Raison d'être

“Seelok apa pun biru menghias bentala, dirgantara ada di baliknya; spektrum hitam bertabur bintang yang terlupakan.

Dari semua pencapaiannya dalam hidup, Seira Ji harap sukmanya bisa mencapai titik hampa; ketika sugesti tak mampu menghapus muram, kembali kepada Sang Pencipta adalah pilihan.”

ㅡkota S, musim dingin yang mencairㅡ

DULU SEKALI, saat manusia masih bergantung pada kekuatan fisik untuk bertahan hidup, kehidupan seperti itulah yang Seira inginkan. Tak apa hidupnya menjadi sedikit lebih berat di tengah hutan; mengumpulkan kayu bakar dan menetap di dalam gua; berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk menimba air demi kelangsungan cairan tubuh atau membersihkan diri; pun berbagi makanan hasil buruan. Kehidupan zaman purba yang dekat dengan alam, bukan era peperangan, apalagi dinasti kerajaan.

Tak apa, sungguh tak apa. Seira sama sekali tidak keberatan.

Dibandingkan sekarang ini, paket lengkap untuk tersiksa luar dan dalam lebih mematikan; manusia bisa sakit tanpa alasan. Bumi yang ditapaki jelas sudah sinting; asas kemanusiaan sesama umat perlahan mati; dan Dewa Langit terlampau lejar untuk memperingatkan. Seharusnya sih, kehidupan abad sekarang lebih membahagiakan dan dapat mencukupi hasrat manusia yang tamak.

Tetapi kenapa ya, Seira tidak pernah merasa bahagia? Terlebih tiga tahun belakangan, ia merasa jiwanya sakit; hampa dan tak berarti. Ditambah, Seira juga memikirkan bagaimana caranya untuk melepaskan jiwa ini dari sang raga tanpa rasa sakit. Ia betulan ingin mati; melepaskan belenggu keputusasaannya.

"Kau cuma kurang bersyukur. Lihat deh, masa kau tidak senang ada banyak mall berjejeran di kota kita? Gawai keluaran terbaru apalagi. Make-up dan skincare? Duh, kurang apa coba?" Begitu respons teman-temannya di kalangan keluarga besar acap kali Seira bercerita. Sudahlah, episode berikutnya Seira enggan menceritakan masalahnya pada orang lain. Keterlaluan, pikirnya. Padahal kebahagiaan tidak diukur dari seberapa nikmatnya hidup.

Susah memang, berteriak di antara lautan manusia yang bising. Pada akhirnya spesies kecil seperti Seira selalu tenggelam dan tak muncul ke permukaan. Membangun peradaban sendiri selagi akalnya masih sehat dan kalbu yang belum melebur. Mengucilkan diri sebab,

memangnya dunia berpihak padanya?

**

"Tahun depan Nona Seira harus mendapat beasiswa, begitu pesan Nyonya Besar," ujar Meg, asisten rumah keluarga Seira. "Kalau tidak dapat beasiswa di jurusan musik Universitas A, Nyonya Besar terpaksa mendaftarkan Nona ke jurusan musik Universitas D. Jadi, berusaha ya, Nona?" sambungnya.

Mendengarnya, Seira mendengkus dan terlihat berusaha menahan air mata. Sesuai prediksinya, hal ini pasti terjadi. Meg yang melihatnya menjadi sedih, kemudian tangannya terulur mengusap rambut Seira lembut. "Makanya kalau Nona Seira bisa dapat beasiswa itu, Tuan dan Nyonya Besar pasti akan memberi Nona kebebasan. Percayalah Nona, mereka tidak berniat untuk menyakitimu, apalagi mengekangmu. Mereka menginginkan yang terbaik untuk Nona," tutur Meg, berusaha menghibur.

"Menginginkan yang terbaik apanya?!" Seira menampik tangan Meg. "Aku pionnya Papa, yang diatur secara mulus di atas papan catur. Aku bonekanya Mama, yang disuruh berlakon agar orang-orang senang dan memujaku. Lebih tepatnya, melontarkan pujian pada Mama karena telah mendidikku sebagai jawara. Mana ada aku bisa bernapas, di sini sesak."

