Bab 16

Dalam keadaan terguncang, Siera menunda rencana untuk menjenguk sang papa. Ia tidak ingin pergi ke rumah sakit dalam keadaan kalut. Seumur hidup baru kali ini berhadapan dengan seseorang yang ingin mati. Tidak menyangka kalau hal buruk yang menimpa Nuna begitu besar, hingga keinginan untuk mengakhiri nyawa sangat kuat. Alih-alih pergi ke rumah sakit, ia menyibukkan diri dengan membuka laporan dan mengeceknya. Berusaha untuk tetap konsentrasi meskipun bayangan Nuna yang meraung penuh kesedihan membayanginya.

Siapa orang yang menodai Nuna? Apakah laki-laki itu seseorang yang cukup berkuasa di perusahaannya sampai-sampai Nuna takut untuk bicara? Siera berniat untuk menyelidiki, dan akan mencari orang yang tepat untuk membantunya.

Di seberang meja, River terduduk di sofa empuk. Mengotak-atik ponsel di tangan. River yang mengerti perasaan istrinya juga tidak memaksa untuk pergi. Setelah bicara dengan pihak kepolisian, ia menemani Siera di dalam ruangan. Tanpa kata, membiarkan istrinya bekerja. Berpikir mungkin saja bekerja akan membuat istrinya melupakan kesedihan. Namun saat melihat Siera lebih sering melamun dan menatao dokumen dengan tatapan kosong, pikirannya berubah. Ia bangkit dari sofa dan menghampiri meja istrinya.

"Nggak konsen kerja?"

Siera mengangguk. "Iya, teringat wajah Nuna terus menerus."

"Kalau begitu cukup sampai di sini kerjanya."

"Tapi ini masih sore, terlalu awal untuk pulang!"

River menyandarkan pinggul di meja dan mengangkat dagu Siera dengan telunjuknya. Mengusap pipi yang lembut dengan ibu jari. Melihat bagaimana mata Siera terbelalak karena keberaniannya melakukan sentuhan. Mereka jarang sekali berada dalam jarak yang dekat dan jemarinya berada di wajah Siera. Selama lebih dari satu bulan menikah, selalu menjaga jarak dan sibuk dengan urusan masing-masing. Meski begitu River tetap menaruh perhatian penuh pada apa yang terjadi dengan istrinya.

"Buat apa kamu memaksakan diri bekerja kalau sedang tidak konsen."

"Banyak pekerrjaan, aku—"

"Bisa dikerjakan esok hari. Malam ini sebaiknya kamu bersantai. Ingin makan malam yang romantis atau pijat di spa?"

Mata Siera berbinar penuh harap. "Pijat?"

"Benar, kamu bisa santai di spa dan biarkan tubuhmu dipijat serta dilulur. Siera, jangan memaksakan diri kalau sedang tidak mood. Kamu manusia bukan robot."

Siera memejam, membiarkan jemari yang lembut mengusap pipinya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun, tapi saat ini seolah tidak punya tenaga untuk menegakkan kepala.

"Philip menunda menyerahkan laporan, dengan alasan sibuk. Sedangkan aku tahu kalau laporan ditahan karena terjadi sesuatu di internal departemen keuangan. Kami bertengkar di telepon. Dia memakiku, sedangkan yang aku lakukan adalah memintanya menuntaskan pekerjaan."

River teringat pertengkarannya dengan Philip di depan lobi dan kini mengerti kenapa laki-laki itu bersikap agresif padanya.

"Nuna hampir bunuh diri karena pelecehan sexual. Ini baru pertama kali terjadi dan saat papaku yang memimpin tidak pernah ada skandal apa pun. Apakah menurutmu aku nggak becus?"

Belaian River di pipi Siera terhenti. Ia menangkup wajah istrinya dengan hati-hati. Mengamati wajah cantik, pipi halus, dan bibir yang merona. Siera jarang sekali tersenyum yang membuatnya terlihat sombong dan angkuh, padahal wajahnya akan bersinar setiap kali senyum muncul di bibir. River menahan diri untuk tidak mengecup dan melumat bibir merona di hadapannya. Istrinya sedang membutuhkan penghiburan dan bukan pikiran mesum.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Dari pada kamu bersedih, lebih baik mencari siapa pelaku pelecehan. Dengan begitu kamu mengerti, kalau tidak semua hal bisa kamu kontrol meskipun kamu adalah Presdir."

