Nikah Muda

Setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan ditakdirkan berpasangan. Tak terkecuali manusia. Selama 25 tahun bernapas di dunia, aku selalu berpegang pada keyakinan 'Nggak perlu khawatir pada jodoh di masa depan, aku selalu percaya, Tuhan sudah menyiapkan jodoh terbaik untukku'.

Di saat semua kawan sejawatku telah dipinang oleh lelaki pilihannya, aku masih melangkah santai menikmati kebebasanku. Tak peduli ada yang pamer padaku tentang keluarga bahagianya. Bahkan di saat Bapak menerorku dengan pertanyaan; Kapan pacarmu itu melamarmu, Kak? Kalian sudah cukup umur untuk membina hubungan rumah tangga.

Aku tak peduli pandangan masyarakat awam tentang hidupku. Sekarang ini sudah memasuki jaman milenial di mana menikah muda bukan lagi pilihan satu-satunya. Jika dulu para wanita harus menikah di usia legalnya, kini mereka tak harus berpegang pada sebuah aturan tersirat itu.

Hello! Jaman sekarang wanita juga berhak menggapai mimpinya!

"Kamu kan udah putus sama Lana, Kak. Gimana kalau kamu nerima Akmal buat jadi suami kamu?"

Renunganku tentang perjalanan hidupku buyar berkat suara bariton Bapak. Aku menoleh sekilas hanya untuk melihat Bapak yang duduk di kursi tua yang ada di belakangku. Pembahasan ini sesungguhnya sangat memuakkan bagiku.

Bapak seolah tak pernah bosan mempertanyakan kesiapanku untuk menikah, bahkan di saat aku masih berpacaran dengan Maulana, mantan kekasih pertamaku. Namun jika aku menentang ucapan Bapak, aku akan merasa sangat bersalah.

"Gimana, Kak? Lagipula Akmal kan sepupu jauh kamu. Nggak sedarah pula. Kamu bakal bahagia sama dia."

Bapak menjodohkanku layaknya aku seorang wanita penyandang nama Siti Nurbaya masa kini. Apa sebegitu tak lakunya aku? Aku kan baru saja putus dari pacar pertamaku. Tak mudah bagiku untuk move on.

"Biar aku pikir-pikir dulu, Pak. Aku kan baru empat bulan jomlo. Masa udah mikirin nikah aja," sanggahku.

Tatapanku kembali pada layar ponselku yang kini menampilkan potret sepasang pengantin yang baru saja menikah. Sial. Hal paling menyakitkan sekaligus menyebalkan adalah ketika kau mengetahui mantan yang masih sangat dicintai menikah dengan wanita lain. Dan wanita malang itu adalah aku.

Aku tahu move on adalah hak semua orang. Namun, aku tak menyangka si berengsek yang sialnya masih aku cintai, bisa cepat mendapat penggantiku. Meninggalkan aku yang masih diam menikmati kecemburuan yang kuciptakan sendiri.

"Bapak tinggal dulu," Bapak menepuk pelan bahuku, "dan jangan ngelihatin suami orang. Pamali."

Sial dobel tripel! Aku lupa Bapak ini orangnya jail. Bahkan aku tak menyadari Bapak sejak tadi melihat aktivitasku melihat Instagram Maulana. Ketika Bapak sudah menghilang dari balik pintu, aku kembali menekuni aktivitas bodohku. Melihat betapa bahagianya sosok yang sudah menemani hari-hariku selama satu setengah tahun ini.

"Ternyata sakit juga ya ngejagain jodoh orang?"

Tanpa sadar air mataku meluruh, menangisi kebodohanku yang tak bisa berpaling dari potret mantan kekasihku dengan istrinya.

"Bukannya aku yang dulu bilang bosan, tapi kenapa kamu yang cepet move on?"

***

'Kapan nikah, Thiya?'

'Udah pantes tuh gendong anak. Nikah gih!'

'Temen SMA-mu aja udah pada punya anak. Kamu kapan?'

Jika saja aku tak memiliki stok kesabaran, mungkin saja aku sudah melempari para pemilik mulut pedas yang sering membuat kupingku panas dengan spatula yang ada di tanganku.  Jelas saja beberapa temanku sudah memiliki anak. Mereka saja menikah saat baru lulus SMA.

"Enaknya nikah muda emang apa, sih? Hidup nggak akan bebas kayak sekarang."

Bunyi percikan minyak melengkapi setiap gerutuanku. Tanganku masih membolak-balikkan ikan gurame yang sudah berwarna kuning keemasan. Hari ini akan ada tamu yang datang. Kata Bapak sih, sepupu tak sedarah yang akan dijodohkan denganku. Tapi aku sama sekali tak berminat.

Aku hanya akan setor wajah sebagai bentuk kehadiranku dan menganggap pertemuan keluarga ini hanya angin lalu. Kata Bapak sih, lelaki yang akan dijodohkan denganku lumayan tampan. Kami memang hanya pernah bertemu dua kali. Itu pun saat kami masih duduk di bangku TK.