"Seira...," Meg kehabisan kata-kata, "dengar, mereka pasti—"

"Berisik," potong Seira kasar. Ia segera melangkahkan kaki menuju kamar, meninggalkan balkon rumah di mana seharusnya Seira menghabiskan kudapan ringan bersama Meg sore ini. Persetan dengan itu, toh nafsu makannya juga sudah hilang.

Menghempaskan diri ke kasur, Seira memeluk boneka beruangnya; menenggelamkan kepalanya dalam pelukan si beruang; lantas, menangis sangat keras di sana. Amarah, kekecewaan, dan kebencian. Sudah sejak lama ketiga perasaan itu dominan di hati dan mengikatnya erat.

Sebentar lagi Natal, tetapi Seira bahkan tidak peduli. Santa Claus mungkin akan berbisik jika kebahagiaan menantinya di depan sana, keluarga besar memberinya hadiah yang disimpan di bawah pohon Natal; dengan harapan si penerima menikmati keberkahan ini. Terus kenapa? Boleh kan, gadis itu enggan menyakininya sepenuh hati?

Namanya Seira Ji, usianya 16 tahun, seorang violist terkenal di kota S. Semua orang mengakui keterampilannya dalam menggesekkan biola; bagaimana not-not balok itu mengalun indah dan menciptakan harmoni sentimental yang spektakuler. Menawan, kehangatan, dan gairah. Itulah yang selalu Seira tunjukan di atas panggung. Para audiensi yang menonton hapal betul ciri Seira kala beraksi. Mereka selalu menanti Seira, idola cilik mereka; Seira yang berprestasi; Seira yang menyanyangi biola; Seira yang bahagia.

Namun, itu hanya apa yang tampak di depan mata mereka sendiri. Kenyataannya? Seira kehilangan mimpi dan harapan untuk hidup. Tidak, mungkin lebih parah. Bermain biola seperti ini bukanlah keinginannya. Mendapat beasiswa di Universitas A apalagi. Deretan episode berikutnya? Wah, jangan ditanya, tentu saja suram.

Seberapa banyak orang-orang mengaguminya dan mendapat puluhan piagam penghargaan, Seira tetap tidak bahagia.

**

Kira-kira pukul lima sore, kota S diselimuti salju pertama di musim dingin; berbentuk gumpalan kristal kecil, teksturnya lembut, dan udara belum melebihi temperatur minus untuk menyalakan penghangat ruangan pun pakaian berkain tebal. Biasanya di kota S, orang-orang ingin melihat salju pertama turun bersama orang yang disayanginya. Karena kenapa ya, mereka pikir itu sangat romantis. Apalagi jika momen bergandengan tangan atau berciuman hadir, ups.

Kecuali gadis satu iniㅡSeira, yang tidak ingin menikmatinya sendirian, tidak juga bersama orang lain. Tidak dengan Papanya, Mamanya, Meg, teman-teman sekolah, apalagi bocah laki-laki yang merupakan suadara sepupunyaㅡberdua saja, berdiri terdiam di persimpangan jalan. Secara tidak sengaja mereka harus bersama untuk sesuatu yang tidak Seira prediksi.

Sial haha. Sial banget.

"Dingin ih, kopi americano-ku kurang hangat." Bocah laki-laki itu bermonolog dan memasang tampang cemberut, kemudian menatap Seira di sampingnya, tak sampai satu detik raut wajahnya berubah; pun lekas berujar, "Seira antar aku ke kedai kopi di sana, yuk!"

"Jim punya kaki, kan? Pergi sendiri sana," jawab Seira ketus. "Panggil aku dengan 'kak' kalau masih punya sopan santun, aku lebih tua darimu." Ia menjitak kepala Jim.

"Aduh, jahat!" Jim mengaduh, tetapi tak menghilangkan paras cerianya.

"Yang lebih penting," Seira memutar bola matanya, mengamati sekeliling, "lama sekali sopirmu datang. Les biola kita sudah selesai sejam yang lalu tahu!"

"Sejak Kak Virgo meminta Seㅡeh, Kak Seira menemaniku katanya ada urusan mendadak dan sudah pasti lamaaaa. Kak Virgo memang seperti itu." Jim menjelaskan, yang sepertinya tidak didengarkan lawan bicaranya. "Aku tahu dia bakal telat, jadi Kak Seira antar aku, ya, ya?" Ia memelas.

