Bab 9
Wang lo tersadar lebih dulu, meneggakan tubuh dan tersenyum pada Tori. "Apakah kamu mau langsung pulang?"
Tori mengangguk. "Iya, Pak."
"Sudah malam, hati-hati kalau begitu."
"Pak Wang mau kemana?"
"Pulang juga, tapi ada yang menjemputku nanti. Maklum orang tua, sudah nggak kuat nyetir malam-malam."
Mereka berdiri berdekatan di depan lift, berusaha untuk tidak menoleh ke belakang. Terdengar gumama Marco, disusul jeritan Moniq. Para komisaris dan pemegang saham terlihat kebingungan atas baru saja yang terjadi. Berbagai pertimbangan terlintas di benak mereka.
Tori berdehem dan berbisik pada laki-laki di sampingnya. "Pak, apa benar yang dikatakan Garvin kalau suami Miss Siera ingin membunuhnya?"
Wang Lo menghela napas panjang dan menggeleng. "Jangan mudah percaya perkataan orang yang sudah menipu. Ingat itu, Tori!"
Lift berdentang membuka, Wang Lo dan Tori tersingkir saat Moniq serta Marco menyerobot masuk. Keduanya memutuskan untuk menunggu dengan sabar sampai satu per satu para eksekutif masuk ke lift. Tori masih tidak percaya dengan pendengarannya saat tanpa sengaja menangkap percakapan antara Deana dan Garvin.
"Sayang, kenapa kamu lemah sekali. Harusnya kamu jangan biarkan River menggertakmu!"
"Deana, kamu lihat sendiri kekuatannya seperti banteng. Masih syukur aku nggak kehilangan nyawa."
"Benar juga, laki-laki itu memang bar-bar dan kampungan. Cocok dengan Siera."
"Sungguh nggak nyangka, kalau Siera yang anggun akan memilih River untuk menjadi suaminya."
"Kok kamu masih memuji Siera? Kamu belum lupa sama dia?"
Tidak menghiraukan Garvin yang terpincang-pincang, Deana masuk ke lift lebih dulu. Hampir aja Garvin terjepit kalau bukan karena Wang Lo bertindak sigap menahan pintu.
"Deanaa, kenapa kamu tega padaku."
"Rasakan akibatnya, siapa suruh masih cinta sama mantan!"
"Bukan begitu, Deana."
Percakapan mereka terputus oleh lift yang bergerak turun. Tori menggeleng perlahan. "Entah kenapa aku berharap Garvin benar-benar terjepit sampai tangannya remuk. Laki-laki jahat dan tidak tahu diri!"
"Percayalah Tori, aku pun mengharapkan hal yang sama. Mungkin suatu saat nanti harapan kita terwujud."
Keduanya bertukar pandang dan bertukar tawa kesal. Sama-sama membenci Garvin hingga ke pembuluh nadi.
**
River membawa kendaraan keliling kota, mengulur waktu untuk memberikan kesempatan pada istrinya merenung. Sikap dan suasana hati Siera memburuk saat keluar dari kantor. Ia mengerti bagaimana rasanya dikucilkan oleh orang-orang terdekat, karena pernah mengalaminya. Sikap berani dan keteguhan hati yang membuatnya mampu bertahan dan kini berkuasa. Siera juga harus melakukan hal yang sama. Tetap bertahan demi membela apa yang dimiliki sekarang.
Ia menyetel musik dari radio. Memutar dengan volume sepelan mungkin, sesekali mengikuti irama musik dan menggoyangkan kepala dengan jari mengetuk kemudi. Layar ponselnya menyala, saat di lampu merah River membaca pesan yang tertera.
"Tuan, kami mendapatkan lokasi Jhoni Khan."
"Kita atur waktu untuk silaturahmi."
Pesan dari Levin dijawab dengan cepat. Cukup kagum pada kemampuan asistennya dalam mencari informasi. Levin memang bisa diandalkan untuk itu. Meskipun tubuhnya lebih kecil dari yang lain, tapi nyali dan otaknya jauh lebih besar dari sebagian anak buahnya.
"Kita mau kemana?"
Siera yang tersadar dari lamunan bertanya pada suaminya. Ia menatap jalanan yang mulai sepi dan tidak mengenali area yang mereka lewati.
"Kita sedang menuju restoran yang enak sekali."
Jawaban suaminya membuat Siera mengernyit. "Kamu bukannya anak rantau? Kenapa bisa tahu tentang restoran yang enak di daerah sini? Aku saja sepertinya belum pernah kemari."