Siera membuka mata, wajah River begitu dekat dengannya. Mata abu-abu suaminya menyorot tajam dan tanpa sadar ia bergidik.

"Sayang, bahkan seorang penguasa pun tidak punya kontrol sepenuhnya pada rakyat. Apalagi kamu? Karena itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri."

Meneguk ludah, tanpa sadar Siera membasahi bibir. River yang tampan dengan senyum kecil tersungging tanpa sadar membuatnya terpesona. Ia berusaha memperingatkan diri sendiri untuk bersikap normal. Laki-laki yang sedang tersenyum di hadapannya memang suaminya, tapi tidak benar-benar menjadi miliknya.

"Siera ...."

"Ya?"

"Jangan membasahi bibir, kamu membuatku ingin sekali menciummu."

Siera ternganga, melepaskan cengkeraman River dari wajahnya dan merapikan dokumen. Kata-kata River seolah perangkap untuknya dan ia sedang tidak ingin masuk dalam jebakan itu. River memang suaminya, tapi hubungan mereka tidak cukup dekat untuk berciuman intim layaknya pasangan. Ia berdehem, mengusap dokumen dan meletakkan ke dalam laci.

"Aku ingin spa, apa kamu punya rekomendasi tempat spa yang bagus?"

River mengangguk cepat. "Tentu saja, Sayang. Aku akan mengantarmu ke spa. Tapi, kamu yakin tidak akan ke rumah sakit sekarang?"

Siera menggeleng sedih. "Aku nggak mau Papa merasakan kesedihanku. Besok pagi sebelum bekerja aku akan mampir."

"Ide yang bagus. Ayo, rapikan barang-barangmu dan bersiaplah. Aku akan mengantarmu ke spa."

Siera tidak tahu kemana suaminya akan membawanya pergi. Ia mempercayai sepenuhnya ide dan pemikiran River. Kalau dipikir lagi, semua tindakan River tidak sesuai dengan profilnya. Bukankah suaminya mengatakan laki-laki perantauan yang miskin? Tapi bisa menemukan restoran dengan daging steak yang lezat, dan sekarang tempat spa. Siera jadi teringat sesuatu.

"Kamu tiap hari belanja?"

River mengangguk. "Tentu saja."

"Di mana?"

"Supermarket, pasar, dan tempat-tempat di mana mereka menjual bahan makanan yang segar." River menatap istrinya dari balik kemudi. Pertanyaan-pertanyaan Siera membuatnya tergelitik. "Kenapa? Ada masalah?"

Di akhir bulan, Siera tidak menerima tagihan kartu kredit padahal sudah meminta River menggunakannya. Tidak ada pembelanjaan untuk satu bulan penuh, tapi setiap hari ada makanan hangat yang terkadang dibuat dengan bahan yang tidak murah. Dari mana River menggunakan uang untuk belanja setiap harinya?"

"Kartu kreditku, kenapa nggak dipakai?"

"Oh, belum perlu."

"Kalau begitu dari mana kamu dapat uang untuk belanja?"

River mengangkat bahu. "Sayang, bahan makanan yang aku masak setiap hari tidak mahal. Uang tabunganku lebih dari cukup untuk belanja."

"Tapi, uang tabunganmu bisa habis!"

"Kalau begitu aku akan minta padamu. Bukankah kamu akan menafkahiku?"

"Berikan nomor rekening bankmu. Aku tranfer sekarang."

"Sabar, Sayang. Kenapa kamu terburu-buru ingin menafkahiku? Istri yang baik memang beda."

"Bukan begitu. Kamu butuh uang, River."

"Semua orang butuh uang, Sayang."

