Rintihan Lirih Si Pemulung Ringkih
DULU sekali, bapak pernah berkata, “Jadilah anak yang kuat, bukan hanya secara fisik namun juga mentalitas. Yang tidak mudah menyerah meski dunia tidaklah mudah.” Kalimat itu kemudian tak pernah berhenti berputar dalam otakku, terus menjadi kudapan harian tatkala batinku lelah, terus menjadi penopang saat aku berpikir untuk jatuh bebas.
Bukan, bukan sebab dalam makna kata-kata ayah yang dalam. Aku masih berusia delapan tahun saat pertama mendengar itu, masih lugu dan naif soal apa itu hidup. Barangkali pikiranku hanya disumbat dengan keceriaan dan senang-senang; membantu ibu membuat gorengan untuk dijual, berkeliling sekitar kampung untuk berjualan, lalu pulang dan tidur setelah kenyang menyantap nasi dengan bumbu kecap. Rutinitasnya seperti itu, selalu berputar dalam waktu-waktu itu. Toh kalau aku lapar dan ibu tak punya uang untuk membeli makanan, masih ada Pak Kardi, tetangga sebelah rumah yang sering membagi nasi kotak pada keluarga kami. Terkadang, Mbak Silvi—anak sulung Pak Kardi—memberikanku buku cerita bekas supaya aku tetap bisa belajar membaca kendati aku tak sekolah.
Namun kalimat bapak menjadi istimewa sebab itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar dari bapak.
Setelahnya, bapak meninggal. Rumah kami didatangi warga. Ibu menangis sampai pingsan, aku hanya meratap namun juga tak paham, “Sebenarnya bapak kenapa?”
***
Kalau berbicara soal keluarga, bapak adalah orang pertama yang terlintas dalam benak, orang yang kuidolakan dari kanak-kanak hingga menginjak dewasa. Aku sendiri tidak bisa bilang bapak adalah orang paling baik sedunia kendati aku mengaguminya setengah mati. Sebab menurut salah satu buku cerita yang diberi Mbak Silvi, definisi kata baik adalah suka berbagi. Sedangkan bapak? Uang saja tak punya, kadang malah meminta tetangga. Lantas baik apanya?
Aku juga tidak akan bilang bapak orang jahat. Bapak tidak pernah merampok atau mencuri, kesehariannya hanya memungut sampah di sekeliling kampung. Tetapi bapak tidak menyebut dirinya pemulung sampah, ia lebih suka membanggakan dirinya dengan sebutan, ‘Pemungut Barang Bekas Kreatif’. Tidak heran, sih. Selalu, sehabis mengumpulkan sampah terutama botol bekas, biasanya bapak akan menyisihkan dua buah botol di rumah untuk dijadikan barang hias alih-alih dijual.
Bapak juga suka sekali tertawa. Hari-harinya selalu diisi senyum sampai dulu aku sering bertanya, “Bapak kenapa senyum terus, sih? Bapak nggak pernah diledekin temen, ya mangkanya nggak pernah ngerasain sedih?”
Saat itu bapak lagi-lagi tertawa. Kerutan di ujung bibir dan dahinya naik lagi. Tangannya yang kasar membelai kepalaku lembut. “Bahagia itu kita yang menentukan, Nak. Bukan orang lain, bukan pula teman kita sendiri.”
Aku awalnya bingung, entah harus semakin kesal atau malah bersyukur. Teman-temanku di kampung meledekiku sebab tak mampu membayar uang sekolah, namun bapak sendiri juga tidak ambil pusing.
Ini yang membedakan bapak dengan ibu. Kalau ibu sering dikuasai emosi dan mengeluh, namun bapak suka sekali tersenyum walau saat dimaki sekalipun.
Namun ada kalanya juga, senyum bapak berubah menjadi tangisan.
Aku masih ingat, seorang rentenir dari kampung sebelah mengirim anak buahnya untuk menagih hutang. Dua orang pria berbadan kekar dengan rambut klimis serta kumis tebal yang mampu membuatku merinding. Mereka mengobrak-abrik rumah. Tampangnya garang dan tidak bersahabat. Aku ketakutan, bersembunyi di balik pelukan ibu. Sementara bapak, dengan tubuhnya yang ringkih dan peluh menetesi wajah, berusaha menghadapi dua orang itu dengan senyuman.