River tergelak dari balik kemudi. "Sayang, aku memang baru bekerja di perusahaanmu, tapi sebelumnya pernah bekerja juga di kota ini. Perusahaan dulu marketing produk impor. Bisa dikatakan aku jalan dari satu toko ke toko lain, mencari supermarket untuk menempatkan barang-barang perusahaan. Makanya aku jadi tahu banyak tempat."
"Pantas saja. Masih jauh? Aku sudah lapar."
"Tidak, kita sudah sampai. Lihat itu!"
Siera menatap bangunan luas berlantai dua, ada musik yang menghentak dari seorang DJ laki-laki. Anak-anak muda menggoyangkan tubuh mereka di depan meja musik. River menghentikan kendaraan, memutari mobil untuk membuka pintu dan membawa istrinya ke lantai dua. Sama luasnya dengan lantai pertama, dan dinding pembatas sangat pendek.
"Hati-hati tangga."
"Kamu yakin ini restoran dan bukannya bar?"
"Yah, bisa dibilang dua-duanya tapi aku jamin makanannya enak. Kamu pasti suka."
Mereka duduk di sofa panjang dengan meja kayu. Dari tempat duduknya, Siera bisa melihat kondisi lanta bawah yang ramai. Nyaris semua meja terisi oleh pengunjung yang menikmati makanan sambil mendengarkan irama DJ yang menggelegar. Aroma daging bercampur dengan bir dan alkohol, menyatu di udara terbuka.
Seorang pelayan mendatangi mereka, gadis muda dengan rambut dikuncir ekor kuda. Memakai seragam putih ketat dengan rok yang hanya menutupi pinggul. Menatap ke arah River dan mengedipkan sebelah mata.
"Halo, Tampan. Sudah lama tidak melihatmu kemari."
River tersenyum. "Aku pesan yang biasa, dua porsi. Satu lagi untuk istriku."
Pelayan muda itu terkejut. "Kamu sudah menikah. Wow, aku kalah cepat rupanya." Mengalihkan pandangan pada Siera, gadis itu tersenyum. "Selamat, kamu berhasil menikahi pelanggan kami yang oaling tampan. Silakan ditunggu, pesanan sedang kami siapkan."
Saat gadis itu menuruni tangga, Siera yang tercengang menatap River heran. "Ada apa dengannya?"
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Dia hanya mencoba bersikap ramah."
"Kamu sering datang kemari? Sampai dilebeli pelanggan paling tampan."
"Hahaha, dia hanya bercanda. Tunggu saja, Sayang. Makananya pasti enak."
Siera tidak terlalu yakin dengan rasa makanan dengan tempat yang lebih mirip bar dari pada restoran. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tertuju pada meja di ujung. Ada seorang perempuan cantik bermata sipit dengan pakaian kimono ungu. Bersama perempuan itu ada seorang laki-laki sangat tampan dengan setelan putih. Sungguh pasangan yang unik dan kontras. Tapi kalau dilihat-lihat, orang-orang yang datang ke tempat ini memang rata-rata berpenampilan mencolok.
Pelayan tadi datang, membawa dua botol bir dingin dan dua mangkok cemilan. River mengambil beberapa cemilan dan mengunyahnya. "Ehm, enak sekali, Sayang. Kamu harus coba."
Awalnya Siera agak ragu-ragu untuk mencoba. Cemilan beralaskan kertas itu sangat berminyak. Karena lapar ia mengambil dua biji dan memakannya. Pada gigitan pertama membuatnya tersenyum dan terus mengunyah.
"Enak sekali. Apa namanya?"
"Entah, apa namanya tapi setahuku dalamnya abon ikan. Hanya pemilik restoran yang tahu apa namanya karena tidak ada menu di sini. Kita hanya menyebut ingin makan ikan atau daging."
"Restoran yang aneh. Tadi kamu pesan apa?"
"Steak dan menurutku rempah yang digunakan sangat berbeda. Kamu tunggu saja."
Steak yang datang ukuran besar, berupa T-bone steak yang panas dan berminyak dengan bumbu lada hitam. Ada buncis, kentang, serta biji-bijian sebagai pelengkap. Dihidangkan di atas piring porselen putih, steak menguarkan aroma yang menerbitkan air liur. Siera mengiris steaknya menjadi potongan kecil dan mengunyahnya perlahan. Mengangguk dengan mata berbinar senang.
"Benar-benar enak, aku suka!"
River mengangkat botol dan mengajak istrinya bersulang. "Ayo, kita makan steak dan minum bir."
Siera mengangkat botol dan membenturkannya ke udar. "Ayo, makan kenyang. Tapi, toleransiku terhadap alkohol sangat rendah."
"Nggak apa-apa, Sayang. Ada aku yang akan jaga kamu."
