan menyampaikan sesuatu namun terkatup lagi membuat Valentina penasaran apa yang dipikirkan Raditya. Kemudian, sang residen berjalan menjauh meninggalkan Valentina yang terjebak dalam pusaran tanda tanya tanpa ada jawaban. 

Ada sesuatu yang menyelinap di hati Valentina hingga menciptakan sebuah kerutan di dahi menatap kepergian lelaki itu. Apakah Raditya tidak ingin menanyakan di mana keberadaannya saat ini? Apakah dia tidak ingin tahu apakah Valentina sudah makan dan tidur nyenyak setelah disiram air selokan? Apakah dia tidak penasaran bagaimana perasaan Valentina setelah dipermalukan oleh kekasihnya yang arogan itu? Bahkan apa Raditya juga tidak ingin mencari jawaban kenapa Valentina menonaktifkan ponselnya sejak kemarin? Lantas, siapa yang kejam sekarang?

Dan bisa-bisanya Mama ngawinin aku sama iblis macam dia, batin Valentina dongkol.   

###

"Dek, tolong tensi pasien di kamar empat bed A ya terus anamnesa juga pasiennya masih terasa lemes enggak setelah diguyur infus? Soalnya tadi masih diare sepuluh kali," perintah satu perawat kepada Valentina. "Terus sekalian ambil darah di pasien sebelahnya ya sama antar ke laboratorium dan bawa ini," tambahnya menyerahkan sebuah cool box biru untuk mengambil kantong darah bagi pasien yang akan menjalani transfusi.

"Oke, Mbak."

"Oh iya, mampir ke radiologi ya ambil hasil foto paru-paru sama CT-Scan pasien atas nama ibu Wurni," titah perawat itu. 

"Iya, Mbak," kata Valentina merogoh tensimeter lapangan miliknya sendiri dari saku jas praktikum dan melingkarkan stetoskop biru tosca ke leher. 

"Bisa kan?" kata perawat itu seperti sedang menyiksa batin Valentina pelan-pelan padahal ada banyak mahasiswa praktik yang berdiri berpura-pura bodoh. "Masa gitu aja enggak bisa? Istirnya dokter Radit kan?"

Mengepalkan tangan hendak memaki, mendadak Okin yang satu shift dengan Valentina langsung menahan dan mengedipkan mata untuk tidak meladeni ucapan senior mereka. Lantas dia berbisik akan membantu daripada tak ada tugas yang dimandati. Valentina menolak halus ingin membuktikan bahwa dia bisa melakukan pekerjaan seabrek sekali pun tanpa menyandang status istri seorang dokter. 

"Itu adek siswa yang laki mau ke mana? Tuh lepas infus pasien yang mau pulang!"

"Kampret," desis Okin jengkel. "Habis ini kita bisa istirahat, Tin, nanti ke kantin ya. Ada yang mau aku omongin."

Mereka berpisah menjalankan tugas masing-masing, Valentina menghampiri pasien yang sempat diare terus-menerus. Menanyakan keluhan pasien berusia sekitar 35 tahunan itu sekadar basa-basi dan memberi saran agar tidak memakan makanan mengandung serat, teh, susu, dan makanan lunak lain. Meski sedang dilanda masalah, sebisa mungkin Valentina bekerja secara profesional menyingkirkan kehidupan pribadi agar tidak bertumpuk dengan magangnya. Kecuali penyuluhan tadi, dia merasa tidak profesional karena tersinggung dengan kalimat keluarga pasien. 

Tiba-tiba Raditya datang bersama dokter berkepala plontos dengan name tag dr. Chandra, SpPD, dan beberapa koas menghampiri pasien yang sedang ditangani Valentina. Serasa di demo dadakan, Valentina buru-buru mengantongi tensimeter ke dalam saku untuk laporan ke perawat daripada harus berbicara di depan para dokter yang mengamatinya penuh selidik. 

"Berapa tensi terakhir?" tanya Raditya mengabaikan kasak-kusuk di belakangnya, 

"110/70, Dok," jawab Valentina tak memandang Raditya. "Nadinya masih agak cepet seratus dua kali per menit." 

"Tensinya sudah mulai naik, Dok," ujar Raditya kepada dokter Chandra," tadi laporan perawat jaga kalau tekanan darah pasien 80/60."

"Oh, ini yang kolitis ulseratif * ya," kata dokter Chandra yang dibalas anggukan Raditya. Lelaki berperawakan kecil itu membuka rekam medis pasien dan membaca cepat riwayat penyakit yang diderita dan ternyata pernah terjadi sekitar tiga tahun lalu ditambah ada keluarga yang pernah menderita hal yang sama. "Gimana diarenya? Sudah berkurang?"

"Masih, Dok, sampai keluar darah. Masa iya ambeien, Dok?" tanya pasien itu memegangi perutnya. 

"Sudah kolonoskopi* kan?" tanya dokter Chandra karena kadang lupa apa yang sudah dia perintahkan ke rekan kerja akibat terlalu banyak pasien yang ditangani dalam sehari.

"Sudah, Dok, hasilnya ada kripta destruksi*, kalau dari hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa kemungkinan sudah derajat S3, Dok. Mohon koreksi."

"Oke, nanti kita coba diskusikan dengan bedah digestive apa ada kemungkinan pasien menjalani pembedahan apalagi usianya juga masih produktif, enggak ada riwayat penyakit lain selain ini. Nanti ditransfusi darah ya, Bu, hemoglobinnya tujuh ini," kata dokter Chandra seraya menulis di atas lembar catatan dokter. "Oh iya, nanti saya minta tolong perwakilan keluarga di ruang dokter ya, ada yang mau saja jelaskan terkait rencana tindakan yang akan kami lakukan."

"Baik, Dok," sahut keluarga pasien dengan cemas. 

Kemudian barisan para dokter itu pergi meninggalkan ruangan menyisakan Valentina yang baru selesai mengambil darah pasien setelah dua kali gagal karena pembuluh darah perempuan yang sedang sakit ini sangat tipis. Dia terlonjak kaget mendapati Raditya ternyata masih berdiri di ambang pintu. 

"Di mana kemarin?" tanya lelaki itu. "Kenapa enggak pulang?" 

"Ini siapa yang ngomong, enggak kelihatan orangnya," sindir Valentina melintas begitu saja sambil melirik sang residen. "Ups, setan ternyata."

Dasar istri tak tahu diri, rutuk Raditya dalam hati.  

note : 

kolitis ulseratif : peradangan pada usus besar dan bagian akhir dari usus besar yang terhubung dengan anus. Biasanya ditandai dengan diare terus-menerus disertai darah atau nanah.

kripta : kelenjar yang ada di lipatan usus yang berguna memperbaiki permukaan usus dan menghasilkan cairan pelapis usus. 

destruksi : rusak.

kripta destruksi : kelenjar pada lipatan usus yang rusak. 

S3 : salah satu derajat keparahan kolitis ulseratif pada klasifikasi Montreal. Derajat ini ditandai dengan diare >6x, nadi >90x/menit, anemia, atau demam. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top