Bab 8

Garvin melotot, berusaha melepaskan diri tapi sulit. Jemari River mencengkeram dengan kuat, dan satu lutut berada di antara selangkangannya. Sekali ia salah bergerak, dua anggota tubuhnya akan terluka. Bagian leher dan alat vitalnya. Ia meronta tapi justru membuatnya makin tersengal. Sorot mata River membuatnya seolah berada di ambang kematian.

Deana menjerit, ingin membantu kekasihnya melepaskan diri dan River membentak keras.

"Tetap di tempatmu atau laki-laki brengsek ini mati!"

Deana ternganga, untuk sesaat ragu-ragu. Tidak percaya dengan ancaman River tapi saat melihat Garvin tersengal dengan mata melotot, ia mengerti keadaanya gawat.

"Laki-laki kurang ajar!" makinya geram. Meski begitu memilih untuk menjaga jarak dan berdiri di samping Wang Lo yang seolah tidak terganggu dengan apa yang dilihatnya.

River sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari Garvin. Tersenyum kecil yang tidak mencapai matanya. Satu jari mengusap sisi leher Garvin, tidak peduli dengan mata yang melotot ketakutan. Ia yakin, saat dilepas nanti maka laki-laki yang sedang diancamnya akan terkencing-kencing.

"Kamu pikir kamu hebat? Memakiku sembarangan? Kamu tak ubahnya sampah karena sudah melukai hati seorang perempuan yang tulus padamu. Kamu mungkin bisa menipu Siera, menggunakan kebaikannya untuk keuntunganmu sendiri. Harusnya dari awal kamu nggak setuju menikah dengannya. Laki-laki bangsat sepertimu tidak pantas untuk Siera!"

Melepaskan cengkeramannya, River membanting Garvin ke lantai. Laki-laki itu terpelanting dan tersengal kesakitan. Ia menginjak jemari Garvin yang tertutup sepatu dan laki-laki itu menjerit.

"Garviin!" Deana menjerit dramatis, menghampiri kekasihnya yang terjungkal di lantai.

River mengibaskan tangan lalu mengusap rambutnya. "Aku masih nggak percaya kenapa Siera bisa naksir laki-laki macam dia. Astaga! Dia bahkan tidak punya nyali untuk berkelahi! Baru diinjak saja sudah menjerit seperti perempuan!"

Garvin berusaha untuk duduk, menahan satu-satunya harga diri yang masih tersisa. Tidak percaya kalau dirinya terlihat lemah di hadapan River. Mengusap kakinya yang sakit dan sepertinya memar. Duduk sambil menenangkan diri. Pembelaan Deana yang berlutut di sampingnya, membuatnya makin terlihat lemah.

"Kami bukan manusia bar-bar sepertimu!" teriak Deana. "Kamu pikir hebat bisa mengancam? Kalau sampai ada luka-luka, lihat saja apa yang terjadi nanti! Kami akan membunuhmu!"

"Oh, kalian mau membunuhku kalau aku membuat luka? Bagaimana kalau kita coba sekarang? Sepertinya injakan yang tadi tidak cukup keras? Kali ini di bagian bahu atau kepala?" River mengangkat kakinya yang bersepatu bot dan membuat gerakan hendak menginjak. Matanya menyorot dingin dengan niat membunuh, bahkan Wang Lo yang berdiri di sisi dinding bisa merasakan dinginnya. Tanpa sadar mengusap bulu kuduknya yang merinding.

Kaki River terhenti di udara karena teriakan Deana. "Toloong, pembunuh!"

Pintu ruang rapat membuka, orang-orang yang ada di dalam bermunculan. Berjalan paling depan adalah Siera bersama Tori. Saat melihat suaminya berdiri di atas Garvin dan Deana yang ketakutan, Siera bergegas mendatangi mereka.

"River, kenapa ada di sini?"

Senyum River mengembang dan tertuju pada istrinya. "Sayang, sudah selesai rapatnya?"

Siera mengangguk. "Sudah. Apa yang terjadi di sini?" tanya heran.

Deana bangkit dan menunjuk River dengan jari gemetar. "Suami brengsekmu itu, dia mengancam kami. Dengan kekuatannya ingin mencekik dan membunuh Garvin!"