Ternyata apa yang dikatakan Siera bukan basa-basi belaka. Kadar toleransinya terhadap alkohol sangat rendah. Tiga botol bir dan membuat wajah cantiknya memerah. Makan cemilan tiada henti, sampai-sampai River harus memesan dalam porsi besar.
"Aku suka tempat ini, sangat suka!" Siera terkikik, hendak minum lagi tapi River menahannya. "Napa sih?"
"Kamu sudah mabuk."
"Nggak, aku belum mabuk. Aku masih waras, lihat ini!" Siera bangkit dengan goyah, berdiri tegap lalu berikutnya meleyot dan jatuh ke sofa. "Aku jatuh."
Untung saja River bertindak sigap dengan menahan tubuhnya, kalau tidak pasti kepalanya terbentur meja. Meski begitu Siera tetap tidak peduli, menunggu saat River lengah dan kembali meneguk birnya. Mengusap mulut dengan punggung tangan dan mencubit pipi River.
"Suamiku yang tampan dan menggemaskan, apa kamu tahu yang dikatakan orang-orang itu hari ini tentang kita?"
River duduk di samping Siera, menyangga kepala istrinya agar tidak membentur meja. Ia mengusap rambut Siera dan bertanya dengan suara parau karena menyadari betapa cantik istrinya dalam keadaan mabuk. "Apa yang dikatakan mereka?"
Siera terkikik. "Uhm, macam-macam. Mengatakan aku anak haram yang merebut kasih sayang Papa. Memakiku lahir dari tempat sampah dan menghinamu pengangguran. Mereka semua jahat padaku, sangat jahaaat. Aku benci mereka."
"Apa mereka ingin menggeser posisimu?"
"Iyaa, digantikan Kak Marco. Memang secara umur dan pengalaman, Kak Marco lebih cocok. Tapi Papa menyerahkan padaku. Menurutmu kenapa, River?"
"Berarti papamu tahu kalau kamu lebih dari mampu."
"Nggak tahu, aku bingung, aku pusing. Semua orang jahat padaku, dan bikin aku sedih." Siera meletakkan kepalanya di bahu River dan mendesah. "Aku merasa sendiri, nggak ada yang sayang sama aku." Berikutnya terisak, dan tak lama terkulai dalam pelukan River.
Mengusap wajah istrinya yang tertidur, River menggumam perlahan. "Sayang, kamu nggak sendiri. Ada aku yang akan menjagamu, selalu dan selamanya."
River melambaikan tangan, Atoki yang berkimono ungu dan Levin yang memakai setelan putih mendekat. "Amankan jalan, aku ingin menggendong istriku. Minta Flint menyetir."
Levin mengangguk. "Baik, Tuan."
Atoki menaikkan sebelah kaki ke pagar pembatas lalu bersuit. Musik seketika terhenti, orang-orang yang menari menyingkir. Suasana yang hiruk pikuk menjadi sunyi senyap. River menggendong istrinya menuruni tangga dengan Levin menuntun jalan. Para pelayan, DJ, serta koki berbaris di ujung tangga dan membungkuk saat River melewati mereka.
"Terima kasih atas kedatanganya, Tuan."
"Selamat jalan, Tuan. Hati-hati di jalan."
River mengangguk ke arah mereka. "Kerja bagus malam ini."
Pujian River membuat semua orang gembira. Mobil menyala di depan pintu masuk. River duduk di jok belakang sambil menyangga tubuh istrinya sedangkan Flint berada di balik kemudi. Saat kendaraan membawa mereka menjauh, Atoki bersuit sekali lagi dan musik kembali menggelegar.
"Kakak Ipar ternyata nggak bisa minum alkohol," gumam Levin.
Atoki melirik laki-laki tampan di sampingnya. "Bukannya kamu bilang harusnya memanggil dengan sebutan nyonya?"
"Ah, jangan sampai Flint tahu soal ini. Dia pasti menertawakanku."
"Wah, nggak janji, ya. Bisa jadi aku keceplosan, Kakak Ipar."
"Heh, bagaimana kalau aku memberimu samurai yang baru saja aku dapatkan dari razia?" Levin merangkul bahu Atoki. "Sangat langka, dan pemiliknya yakuza Jepang."
"Serius?"
"Benar, tapi ingat. Pegang janjimu."
"Tenang, aku pegang janjiku. Berikan samurainya padaku, segera!"
Levin mengeluh dalam hati, kalau bukan karena perseteruannya yang tiada akhir dengan Flint, ia tidak akan kehilangan samurainya yang langka dan berharga.
.
.
Bab baru akan update hari ini di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top