"Tapi—"

"Tenang saja, aku nggak akan miskin meskipun masak tiap hari buat kamu. Terap bekerja dengan fokus, jangan pusingkan hal lain."

Siera kehabisan kata-kata untuk membantah suaminya. Sama sekali tidak pernah menyangka kalau dalam pernikahan yang terburu-buru dan tanpa niat, justru menemukan suami yang sempurna. Garvin yang pada saat itu adalah laki-laki yang menurutnya paling cocok dan terbaik untuknya, ternyata tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan River. Garvin tampan, tapi tidak bisa memasak, belanja selalu ingin dibayari, dan juga sedikit egois. Sedangkan ia tidak menemukan keburukan dalam diri River.

Tidak mungkin ada manusia yang sempurna, begitu pula River. Pasti ada secuil keburukan atau pun kekurangan dalam diri manusia. Tampan, perhatian, dan penuh cinta, River adalah tipe suami idaman. Sayangnya Siera tidak mudah diperdaya. Di antara begitu banyak kesempurnaan, ia curiga kalau River sedang menutupi sesuatu. Ia yakin suatu saat pasti terbongkar, tapi saat ini lebih mudah kalau menerimanya.

Ia dibawa kesebuah spa yang terletak cukup jauh dari kantor. Berada di pinggir danau, banguna spa tinggi menjulang dengan banyak pohon di sekitarnya. Danau cukup tenang di kala senja, dengan air berkilau terbias cahaya matahari. Ada beberapa orang sedang mengunjungi danau, rata-rata menggunakan roda empat yang terparkir di bawah pohon.

Siera membuka kaca jendela dan mengirup udara sore yang berbau campuran matahari serta embun malam. Ia tidak yakin dengan diskripsi tentang apa yang dirasakannya, tapi menikmati sensasi kesegaran yang mengalir melalui lubang hidung dan memenuhi paru-parunya.

"Wow, segar sekali di sini."

River tersenyum. "Memang."

"Bagaimana kamu bisa tahu tempat-tempat seperti ini?" Siera berdecak kagum melihat bangunan spa yang berbentuk seperti kastil, dengan atap runcing dan menjulang. Meskipun tidak terlalu besar tapi suasana yang tercipta terlihat mewah dan klasik. "Ini keren sekali."

"Klasik bukan?"

"Benar, ide yang luar biasa untuk bentuk bangunan seperti ini."

"Ayo, masuk!"

Mereka disambut oleh dua orang perempuan berseragam. Siera disodorkan paket kecantikan sekaligus perawatan tubuh dan River mendorongnya untuk mengambil yang paling lengkap.

"Tapi, pasti lama nanti. Kamu mau nunggu di mana?" tanya Siera. Kuatir kalau River akan bosan menunggunya.

"Aku akan ada di pinggir danau, menikmati pemandangan. Jangan kuatirkan apa pun, oke? Nikmati waktu bersantai, longgarkan pikiran, dan biarkan mereka memanjakanmu."

Sesaat Siera ragu-ragu sebelum akhirnya setuju untuk mengambil perawatan yang paling lengkap. Dua perempuan membawanya ke atas untuk berganti pakaian. Berada dalam ruangan dengan aroma terapi yang menenangkan, Siera berbaring telungkup dan membiarkan dirinya dipijat.

Di lantai dasar, River menatap Atoki yang berpakaian petugas spa. Ada pedang pendek tersemat di balik pakaiannya. River mengangguk kecil saat anak buahnya datang menyapa.

"Tuan, saya naik sekarang."

"Jaga istriku!"

"Baik, Tuan."

River menunggu Atoki menghilang di lantai atas sebelum membuka pintu dan berdiri menghadap danau. Sebenarnya tempat ini hanya spa biasa, kalau bukan karena ada deretan mobil mencurigakan di pinggir danau. Mobil-mobil itu bukan milik anak buahnya, dan firasatnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi. Karena itu ia meminta Atoki menjaga istrinya, sementara ia melangkah perlahan menuju danau. Desingan senjata terdengar dari belakang, River menghindar ke samping dan sebuah anak panah tertancap di tanah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top