18
"Loh, Tina!" seru Okin berpapasan dengan Valentina di masjid dengan rambut basah. "Enggak punya rumah ya sampai mandi di sini?" ejeknya sambil tertawa.
"Kampret! Mandi di sini gratis dan praktis, kamu enggak bisa membedakan antara enggak punya rumah sama memanfaatkan fasilitas yang ada," kilah Valentina membuka tasnya dan mencari pouch make up. Setelah ketemu, barulah dia memulai ritual mengenakan berbagai macam riasan seperti moisturizer agar wajahnya tak kering kerontang bak di gurun pasir, memulas bedak, menggambar alis dan terakhir lip tint oranye. Tak lupa menyemprotkan parfum banyak-banyak agar semerbak.
"Mau praktik apa open BO?" ledek Okin yang dibalas pukulan di lengan.
"Jancuk lambemu, ini tuh namanya menjaga penampilan," kata Valentina. "Masa iya habis putus terus muka tak terurus, oh tidak bisa bestie."
"Oh iya, kamu putus sama Brian ya. Galau tuh dia," kata Okin. "Kemarin kita ngopi sama ngerokok--"
"Heh!" hardik Valentina marah. "Kamu kok ngajarin Brian ngerokok?"
"Awakmu sopo? Wong mari putus kok sok perhatian," bela Okin tak mau disalahkan. "Makanya kalau masih sayang jangan asal bilang putus."
(Kamu siapa? Orang habis putus kok sok perhatian)
Sebelum melempar umpatan kepada Okin, iris mata Valentina menangkap sosok Raditya tengah berjalan cepat bersama beberapa beberapa anak koas dan Julia yang berjalan di sisi kanannya. Beberapa saat lelaki itu menoleh dan bertemu pandang dengan Valentina. Buru-buru gadis itu menutup wajahnya dengan pouch make up berbarengan kejut listrik yang tiba-tiba mendebarkan dada. Walau cuaca Surabaya luar biasa panas, tapi menurut Valentina tubuhnya menggigil. Dia hendak berdiri namun tak sanggup ketika tungkainya juga ikut melemah akibat aura Raditya yang begitu kuat seperti Voldemort. Mematikan.
"Mukamu merah," tunjuk Okin lalu tersenyum seakan tahu apa yang ada di pikiran temannya. "Hayo ... ada gebetan ya ..."
"Ngawur!" ketus Valentina. "Udah sana balik ruangan!"
Okin masih terkekeh sambil menunjuk Valentina sebagai perempuan yang terlampau cepat move on. Dia menebak kalau ada lelaki lain yang hadir di hati gadis itu sampai berani memutus hubungan dengan Brian. Entah kenapa Okin sedikit curiga dengan seseorang yang kemungkinan memiliki kedekatan dengan Valentina. Jika diingat-ingat, sosok dokter residen galak di UGD itu memiliki tatapan aneh kepada temannya. Lelaki tambun itu mengangkat bahunya tak ingin terlalu kepo lebih jauh lagi dan memilih bergegas kembali ke ruang ICU Anestesi sebelum senior mengomelinya.
###
Monyet mata empat : Kalau praktik enggak usah menor
Monyet mata empat : pulang jam berapa?
Monyet mata empat : Mau kupesenin makanan enggak? Biar di antar sama kang ojek
Curut : Mauuuuuuuu
Valentina terkikik sendiri saat dia curi-curi kesempatan untuk mengecek notifikasi ponselnya. Hatinya dipenuhi pohon-pohon Tabebuya merah jambu yang biasanya bermekaran sepanjang musim kemarau di Surabaya. Kalau soal makanan, Valentina akan menerima dengan sukarela. Apalagi sedari pagi, dia belum makan sama sekali karena harus menemui si perpustakaan berjalan--Bu Christina--untuk bimbingan kasus.
Selain itu, besok dia ada ujian praktik sebelum pindah stase ke ruang penyakit dalam perempuan. Dia kedapatan melakukan suction dan menghitung obat syringe pump, sementara Okin dan Dyas mendapat ujian menghitung CVP dan hafalan obat-obat di ruang ICU.
Senyum yang mengembang bak roti kelebihan baking powder itu lenyap ketika teringat dengan Julia yang bisa saja ada di samping Raditya. Kemudian Valentina mengetik pesan balasan sambil memajukan mulut berharap kalau lelaki itu tidak melupakan ciuman pertama mereka sebagai pasutri.
Curut : Tumben baik. Salah minum obat apa karena habis cium anak orang?
Curut : Tadi ketemu aku kok diem.
Curut : Oh iya, ada nenek lampir.
Monyet mata empat : ngomong apa sih? Jadi org baik salah, jahat salah.
Monyet mata empat : anak org itu istri aku.
Jikalau bukan di ruang ICU, mungkin Valentina akan melakukan gerakan kayang seperti masa menjadi anggota cheerleader. Entah setan mana yang sedang merasuki Raditya hingga lelaki itu berubah melebih 360 derajat. Apakah gunung es seperti Raditya sudah mencair akibat ciuman semalam?