Mengerjap bingung, Siera tidak mengerti dengan kata-kata Deana. Seingatnya suaminya sangat lemah lembut dan santun, mana mungkin melakukan perbuatan brutal seperti itu.

"River, benar begitu? Kamu mencekik Garvin?"

River menghela napas dramatis dan menggeleng dengan mimik sedih. "Aduh, istriku. Mana mungkin aku melakukan itu? Membunuh lalat pun aku nggak tega. Masa, iya, mencekik orang?"

Pembelaan Garvin membuat Deana dan Garvin menggeleng, melotot dan melontarkan makian pelan. River melirik tajam pada mereka, membuat Garvin kembali menutup mulut..

"Benar juga, kamu nggak mungkin melakukan itu," gumam Siera.

"Kalau kamu nggak percaya, coba tanya sama Paman Wang. Dia ada di sini sedari tadi." River tersenyum pada Wang Lo. "Bagaimana Paman, apakah menurutmu aku yang lemah lembut ini sanggup mencekik orang?"

Wang Lo berdehem, teringat bagaimana mimik membunuh River. Mengusap lehernya yang masih merinding ia menghela napas panjang.

"Miss, bisa saya pastikan kalau suami Anda tidak melakukan seperti yang ditunduhkan mereka."

"Lihat bukan? Aku nggak bohong, Sayang. Kalau memang sudah selesai, bagaimana kalau kita pergi sekarang. Aku ingin mengajakmu makan malam."

"Bukankah tadi masak?"

"Ya, aku sudah bagikan pada orang-orang miskin di sekitar rumah."

"Hah, dari mana datangnya orang miskin? Komplek yang kita tempati itu mahal."

"Nggak tahu, Sayang. Mereka datang dari mana tapi karena kelaparan, aku membiarkan mereka makan. Jadi, kita makan di luar saja bagaimana?"

Siera menghela napas dan mengangguk pada ajakan suaminya. Entah kenapa ia tidak pernah bisa menolak apa pun keinginan River. Terlihat sangat lembut dan manja, tapi River kalau punya keinginan sangat gigih. Mendesak perlahan dan tanpa disadari, ia pun setuju.

Percakapan keduanya membuat orang-orang terdiam. Tidak ada yang bergerak dari lorong, terpukau dengan apa yang mereka lihat sekarang. Seorang laki-laki tinggi, tampan, dan bermata abu-abu dengan penampilan layaknya anak muda berupa celana kargo dan sepatu bot, sedang merayu istrinya. Posturnya yang terlihat sangar tidak sesuai dengan kata-kata lembut dan senyum cemerlang dari bibirnya. Setelah mereka perhatikan, Garvin yang biasanya terlihat tampan ternyata kalah tinggi dan pesonanya hilang di samping River. Apakah ini laki-laki yang disebut suami atau bapak rumah tangga oleh Marco?

River mendekat, merangkul bahu istrinya dan berbisik. "Aku melihat saudara-saudaramu seperti hendak menelanmu bulat-bulat. Apakah kamu membuat mereka marah, Sayang?"

Tersenyum kecil, Siera berjinjit dan mendekat ke telinga suaminya. Hidungnya tergelitik oleh aroma tubuh yang menenangkan dari River. Ini pertama kalinya mereka sedekat ini setelah menikah. Mengabaikan debar aneh, Siera berbisik cukup keras untuk didengar orang-orang yang berdiri dekat mereka.

"Saudara-saudaraku marah karena mereka tidak bisa menggeser kedudukanku."

"Ah, begitu rupanya. Agak aneh, ya? Kenapa rapat soal perusahaan dilakukan tengah malam. Mungkin mereka berpikir waktu seperti sekarang kita berdua sedang di atas ranjang. Maklum, pengantin baru."

Siera tergelak malu-malu. "Sepertinya begitu."

Marco bertukar pandang dengan Titus, memberi tanda pada yang lain untuk meneruskan langkah. Berhenti tepat di depan Siera, ia mengamati River dengan seksama. Ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki bermata abu-abu ini saat di kantor. Sebagai pimpinan sangat jarang berinteraksi dengan pegawai rendahan. Ia bahkan tidak pernah tahu sosok River sampai di hari pernikahan dan mengajukan diri menjadi suami Siera. Laki-laki ini membuat rencananya hancur dan kemarahan menggelegak dalam dada.

"Apa kamu tidak tahu malu? Datang ke kantor untuk membuat gaduh?"