Ugh. Menyebalkan.

Jim menambahkan, "Lagian tidak ada yang akan Kak Seira lakukan, kan?"

Tak punya pilihan, Seira mengangguk dan mereka berjalan beriringan ke kedai kopi yang dimaksud. Jim benar, ia tidak akan melakukan apa pun sampai Virgoㅡsopir Jimㅡdatang menjemput. Usai les Seira bisa saja menolak, tetapi ia bahkan tidak ingin pulang.

Padahal mereka tidak dekat, walau Jim terlihat sok dekat dengannya dan hubungan keluarga mereka yang rumit. Dari masa kanak-kanak, Seira memang sudah mengenal Jim dan menganggapnya sebagai adiknya sendiri mengingat ia adalah anak bungsu. Tetapi, itu tidak bertahan lama. Semenjak biola itu mengubah hidupnya, Seira merasa hidupnya dipermainkan. Semenjak orangtuanya terus merencanakan masa depannya, kepercayaannya akan mimpi dan orang lain telah pupus.

Karena lihatlah, mimpinya untuk menjadi violist sudah ada di genggaman. Sejak awal, ini adalah keinginannya. Kendati mimpi itu membuatnya menggapai bintang di langit, ia malah mendapat udara kosong; bukan seperti ini caranya bermain biola, ini sama sekali bukan dirinya. Seira Ji yang beraksi di atas panggung, ia tidak mengenalnya.

"Kak Seira melamun," ujar Jim bersuara. "Kakak mengkhawatirkan tes masuk perguruan tinggi, ya? Tenang! Aku yakin Kak Seira bisa, kok."

Kendati bibirnya tersenyum, Seira merasa sakit mendengarnya. "Kenapa Jim seyakin itu?"

"Karena Kak Seira hebat! Kak Seira itu idolaku, dan juga pahlawanku. Aku sangat mengagumimu." Jim menjawab dengan mengutarakan isi hatinya. "Bahkan sudah lama sekali sejak kita berbicara seperti ini…."

"Hah? Tidak, tidak!" Seira mengelak, walau sudah sering dipuji, ini pertama kalinya ia menolak untuk melebih-lebihkan dirinya. "Aku tidak seperti yang Jim pikirkan…."

Tinggal satu setengah meter lagi sampai mereka tiba di kedai kopi, sebelum Jim tiba-tiba berhenti. Seira menaikkan sebelah alisnya, memberi intruksi untuk terus berjalan.

"Apa Kak Seira punya mimpi? Apa Kak Seira bahagia?"

Terperangah dengan isi kepala Jim yang dilontarkan kepadanya, gemuruh dalam dada Seira berteriak. Kenapa? Kenapa Jim bertanya seperti itu padanya?

Entah sejak kapan Jim menjadi sangat serius, sorot matanya berubah. "Aku sering memperhatikan Kak Seira seusai tampil, dan itu bukan wajah kebahagiaan. Kak Seira terlihat tidak ikhlas."

Berperang dengan isi hati dan kepalanya sendiri, Seira memikirkannya sangat keras. Pertanyaan itu menohok hatinya, lebih tajam dan dalam dibanding bersandiwara di atas panggung. Masa sih, Jim bisa menanyakan itu? Bocah tiga tahun lebih muda darinya … betulan Jim, kan?

"Anu, maaf Kak Seira … aku …."

"Tak perlu minta maaf," tegas Seira, menggeleng. "Jim benar. Aku tidak ikhlas bermain biola seperti itu."

"Ma-masa?" sentak Jim tak percaya. "Tetapi, Kak Seira suka biola, kan?!"

"Iya, sepenuh hati, meski terkadang aku jadi membencinya," tutur Seira. "Jim sendiri bahagia? Jim bisa menjadi diri sendiri? Syukurlah kalau begitu, Jim tidak perlu menanggung beban ini. Rasanya berat, sesak, sampai ingin menyerah. Terima kasih untuk pertanyaan sebelumnya, Jim." Kelegaan mengisi kekosongan batinnya, sampai ia melanjutkan, "Apa aku punya mimpi? Jawabannya tidak."

Seira melangkahkan kaki duluan ke kedai kopi, sampai Jim harus mengejarnya. Ia sudah ada di depan kasir, tampak sedang memesan.