Ah, mana mungkin, pikir Valentina tidak ingin berbesar hati. Toh, kemarin dia merasa belum pro memagut bibir Raditya.
"Apa perlu aku liat film hot-hot pop?" gumamnya.
"Dek mahasiswa!" teriak perawat hampir membuat ponsel Valentina terjatuh.
Haish, enggak enakin orang lagi menyusun rencana.
Suara mesin suction terdengar cukup berisik, tangan yang terbungkus hanscoon steril itu tampak lihai melakukan tindakan pembersihan lendir di area mulut pasien yang menggunakan alat bantu napas seperti intubasi. Sesekali dia memberikan oksigen seratus persen agar pertukaran udara di dalam paru tidak terganggu. Sesekali pula, Valentina mendengarkan suara napas pasien apakah masih terdengar adanya ronchi--suara dahak atau tidak.
Selesai melakukan tindakan suction, dilanjut membuang urin yang terkumpul di urobag sambil mencatatnya dalam buku catatan untuk dilaporkan kepada perawat. Valentina juga harus menghitung balance cairan pasien apakah mereka butuh cairan atau malah kelebihan. Jika terlalu banyak cairan, otomatis kerja jantung makin berat yang bisa menyebabkan sesak napas.
Tak berapa lama, pintu ruang ICU Anestesi terbuka memunculkan suara-suara para dokter yang akan visite. Valentina menoleh sejenak lantas membeliak menangkap sosok tinggi berkacamata itu dikerubungi beberapa dokter muda. Meski di WA sikap mereka biasa saja, tapi saat bertemu seperti ini nyali gadis yang mengenakan seragam putih itu ciut.
"Itu pasien Tuan Andi, Dok," tunjuk salah satu dokter ke arah pasien yang urinnya dibuang Valentina. Buru-buru dia berdiri dan membuang cairan kotor itu ke kamar mandi daripada harus menerima pertanyaan yang biasanya diajukan oleh dokter residen kepada mahasiswa.
Raditya yang tahu sosok Valentina menghindari dirinya hanya tersenyum tipis. Seraya menaikkan kacamata yang sedikit melorot, dia menghampiri pasien yang bernama Andi yang baru menjalani operasi tumor otak. Sembari menunggu Valentina keluar dari kamar mandi, Raditya memantau monitor juga obat-obat yang sudah diberikan kepada pasien itu.
"Pasiennya kemarin sempat kejang, Dok," lapor salah satu koas sambil membuka catatannya.
"Kejang? Kenapa? Mana hasil EEG-nya?"
Valentina keluar kamar mandi dan mata Raditya langsung berkilat tak sabar mengusili istri kecilnya. "Itu siswa perawat, sini!"
Yang dipanggil berbalik dan mulutnya serasa menyentuh lantai dingin ini, seraya menunjuk diri sendiri dia berkata, "Saya?"
"Iya kamu, sini!" panggil Raditya.
Antara ragu dan ketakutan, Valentina terpaksa menyeret kakinya mendekati para dokter itu. Sungguh rasa percaya diri yang biasanya berkobar seperti api unggun kini padam seketika. Entah kenapa dia merasa cemas oleh pikirannya sendiri kalau Raditya bakal membuat malu dirinya.
"K-kenapa, Dit eh Dok?" tanya Valentina hampir keceplosan memanggil nama suaminya.
"Ini pasiennya kejang semalam, menurut kamu dia kenapa dan obat apa yang diberikan" tanya Raditya lalu menaikkan sudut bibirnya.
Untuk beberapa saat, kelopak mata Valentina tak bergerak justru fokus pada lekukan bibir Raditya yang semalam menyapanya. Aroma napas odol minta masih terekam jelas di kepala, kecupan lembut yang membuat pusat tubuhnya gemetaran, sampai-sampai pikirannya dipenuhi adegan erotis bak film dewasa.
"Ayo jawab! Malah bengong!" hardik Raditya tak sabar. "Kamu di kampus tidur ya kok ini-itu enggak tahu? Ini pertanyaan gampang loh!"
Valentina mencibir karena benar-benar tak tahu jawabannya. Yang dia hafal, kalau pasien yang mengalami pembedahan di kepala pasti memiliki banyak efek termasuk kejang. Hal itu dikarenakan adanya perubahan loncatan sinyal dalam saraf kepala yang tidak baik. Penanganannya mungkin bisa dengan obat anti-kejang juga pemeriksaan EEG atau CT-scan untuk memindai mana yang tidak normal.
Semua itu bisa Valentina rangkai di kepala dengan sangat mudah, hanya saja ketika menyatakannya tiba-tiba sulit seakan ada gumpalan besar yang menyumbat kerongkongan Valentina. Alhasil dia yang terbayang-bayang kejadian semalam berkata,
"Kejang karena ada listrik yang tidak normal karenamu."
"Eh?"
Valentina mengernyit sebentar sebelum disadarkan kalau ucapannya terlewat ngawur. "Mampus! Lambeku!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top