Bab 14
Dua laki-laki berdiri berhadapan di depan pintu geser. Saling memandang dengan sikap menilai. River sendiri menahan gatal di tangan yang ingin sekali memukul Philip. Laki-laki arogan yang merasa punya semuanya. Tidak heran kalau Siera merasa sendiri, mempunyai sepupu yang brengsek seperti ini. Entah apa mau laki-laki ini menghadangnya selain ingin menghina.
"Kenapa diam, River? Senang menikah dengan Siera? Dengan begitu tidak perlu bekerja? Cukup di rumah untuk memasak dan mencuci pakaian? Waah, ternyata ada laki-laki lemah yang lebih suka pekerjaan rumah tangga dari pada menghasilkan uang."
River mengangkat bahu tidak peduli. "Tidak ada salahnya bekerja di rumah yang penting istri senang. Lagi pula, kami sudah sepakat soal itu. Kenapa kamu yang kesal?"
"Tentu saja aku kesal. Siera itu sepupuku, bisa-bisanya menikahi laki-laki macam kamu!"
"Macam aku? Paling nggak aku mencintai dan menyayanginya dari pada Garvin yang bertukar ludah dengan adikmu. Dari pada kamu menguliahiku, kenapa kamu nggak atur adikmu saja?"
Philip mendengkus. "Tidak ada masalah dengan Deana."
River mengangguk. "Memang, Deana tidak masalah tapi kaianlah yang bermasalah. Sengaja bekerja sama dengan Garvin untuk mempermalukan Siera? Demi apa? Kursi Presdir?"
Tangan Philip menjulur untuk menyentakkan krah kemeja River. Tanpa disangka River berkelit dan memukul lengannya, membuatnya nyaris terjerembab. Tidak menyangka kalau pukulan River yang terlihat pelan ternyata menyimpan tenaga yang kuat. Ia mengerjap, menahan marah.
"Brengsek!" makinya. "Laki-laki tidak tahu diri. Tidak seharusnya kamu mengomentari keluargaku! Urus saja isi celanamu agar tidak meluber kemana-mana karena terlalu senang menjadi suami tidak berguna!"
River dengan sikap santai menepuk-nepuk celananya, terutama di bagian selangkangan dan tergelak. "Percayalah Philip, baik celanaku maupun isinya baik-baik saja. Meskipun aku bekerja di rumah tapi istriku tidak mempermasalahkan isi celanaku. Dia cukup puas sejauh ini. Kalau kamu tidak percaya, aku bisa membukanya untukmu. Mau?"
"Laki-laki mesum! Memang pantas Siera mendapatkan bajingan seperti—"
Philip melotot saat River merangkul bahunya dan menekan lehernya dengan satu tangan. Ia melotot, kesulitan bernapas dan berusaha untuk berteriak tapi cengkeraman di lehernya sangat kuat. Ia melirik asistennya yang berdiri bingung di dekat pintu, sama sekali tidak berniat untuk membantunya.
River mendekat dan berbisik padanya. "Kita sama-sama laki-laki. Kalau ada masalah bisa diselesaikan secara fisik. Tidak perlu menggunakan makian seperti perempuan. Payah sekali kau Philip!"
"Sialan!"
"Ah, masih keras kepala juga. Dengarkan aku, tidak masalah kalau kau ingin menghinaku tapi jangan bawa-bawa istriku. Aku peringatkan sekali lagi, jangan sentuh istriku, jangan maki dia, atau aku akan membunuhmu! Sebaiknya kamu urusi adikmu yang kurang ajar itu dari pada istriku!"
Melepaskan rangkulannya secara tiba-tiba, River terdiam saat melihat Philip terbatuk dan tersengal. Ia mengusap bagian depan kemejanya, seakan mengusir debu yang menempel. Asisten Phillip berlari untuk membantu majikannya dan mendapatkan bentakan. River mengabaikan mereka, meninggalkan tempatnya berdiri dengan kotak makan siang di tangan.