"Kak Seira!" Jim berteriak, yang dipanggil menoleh ke belakang.

"Jim mau americano hangat, kan? Biar aku yang bayar." Begitu katanya.

Memutuskan untuk menunggu di kursi yang telah disediakan, Jim menggaruk-garuk kepalanya. Merasa bersalah, dan lagi, Seira yang dingin berubah. Pasti ia terus merenungkan pertanyaannya tadi! Jim kebingungan mencari cara untukㅡ

"Ini punya Jim." Seira menghampiri dan menyodorkan kopi americano sementara kopi pesanannya sendiri sudahㅡlebih tepatnya sedangㅡdiminum.

Jim menerimanya. "Te-terima kasih!"

Kendati gelagat Jim sendiri yang merasa cemas, Seira tampak tenang. Walau paras datarnya patut dicurigai, senyum tipis itu … benar-benar ikhlas. Jim merasakannya; ada harapan yang tumbuh di lubuk hati Seira yang diidolakannya.

"Kak," panggil Jim. "Apa Kak Seira membenciku karena aku telah mengagumi sosok Kakak di atas panggung?"

"Tidak, kok," jawabnya. "Jim khawatir padaku, aku sangat berterima kasih akan itu.

"Aku sudah memikirkannya Jim. Aku tidak punya mimpi, ya kenapa? Masih belum terlambat kan, kalau aku menciptakan mimpiku sendiri? Mungkin aku membenci tekanan beasiswa itu, tetapi aku mau mendapatkannya supaya aku memberontak dan menemukan diriku sendiri. Seira Ji yang orang-orang kenal telah berubah, namun bagiku, itu pasti aku yang sebenarnya."

Menahan kekaguman yang meluap-luap, Jim menyembunyikan wajahnya. Benar! Ia tidak menyesal telah menjadikan Seira sebagai idolanya. Jim tahu Seira memang hebat dan kuat. Apa pun itu … ia ingin Seira terus bersinar. Mendengar Seira mengatakan aksinya di atas panggung bukanlah dirinya, Jim sempat sedih. Sama sekali tidak menyangka jika Seira melakukannya karena terpaksa. Tetapi, Seira bilang masih belum terlambat untuk memimpikan sesuatu. Bukankah itu luar biasa?

Semangat Seira yang asli telah kembali, persis ketika usianya tujuh tahun, di mana dengan polosnya ingin bermain biola.

"Satu lagi, terima kasih telah mengidolakanku. Dan … terima kasih untuk pertanyaannya."

**

Sudah diputuskan.

Tepat setelahnya, Seira meminta untuk bicara enam mata dengan Papa dan Mamanya. Kendati wajah mereka tampak lelah, tentu saja sebagai orangtua yang baik mereka menyanggupi permintaan anaknya. Bahkan para saudaranya terheran-heran, bukankah Seira sengaja menjaga jarak dengan Papa dan Mamanya?

Sudah cukup. Hitam nestapa ini akan ia akhiri sekarang juga.

Melangkah penuh percaya diri ke ruang makan yang hanya ada Papa dan Mamanya, ia ikut duduk di sana. Mungkin ini terlalu cepat, lantas kapan lagi? Sebelum pikirannya berubah, Seira tidak ingin menyia-nyiakan masa depannya.

"Kenapa Seira Sayang?" Mamanya bertanya. "Apa yang ingin Seira bicarakan?"

"Seira ingin protes tentang beasiswa itu?" duga Papanya.

Menarik napas dalam, Seira menggeleng. Ah … sudah lama sekali ia tidak merasakan gairah untuk hidup seperti ini. Seperti terlahir kembali walau masih ada sedikit keraguan yang bisa ia atasi.

"Mama sama Papa sayang aku, kan? Kalau begitu, biarkan turuti keinginanku kali ini." Seira menjeda, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Aku ingin melakukan apa pun yang aku mau sesuai keinginan hatiku. Aku tidak mau kalian ikut campur sepenuhnya. Capek. Penuh tekanan. Takut salah. Aku masih butuh kalian, tetapi tolong jangan perlakukan aku seperti robot.

"Mama, Papa, Seira berhenti bermain biola. Seira akan mulai lagi, dari awal." []

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top