“Maaf, pak. Tetapi kalau ada masalah, bukankah lebih baik dibicarakan baik-baik? Saya bisa sediakan kopi juga, kok.”
Kalimat sambutan bapak dihadiahi pukulan oleh pria berkaos hitam. Aku dan ibu menjerit, air mata ibu tumpah dan aku tak kuat melihat bapak jatuh menghantam lantai.
“Lu nggak usah banyak bacot! Mana janji lu? Kata mau bayar hutang, udah seminggu kagak dibayar-bayar! Lu kira kita-kita bisa lu sogok? Pake baik-baikin kita segala, nggak guna, sialan!”
Aku selalu benci saat dimana bapak diperlakukan kasar, tetapi bapak tidak berdaya untuk melawan.
“Ma—maaf, Pak.” Bapak terbatuk-batuk, kini senyuman itu sirna, tergantikan oleh rasa letih pada wajah. “Tapi … kami belum punya uang.”
“Halah! Lagak lu nggak punya uang! Buktinya bisa jual gorengan modal dari mana, hah?!” Bapak dipukuli lagi, kali ini tepat pada perut dan bagian wajah yang aku tak tahu pasti sebab setelahnya ibu langsung menurunkan telapak tangan menutup mataku—walau kemudian aku bersikukuh untuk menyingkirkan tangan ibu dari penglihatanku. Kami bersembunyi di balik pintu kamar, tidak diijinkan ke sana sebab bapak bilang terlalu berbahaya.
“Tapi kalau kau benar-benar tidak mau membayar, tidak apa-apa. Bos juga memberi penawaran yang menarik.”
Bapak tercengang, namun juga ada sebersit kelegaan yang nampak dari wajah keriputnya. “Penawaran apa?”
Salah satu dari mereka menyengir lebar. Kelihatan seram, kelihatan jelek dengan kumis yang dinaik-naikkan. “Kudengar kau punya istri cantik.”
Aku mendengar ibuku menarik napas. Saat aku mendongak, ia meneteskan air mata.
Bapak menggeleng. “Tidak, aku mohon jangan. Apapun, kau boleh ambil rumahku tetapi jangan istri dan anak-anakku,” rintihnya pelan.
Orang-orang itu mengamuk lagi. Ia meraih kerah baju bapak yang sudah koyak, meninju sudut bibir bapak sampai mengeluarkan darah. Aku benar-benar tak mengerti, mengapa bapak tidak langsung melawan? Padahal dulu bapak pernah berkata, “Perkelahian itu diwajarkan asal dengan tujuan baik. Kau laki-laki, Nak. Suatu saat, kau akan punya tanggung jawab untuk melindungi wanita, untuk melindungi keluargamu sendiri.”
Tetapi bapak tidak pernah menepati kata-katanya.
Aku melihat bapak terempas di lantai, terbatuk-batuk keras hingga keluar darah yang berceceran.
“Sialan! Kau pikir gubuk tua ini dihargai berapa, hah?!”
Bapak meringis, batuknya tidak berhenti. “T-tolong …”
Namun dua pria itu tak mau mendengar. Mereka bahkan meludah ke arah bapak, kemudian menggeledah rumah sampai ke kamar kami.
Ibu menangis terisak saat salah satu dari mereka menggenggam tangan ibu paksa. “T-tolonglah. Aku akan membayar semua hutang suamiku, aku berjanji. Tetapi tolong jangan bawa aku pergi.”
“Udah nggak usah bayar, Cantik,” salah satu dari mereka menyeringai, menyeret ibu dengan kasar keluar rumah. “Lu udah jadi tebusan buat hutang-hutang suami lu.”
Saat itu aku hanya bisa tercengang, menangis, menahan kekesalan yang luar biasa. Cepat kubantu bapak yang terseok-seok lemah, menangis menatap kepergian ibu. Saat itu aku tidak pernah menyangka, hari itu adalah hari terakhir keluarga kami dapat berkumpul utuh.
***
Aku masih ingat hari-hari kelamku lima belas tahun yang lalu. Sayangnya, hidup benar-benar tak adil sebab di saat aku menangis, teman-temanku dapat tertawa dengan lebar. Di saat aku bersedih karena kehilangan sosok ibu di rumah, teman-temanku masih dapat memeluk ibu mereka dengan bahagia. Di saat aku mulai menggantung harap, hidup benar-benar memusnahkan semua yang kupunya—bahkan puing harap terkecil sekalipun.