"Pak, ada apa?"
"Diam di situ! Jangan sentuh aku!"
Philip menegakkan tubuh melotot pada River yang meninggalkannya. Menggeram marah karena laki-laki itu baru saja mempermalukannya. Ia tidak habis pikir dengan tenaga River yang begitu kuat. Terlihat hanya merangkul biasa tapi jempolnya menekan sisi lehernya dan membuat napasnya tersengal. Ia teringat akan pistol yang tersimpan di dalam tas kerjanya. Menyesali diri karena meninggalkan tas di dalam mobil. Lain kali River berani semena-mena, ia tidak akan segan untuk menembak.
"Ayo! Kita kembali ke kantor! Bawa tasku ke atas!" Ia berteriak pada asistenya sebelum membalikkan tubuh dan bergegas kembali ke lobi. Beruntung sosok River sudah menghilang ke dalam lift, ia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau sampai bertemu lagi di lobi. Bisa-bisa ada baku hantam.
River keluar dari lift, menyapa beberapa pegawai yang berpapasan dengannya. Ia bertemu Wang Lo di dekat pintu, yang bergegas menyambutnya.
"Pak River, seperti datang agak terlambat hari ini."
"Memang, ada penghalang di pintu. Membuatku harus susah payah menyingkirkannya."
"Tapi berhasil disingkirkan bukan?"
"Sudah, terima kasih untuk perhatianmu. Istriku ada di dalam?"
"Ada, Pak. Beliau sepertinya tidak sarapan tadi pagi."
"Baiklah kalau begitu."
Wang Lo membungkuk saat River melewatinya. Seorang pegawai laki-laki membuka pintu ruangan Siera dan River mengucapkan terima kasih padanya.
"Sayang, aku datang!"
River mengetuk bagian dalam pintu, dan memanggil istrinya. Siera memberi tanda sedang menelepon. Meletakkan tas yang dibawanya ke atas meja, River membukanya dan mengeluarkan isinya satu per satu. Menunggu Siera selesai menelepon. Ada macam-macam sushi dan juga salad. Tidak ketinggalan irisan buah yang terdiri atas apel, pil, serta alpukat.
Siera meninggalkan kursi dan terbelalak saat melihat masakan suaminya. "Sushi? Wow, ternyata kamu bisa membuatnya?"
"Tentu saja bisa. Cuci tanganmu dulu dan makan."
Siera menuruti kata-kata suaminya, menuju wastafel untuk mencuci tangan dan mengelapnya. Bergegas ke arah sofa dan menerima uluran sumpit dari suaminya. Mengambil sepotong sushi dan mengunyahnya. "Enaak sekali."
"Paman Wang bilang kamu pagi nggak sarapan. Makan yang banyak, jangan sampai kelaparan."
"Siaap, aku akan makan yang banyak."
River tidak dapat menahan rasa gembira melihat istrinya makan dengan lahap. Siera dengan decak kekaguman dan tidak berhenti memuji masakan suaminya. Ia menandaskan salad lebih dulu, berikutnya buah. Sushi yang dibawa terlalu banyak dan ia merasa tidak sanggup menghabiskannya.
"Apa boleh aku berikay untuk Tori sisanya?" tanya Siera.
"Tanya Tori lebih dulu, dia mau atau tidak?"
"Dia pasti mau."
Sesuai dugaan Siera, asistennya datang dengan gembira. Mengambil kotak yang masih tersisa banyak sushi. Kelezatan hasil masakan River tidak diragukan lagi, semua orang mengetahuinya. Tori tidal segan mengakat kotak-kotak berisi sushi dan berniat membagikan pada teman seruangannya.
"Terima kasih, Pak. Masakan Anda memang selalu enak."
Saat sosok Tori sudah menghilang, River menatap istrinya dengan heran. "Dia baru makan masakanku beberapa kali tapi sudah memuji-muji."
"Karena masakanmu memang benar enak."
