Problems in the Soul
Tringg
Tringg
Tringg
Sejak lima menit yang lalu teleponku berdering, sayangnya tangan tak mau menuruti perintah otak. Dia diam di tempatnya tanpa berniat mengangkat telepon. Rasanya sungguh malas, lagi pula aku tak ingin diganggu sekarang.
Tringg
Tringg
Ponsel itu kembali berbunyi. Sungguh menyebalkan, kenapa pagi-pagi seperti ini ada saja pengganggu? Dengan terpaksa aku memutuskan panggilan. Pikiranku sedang tidak baik sekarang.
Pikiran-pikiran bodoh seolah berpesta di otakku. Para monster tak kasat mata menari-nari dan bersorak gembira. Menertawai aku yang mulai membenci hidup.
Dunia gelap perlahan datang padaku, seperti mengucap selamat datang dan membukakan pintu. Aku benci keadaan seperti ini. Keadaan yang membuatku tak tahu harus melakukan apa. Aku ingin teriak dan pergi sejauh mungkin, tapi sayangnya tak bisa. Aku terjebak di dunia menyebalkan ini.
“Dinary, cepat bangun! Jangan tidur terus!”
Satu lagi yang membuatku muak. Suara teriakan disertai bentakan setiap hari. Seolah menyadarkanku jika aku tak pernah benar di matanya.
Hari ini adalah hari yang buruk. Diawali pagi yang menyesakkan, dengan pikiran-pikiran aneh yang menyerang. Tidak ada hal istimewa yang terjadi selanjutnya. Hanya perjalanan singkat ke tempat yang aku sebut 'penjara'.
“Hei, kenapa kamu gak ngangkat teleponku?” Seseorang menyentuh pundakku sepuluh detik setelah aku memasuki kelas.
“Malas.” Cukup jawaban singkat ini yang keluar dari mulutku. Aku tidak berbohong, aku benar-benar malas melakukan apa pun hari ini.
“Pagi-pagi udah males aja kamu.” Dinda tertawa kecil bersama Nadya.
Mereka kira aku bercanda? Apa yang lucu?
Kali ini aku menghiraukan mereka. Lebih baik aku duduk di bangku dan menunggu penderitaan dimulai.
Seharusnya aku bersyukur mereka berdua mau berteman dengan anak aneh sepertiku, tapi apa yang aku berikan? Hanya diam sebagai imbalan.
Dinda dan Nadya berhenti tertawa. Sepertinya mereka mulai mengerti dengan sikapku. Perlahan mereka mendekat dan duduk di bangku depanku.
“Ada apa?” tanya Nadya pelan.
Aku memilih diam daripada menjawab pertanyaannya. Kupikir percuma saja menjelaskan pada mereka, mungkin mereka akan menganggapku gila atau tak waras.
Sama seperti persepsi wanita yang ada di rumahku. Siapa lagi kalau bukan ibu.
Dinda dan Nadya menyerah menanyaiku, mungkin mereka lelah menunggu aku berbicara. Sebenarnya aku pernah menceritakan masalahku sedikit pada mereka, tapi itu sudah lama sekali. Kurasa mereka sudah lupa.
Dinda dan Nadya membalikkan badan setelah bel masuk berbunyi. Baiklah, aku siap menghadapi hal yang memuakkan.
Anggap saja aku gila karena tak ingin belajar. Terserah kalian. Aku hanya muak belajar hal yang tidak aku sukai. Kurasa, kelas sebelas SMA adalah puncak kemalasan belajar, aku mulai muak dengan segala tekanan yang mengharuskanku melakukan ini dan itu. Apalagi ucapan kepala sekolah yang meminta murid-muridnya belajar, belajar, dan belajar. Aku tahu ini demi masa depanku. Hanya saja, aku bosan.
Belum lagi suasana di kelas, benar-benar tidak menyenangkan. Membuatku ingin segera lulus dari sekolah ini.
Keegoisan di kelas ini sungguh tak mengenakkan. Aku benci saat mereka saling menyalahkan satu sama lain. Mendrama menjadi yang paling benar. Terus berdebat dengan hal tak penting. Ingin menjadi yang paling benar dan paling unggul dari semuanya. Membuatku malas menginjakkan kaki di ruangan yang menjadi rumah keduaku. Ah, bukan rumah kedua, maksudku penjara.