Hari-hari berlalu tatkala ibu dibawa paksa oleh dua orang kekar yang mengaku sebagai suruhan Si Penagih Hutang. Aku menyebutnya begitu sebab Bapak tidak memberi tahu namanya padaku. Saat aku bertanya ibu dibawa kemana, bapak hanya diam, tersenyum tetapi aku tahu ujung matanya menyimpan luka.
“Doakan saja semoga ibu cepat pulang, ya, Nak.”
Aku mengangguk, berdoa tiap malam agar ibu tidak lupa jalan pulang.
Hari-hari selanjutnya berjalan sama, aku berkeliling kampung dan menemani bapak memulung. Ibu tidak kembali sampai minggu-minggu berikutnya. Aku ingin bertanya pada bapak namun tak tega, sebab tiap malam kudapati bapak menangis diam-diam di kamar sambil memeluk foto ibu.
Aku tahu aku tak punya pilihan. Mimpiku untuk sekolah hancur. Keseharianku hanyalah membantu bapak memulung. Ejekan orang tak kudengar, hinaan teman berusaha kuabaikan. Aku terisak tiap malam—berbeda dengan bapak yang menangis di kamar, aku mulai menangis terang-terangan di hadapan bapak. Aku berteriak, tak terima mengapa jalan hidupku begitu berat. Aku mulai menyalahkan bapak atas tindakannya yang meminjam uang pada rentenir jahat begitu. Kalau bapak tidak melakukannya, mungkin ibu juga tak akan dibawa paksa.
Padahal keinginanku sederhana; harapanku bukannya muluk-muluk. Aku hanya ingin sekolah, memiliki keluarga dan teman-teman yang menyenangkan.
Sesusah itukah?
Bapak menangis melihat sikapku yang kian hari kian buruk. Kadang aku melarikan diri pagi-pagi, tidak membantu bapak memulung dan malah bergaul dengan orang-orang yang baru kukenal.
Aku kira aku yang paling menderita, aku pikir akulah makhluk tak berdosa yang mendapat impas atas kesalahan orang tua.
Butuh bertahun-tahun untuk aku sadar, bahwa dari semua yang terjadi, bapaklah yang menanggung beban terberat dalam keluarga kami.
***
“Gimana, Bro? Jadi ikut nggak?”
Aku mendongak, lamunan nostalgiaku bubar. Kuingat, kalimat yang sama pernah didengungkan lima belas tahun lalu, kalimat yang sama dengan orang yang sama namun rupa berbeda. Jae benar-benar banyak berubah. Bukan lagi bocah ingusan dengan rambut gondrong yang dulu kukenal, yang dulu kukagumi dan kuikuti jejak hidupnya.
Namun sekarang tidak.
Di mataku fisik Jae berubah, tetapi hatinya tetap sama.
Aku meringis. Kenangan lima belas tahun lalu itu tak pernah pudar, bahkan wajah galak Jae masih tergambar jelas. Ia teman pertamaku tatkala aku uring-uringan mencari uang dulu.
“Tidak, Jae,” sahutku tegas, “aku tidak mau jatuh dalam lubang yang sama.”
Jae tersenyum sinis. Kendati kutahu hatinya terluka, kendati aku tahu ia tersinggung sebab secara tak langsung aku menyindir pekerjaannya yang belum berubah, kendati aku tahu, ia teman pertama yang kupunya, tetaplah prinsip hidupku tak berubah.
“Kenapa? Lo butuh uang, ‘kan? Lo nggak inget lima belas tahun lalu lo mohon-mohon buat gabung sama komplotan gue? Kenapa sekarang malah nolak, sih?” ucapnya tak terima. Sudah kuduga, sifat tak sabaran Jae masih belum berubah.
Aku mendengkus, menatap lamat-lamat mata Jae yang gelap. “Lima belas tahun lalu,” cicitku lemah, “adalah waktu yang kusesali seumur hidupku.”