"Terima kasih, Sayang. Jam berapa kita ke rumah sakit?"
"Sebentar lagi, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan."
Menunggu istrinya bekerja, River membuka ponsel. Membaca laporan dari Levin tentang tempat perjudian di mana Jhoni Khan biasanya berada. Sampai sejauh ini tidak ada tanda-tanda tentang kehadiran Donius. Atoki dan Flint juga melaporkan keadaan terkini di wilayah Utara. River membalas pesan Atoki, memintanya ke pelabuhan dan melakukan sesuatu untuknya. Jorel yang berada di rumah sakit mengatakan kalau Marco baru saja datang menjenguk. Tidak terjadi apa pun, karena seorang perawat tetap berada di samping Verman selama anak laki-lakinya di sana. River merasa cukup puas dengan kerja anak buahnya.
Ketukan di pintu kantor membuatnya berjengit, ia bergegas membuka dan muncul sekretaris Tori. "Pak, saya ingin bertemu dengan Miss Siera.
"Ada apa?" tanya Siera dari balik meja.
"Miss, terjadi sesuatu yang gawat. Seorang pegawai dari departemen keuangan menangis, meraung, dan sekarang berada di puncak gedung. Mengancam ingin loncat dan bunuh diri."
Siera bangkit dengan segera, menuju pintu. "Antar aku ke sana!"
River mengikuti langkah istrinya menuju lift VIP dan menuju langsung atap gedung. Ada banyak orang di sana termasuk petugas keamanan. Staf yang ternyata seorang perempuan, berteriak histeris di pinggiran gedung. Perempuan itu duduk dengan satu kaki di bagian luar, dan satu kaki di bagian dalam. Sedikit saja salah bergerak, sudah dipastikan tubuhnya akan meluncur turun. Beberapa staf yang sepertinya adalah teman-temannya, sedang berusaha membujuk.
"Nuna, jangan lakukan hal gila."
"Ingat ibumu, Nuna. Dia menunggu di rumah."
"Nuna, kalau ada masalah bisa kita bicarakan."
Nuna menggeleng dengan air mata berderai. "Tidaak, kalian tidak mengerti bagaimana penderitaanku. Lebih baik aku mata saja. Aku kotor, aku tolol!"
"Apapun masalahnya, bisa dibicarakan!"
"Tidak ada yang harus dibicarakan. Aku hanya ingin mati saja!
Siera menghela napas panjang, memberikan tanda pada teman-teman Nuna untuk mundur. Ia maju perlahan dengan niat membujuk. Melihat situasi yang menakutkan, River diam-diam menelepon anak buahnya yang berada di sekitar gedung.
"Siapkan mobil dengan jaring atau apa pun itu, ada orang bunuh diri!"
Tanpa menunggu jawaban apakan perintahnya dipatuhi atau tidak, River mendekati istrinya. Ia tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada Siera. Bila perlu akan menarik sendiri lengan gadis yang akan bunuh diri itu.
"Nuna, kamu kenal aku nggak?" Siera berjarak beberapa meter, menjaga agar tidak terlalu dekat. Takut kalau gadis itu semakin nekat.
Nuna menatap Siera dan mengangguk, mengusap air mata di pipi dengan punggung tangan. Satu tangannya yang lain mencengkeram tembok dengan gemetar. "Miss Siera."
"Syukurlah, kamu mengingatku. Ada masalah apa, Nuna? Kamu bisa bicara denganku."
Nuna menggeleng. "Tidak ada orang yang bisa menolongku. Semua orang di kantor ini jahat padaku. Lebih baik aku matii!"
Tangisan Nuna kembali meledak. Siera menahan napas dan membiarkan lengan River yang kokoh melingkari bahunya. Ia terguncang melihat Nuna yang tampak putus asa, tidak menyangka akan melihat kejadian ini secara langsung. Kehadiran River di sampingnya, membuat hatinya menjadi lebih tenang
.
.
.
Di Karyakarsa sudah update bab baru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top