Siera memosiskan diri di antara River dan Marco. Berusaha melindungi laki-laki yang menjadi suaminya.

"Kakak, suamiku punya hak yang sama dengan siapapun untuk datang dan pergi di kantor ini."

"Memang, tapi tidak dengan membuat keributan apalagi mengancam membunuh."

"Astaga, apa kamu percaya ucapan Deana? Bagaimana mungkin suamiku yang lembut bisa melakukan hal seperti itu? Aku sarankan, kamu periksa kejiwaan Deana dan Gravin. Sepertinya saraf otak mereka terganggu."

"Tidaak! Kami baik-baik saja. Suamimu memang kurang ajar!" sergah Garvin. Pandangan matanya tertuju pada Siera. "Kamu jangan sampai tertipu sama laki-laki ini, Siera. Dia tidak seperti yang terlihat!"

Siera mendengkus, tanpa menatap Garvin menjawab laki-laki itu. "Cobalah berkaca, siapa yang seharusnya tidak aku percayai. Kamu yang telah menipuku, atau suamiku sendiri?"

"Siera, aku—"

"Tutup mulutmu! Jangan meneriaki istriku!" River berkata mengancam dan membuat Garvin mundur.

"Wah-wah, kita nggak nyangka kalau laki-laki pengangguran ternyata bisa bersikap keras. Apa yang ingin kamu pamerkan? Kalau kamu punya tenaga untuk melukai orang lain?" Moniq maju, berdiri di samping Marco. Bersedekap dengan pandangan tertuju pada River. "Dari pada kamu bersikap seperti orang kampungan yang miskin, kenapa tidak bekerja lebih keras demi istrimu, hah!"

River memeluk bahu Siera dengan lembut. "Untuk apa aku kerja kalau istriku sudah bisa memberiku semuanya."

"Hah, harga diri laki-laki itu ada pada perkerjaannya!"

Menunjuk pada Tony yang berdiri di deretan belakang, River membalas perkataan Moniq. "Kalau begitu suamimu itu apa? Karena seingatku saat bekerja di sini, semua pegawai tahu kalau suamimu tidak becus apa pun. Pekerjaam sehari-hari hanya bermain ponsel."

Tony tercengang dengan wajah memucat. Moniq yang dipermalukan merasa geram, mengangkat tangan untuk melayangkan pukulan tapi River lebih dulu bertindak. Meraih lengan sang istri dan mengacungkannya ke udara untuk menangkap pukulan Moniq.

"Ups, terima kasih, Sayang. Sudah menghadang pukulannya untukku. Ternyata kakakmu sangat mengerikan. Tidak heran kalau tidak ada yang dipercaya menduduki jabatan Presdir."

Moniq melotot ingin melepaskan tangan dari cengkeraman Siera tapi sulit. Ia mendengkus keras. "Lepaskan tanganku!"

Siera sendiri kebingungan, kenapa tangannya bisa menangkap pukulan Moniq dengan cepat dan akurat. Ia bisa merasakan River mengangkat lengannya, awalnya mengira akan menghindar tapi ternyata salah. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau besarnya kekuatan cengkeramannya membuat Moniq kesal. Cukup menyenangkan ternyata, melihat bagaimana kakaknya yang judes dan arogan ini ketakutan.

"River, menurutmu apakah aku bisa mematahkan tangan dalam cengkeramanku?"

River mengangguk. "Bisa, mau dicoba, Sayang."

Moniq terbelalak lalu melolong. "Dasar gadis kampungan! Suamimu juga tidak kalah kampungan. Lepaskan aku!" Ia nyaris terjungkal saat Siera tiba-tiba melepaskan cengkeraman. Moniq berusaha menegakkan tubuh dan harga dirinya.

Siera meraih lengan River dan tanpa berpamitan mengajak ke arah lift. "Ayo, kita pergi makan. Aku lapar sekali."

"Ah, kebetulan ada restoran enak yang kita harus coba."

Siera menoleh pada Wang Lo dan Tori. "Kalian pulang saja. Aku akan pergi bersama suamiku."

Wang Lo dan Tori membungkuk, menatap kepergian Siera yang mengapit lengan River. Keheningan panjang menyusul di lorong saat sosok Siera dan Garvin menghilang ke dalam lift.
.
.
Di Karyakarsa update bab 30.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top