Terkadang aku berpikir, mereka butuh kaca untuk melihat diri mereka sendiri. Tidak terus-terusan menyalahkan orang lain, dan lontaran perkataan mereka sebagian besar menyakitkan. Bagai pisau yang baru saja di asah.
Walaupun tidak semua murid di kelas seperti itu, tapi mayoritas begitu. Ada yang berusaha memajukan kelas, dan ada juga yang hanya berkomentar tapi tidak melakukan apa pun. Kalau aku? Hanya kubu netral yang senantiasa mengamati kegiatan mereka.
“Silakan kalian buat kelompok, dua orang saja,” ujar guru perempuan paruh baya setelah menulis soal di papan tulis.
Dinda dan Nadya melihat ke arahku. Dari tatapan mereka aku mengerti, mereka kebingungan. Aku hanya duduk sendiri, sudah pasti aku tak ada teman kelompok. Mungkin mereka tak enak padaku jika ingin berkelompok berdua saja.
“Bagaimana kalau kita hompimpa aja? Yang kalah pindah kelompok, ya?” saran Dinda yang sudah mengajukan tangannya, bersiap untuk hompimpa.
Aku rasa itu tak perlu. Aku beranjak menuju Sindi yang juga duduk sendiri. Sepertinya teman sebangku Sindi tidak berangkat, jadi aku bisa berkelompok dengannya.
Aku tidak terlalu dekat dengannya, tapi dalam situasi terpaksa seperti ini, aku pasti bisa bekerja sama.
Sekilas aku melihat Dinda dan Nadya menatapku bingung. Sudah aku bilang, aku malas bicara hari ini. Biarkan saja, aku juga tak ingin merepotkan mereka. Aku rasa mereka lebih baik tidak bersamaku. Ada atau tidaknya aku di antara mereka juga tidak akan berpengaruh.
Aku ingin menenangkan diri. Menjauh dari orang yang dekat denganku. Aneh? Memang, aku tidak akan menyangkal jika aku aneh.
Di dalam kelompok ini, aku dominan memikir, dan Sindi menulisnya. Kegiatan berpikir ini mengalihkan pikiranku sejenak. Aku menjadi lebih fokus dan tidak memikirkan hal-hal aneh.
Semua berjalan seperti sewajarnya hari ini. Hanya aku yang berbeda. Aku yang tak bersemangat dan terlihat sangat malas. Aku yang lebih pendiam dari biasanya.
Aku ingin segera pulang, rasanya lelah. Lelah sekali, padahal aku hanya duduk di bangku kelas seharian.
Aku putuskan untuk pulang lebih cepat hari ini. Walaupun ada acara ekstra kurikuler, aku tak peduli. Aku meninggalkan ekstra kurikuler dan berjalan pulang. Aku benar-benar tak peduli dengan teman-teman ekstra kurikuler ataupun guru pembimbing ekstra kurikuler. Aku hanya ingin pulang.
Sekali lagi aku katakan, aku lelah. Lelah raga dan jiwa. Tak ada tempat berbagi perasaan untukku. Bukan salah teman-teman atau siapa pun orang yang dekat denganku, ini semua salahku. Aku yang tak ingin berbagi, karena kuyakin mereka punya masalah sendiri. Aku tak ingin membebani mereka dengan masalah konyolku ini. Masalah yang sebenarnya aku pun tak tahu akarnya.
Aku juga tak ingin merepotkan. Sebenarnya aku ingin menyimpan ini sendiri, tapi di sisi lain aku ingin berbagi perasaan. Namun, pikiran akan mereka yang memiliki masalah sendiri itu terus bergelayut di otakku. Sehingga aku harus mengurungkan niatku kembali.
Seseorang berkata padaku, mungkin seharusnya aku tidak menyiksa diri sendiri. Ya, dia benar. Aku juga tak ingin seperti ini. Bukan hanya aku, mungkin semua orang juga tak ingin seperti ini.
“Tumben udah pulang.”
Aku melewati teguran ayah begitu saja. Sepertinya hari ini aku benar-benar hemat bicara, tapi memang begitu keadaannya. Aku malas.