***
Iseng-iseng sebagai bocah SD yang sama sekali tak tahu malu, alih-alih membantu bapak memulung aku kabur dan bergaul dengan anak-anak luar kampung. Ada banyak, namun yang paling berkesan hanya satu. Pemuda berambut kriwul gondrong yang jakung, kulitnya dekil sebab sering bermain di bawah panas matahari, sama sepertiku.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Jali, tetapi kerap kupanggil Bang Jae.
“Lu lagi nyari duit, tong?”
Aku mengangguk, menenguk es sirup yang dibelikan Bang Jae untukku. “Iya, Bang. Abang nggak ada kerjaan? Apaan dah, yang penting dapet duit cepet.”
“Lu mau ikut abang nyopet nggak?”
Copet. Bapak bilang itu dosa, bapak bilang itu pekerjaan hina sebab alih-alih meminta, copet langsung mengambil barang yang sama sekali bukan haknya. Bodohnya, dengan iming-iming uang, aku menyetujui tawaran itu.
Kian lama kemampuan copetku bertambah. Aku mendapat banyak uang, rata-rata kuhabiskan membeli rokok dan minuman keras. Bapak marah besar. Ia menemukan bungkus-bungkus rokok yang kusembunyikan di lipatan kasur saat aku pergi merayakan keberhasilkan mencopet 25 dompet bersama Bang Jae dan anak buahnya yang lain. Bapak berteriak, menahan tangis, rahangnya mengeras dan giginya bergemeretak.
Aku melawan. Bapak nyaris menamparku, aku kabur membanting pintu. Hari-hari krusial dalam hidupku. Setelahnya aku tak pulang, aku menginap di terminal tempat markas copet. Bang Jae sendiri tidak mempersalahkan sebab ia juga sering tinggal di markas kalau-kalau orangtuanya bertengkar.
Semalaman aku merasa bersalah. Semalaman aku dihantui suara-suara bapak yang terngiang dalam benak. Aku tidak bisa tidur malam itu, berakhir dengan terisak dalam diam. Esoknya, saa aku pulang, rumahku padat oleh warga. Yang membuat aku ternganga, ibu juga ada di sana, menangis terisak-isak.
Saat itu aku benar-benar remuk. Sesuatu yang tak kusangka terjadi.
Bapak meninggal.
Aku tak percaya, aku berlari ke ruang tengah, membuka kain batik yang menutupi jenazah. Dan sesuatu benar-benar menyengat hatiku tatkala melihat itu enar-benar apak. Terbaring lemah, kedua mata menutup damai, wajah yang pucat dan tangan dingin. Aku menangis sejadi-jadinya, ibu berusaha menenangkanku. Tetapi aku tak bisa tenang.
Tidak, sebab bapak sudah tak ada.
Kesempatanku untuk meminta maaf, semuanya benar-benar pudar. Semua sudah terlambat.
“Bapakmu mengidap sakit tuberkulosis paru-paru, Nak. Sudah lama, sudah empat tahun lebih dan tidak pernah diobati. Bapak meminjam uang dari rentenir itu juga demi sekolahmu, tapi ternyata uangnya malah terpakai untuk modal jualan gorengan.”
Aku mematung. Air mataku membeku di wajah, namun tetap hati menjerit bahwa semua ini tak benar. Ibu mengelus kepalaku, masih dengan isakan, masih dengan air mata, kendati aku bergeming bak mayat hidup. Bapak sakit. Sudah empat tahun, tetapi bapak tidak pernah memberitahuku. Semua rintihan, semua keluhan, semua kesakitan hanya ia pendam sendirian.
“Bapak tidak mau kau menderita karena hidupnya. Bapak berharap, suatu hari nanti kepergiannya bisa menjadi motivasi untuk kau berkembang lebih lagi.” Ibu menjeda, mengatur napasnya sebentar. “Sekarang buktika pada bapakmu, Nak. Buktikan bahwa semua rintihan dan penyakitnya dulu tidak menghalangimu untuk semakin maju.”
Dan bertahun-tahun berlalu. Sekarang aku masih berjuang untuk hidup. Namun tetap, kisah bapak aka selalu menjadi inspirasi, akan selalu menjadi pedoman bahwa apapun yang terjadi, tak ‘kan ada kata menyerah sebab aku akan bertahan.
Aku berjanji, semua rintihan bapak yang tak pernah terucap dulu akan terbayar dengan kehidupan yang lebih sejahtera—bagi anak cucunya kelak. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top