Masuk ke kamar, kasur seperti melambai ingin ditiduri. Guling seolah merentangkan tangan ingin kupeluk. Yah, aku memang tak bisa menolak keinginan mereka.
Sembari berbaring, aku kembali memikirkan hidup yang tak beraturan ini. Aku merasa kosong, aku takut hatiku membeku dan berakhir tak bisa merasakan apa pun. Aku juga takut terhadap rasa malasku. Ini sudah terlalu jauh, kalau aku sampai di titik malas hidup bagaimana? Itu akan merepotkan semua orang.
Memikirkan hal konyol itu membuatku lapar. Lebih baik aku makan saja. Kira-kira ada apa di dapur?
“Bu, ibu gak masak, ya?” tanyaku setelah membuka tudung saji dan hanya menemukan sayur kemarin.
“Gak tahu orang capek apa? Kalau gak suka masak sendiri sana! Tinggal makan aja protes,” ucap ibu tanpa melihat ke arahku.
“Aku 'kan nanya baik-baik. Kenapa harus membentak kayak gitu?”
“Ngelawan aja terus!”
“Bukannya ngelawan, aku cuma nanya.”
“Oh, gitu ya? Sini kamu!” Ibu berlari dari ruang tv sembari mencari sesuatu untuk memukulku.
“Iya-iya! Aku udah gak selera makan!” Kututup kembali tudung saji kemudian berlari ke kamar.
Jujur, aku takut melihat ibu mengejarku. Bahkan setelah aku sampai di depan pintu kamar. Bukan hanya mengejar, dia juga mengumpat tak jelas. Aku tak kuat lagi, badanku lemas. Aku duduk sembari menangis sekeras mungkin.
“Kenapa ibu tak pernah suka padaku? Kenapa aku selalu salah di mata ibu?” Aku menjerit sekeras yang aku bisa.
Aku muak dengan semua ini. Aku lelah menjadi sasaran amarah ibu setiap saat.
“Ngomong apa kamu? Dasar gak tahu diuntung! Kenapa aku bisa punya anak gila sepertimu?”
Aku kembali menangis dan menjerit sekencang-kencangnya. Aku tak suka kata 'gila', itu terlalu menyakitkan.
Dengan rasa takut bercampur kesal, aku memaksa tubuhku masuk ke kamar. Meraih guling yang kemudian menekannya kuat ke wajahku.
Sekali lagi aku teriak keras. Melampiaskan beban yang selama ini terpendam di hati. Suara ibu yang masih mengumpat membuatku berteriak lebih keras lagi.
Setiap kata tentangku yang dia lontarkan semakin membuatku menderita.
Aku terus berucap ingin pergi. Aku tidak ingin ada di sini. Aku ingin pergi. Siapa pun tolong aku.
Iblis dalam diriku terus meronta memintaku pergi dari tempat ini. Dia terus berbisik hal-hal buruk tentang diriku. Aku tak berguna, aku hanya menjadi benalu untuk semua orang. Aku tak bisa melakukan satu hal yang menguntungkan, aku hanya anak nakal yang tak patuh orang tua. Sang pemalas yang dibenci semua orang. Makhluk pendiam yang tak pantas ada di masyarakat.
Kata-kata yang berputar di kepala semakin membuatku menangis. Kepalaku pusing, badanku seketika lemas. Namun, mulutku tak henti berkata, “aku ingin pergi.”
Tak ada tempat berlari. Siapa yang harus kuberi tahu? Pada siapa aku mengeluh? Aku lelah.
Aku ingin tidur dan melupakan semuanya. Sebentar saja, aku berusaha masuk ke alam mimpi. Sayangnya itu sulit. Air mata yang keluar dan isak tangis tak membiarkanku tidur.
Tak menyerah, aku berusaha menghentikan tangis. Mulai memejamkan mata dan mengetuk pintu mimpi. Berharap tenang untuk sesaat, dan kembali normal saat bangun nanti.
Ternyata belum berhasil. Aku putuskan memutar lagu di ponsel. Lagu 'Magic Shop' yang membuatku merasa tak sendiri, dan beberapa lagu menenangkan lainnya.
Perlahan mataku tertutup. Aku akan melupakan dunia sesaat. Aku akan bersenang-senang di alam mimpi sebentar. Setelah itu, kembali ke kenyataan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top