"Kak, itu Kak Akmal sama keluarganya udah dateng. Cepetan ikan gorengnya disiapin."

Suara adik perempuanku menghentikan aktivitasku. Mengangguk singkat, aku segera mengangkat ikan gurame itu, lalu meniriskan sebentar sebelum aku hidangkan di atas piring.

"Andai aja aku nggak putus sama kamu, Lan."

Jika saja kata 'bosan' tak meluncur dari bibirku saat itu, mungkin saja aku masih bisa bebas menikmati romansa cintaku bersama Lana. Tak kusangka setelah putus beberapa hari, aku merasa kehilangan. Yang aku sesalkan, lelaki yang dulu bersikeras tak ingin putus dariku, kini malah sudah menikah dengan wanita lain.

***

Calon suami yang akan dijodohkan denganku memiliki paras yang biasa saja. Sebuah kacamata membingkai mata bulatnya. Rambutnya tampak rapi walau ada sedikit sentuhan warna blonde. Dalam hati aku berdecih, meremehkan sosok lelaki yang tampak kalem di hadapan kami.

"Ini Akmal, Kak. Kamu masih inget dia, 'kan? Kalian pernah ketemu pas arisan keluarga 16 tahunan yang lalu."

Mana mungkin aku mengingat pertemuan bertahun-tahun lalu. Acara itu saja berlangsung saat aku masih SD. Lagipula, aku tak yakin lelaki ini memang yang terbaik untukku.

"Maaf, Pak. Aku nggak inget. Kita kan sama-sama masih kecil," ucapku sopan.

Kulihat Akmal tersenyum tipis padaku. Kesan kedua setelah aku tahu wajahnya, aku bisa menilai ia adalah lelaki yang sopan. Namun aku tak akan percaya begitu saja. Bisa saja aku langsung menolak perjodohan ini. Namun aku masih memikirkan Bapak.

"Udahlah, Kak. Terima aja. Lumayan juga tuh, walau nggak seputih Jaemin sama Sehun-mu," bisik Lyn, adik perempuanku.

Sial. Kenapa Lyn membawa kedua bias-ku ke dalam urusan sepenting ini?

Kulirik sinis Lyn yang tersenyum jail padaku. Kebetulan kami sedang duduk berdampingan. Bahkan saat dia berbisik padaku pun tak akan ada orang yang mendengar.

"Koleksi poster anime-mu mau Kakak bakar? Atau kamu mau Syahid tahu kamu punya pacar lain selain dia?"

Lyn tersenyum masam padaku. Dan melihat reaksinya sukses membuatku menyunggingkan senyum puas. Biar saja, sekali-kali adikku harus dibuat bungkam dengan kejahilannya sendiri.

Setelahnya, kami pun kembali fokus membicarakan perihal perjodohan sembari menikmati hidangan yang sudah aku masak bersama Lyn. Aku belum bisa memberi keputusan atas perjodohan ini, walau Akmal sudah menyetujuinya.

***

Foto Kai EXO yang memperlihatkan ABS-nya terpampang di layar ponselku. Aku baru saja selesai dengan aktivitasku men-stalk beberapa akun idol, fanbase, maupun fansite favoritku. Rasa lelah menghadapi beban pikiranku sedikit terbayarkan. Jika saja lelaki yang dijodohkan oleh Bapakku setampan Suga BTS pun, aku tak akan berpikir dua kali untuk menolak. Namun sayangnya, hidup di dunia nyata tak seindah seperti yang ada di khayalan seorang Kpopers sepertiku.

Ting!

Sebuah pesan Whatsapp berhasil membuat lamunanku buyar. Mata bulatku menyipit saat mendapati nomor asing terpampang pada layar ponselku.

From:

+6285675435799: Hai, Thiya. Maaf ini dari Akmal. Aku dapet nomor WA kamu dari Lyn.

Seperti ada asap yang keluar dari kepalaku, rasanya aku ingin melempari adikku dengan puluhan koleksi novelku. Sesungguhnya aku malas menjalin hubungan dengan orang baru. Hati ini memang masih seutuhnya untuk mantan kekasih. Namun aku akan menjadi orang jahat jika mengabaikan pesan Akmal.

"Oh iya ... kenapa ya, Akmal?" dikteku sembari mengetik balasan untuk Akmal.

Sembari menunggu balasan dari Akmal, aku kembali membuka akun Instagramku hanya untuk men-scroll postingan beberapa fanbase yang aku follow.

From:

+6285675435799: Kita kan harus saling kenal. Barangkali kita cocok. Lagian aku sudah bosen pacaran mulu. Pengin cari pendamping seumur hidup.

Aku tersenyum tipis. Jemariku menekan tombol home pada layar ponselku. Terlalu enggan bagiku untuk membalas pesan lelaki itu. Kami memang sudah pernah bertemu, tapi suasana canggung masih kental terasa untuk memulai sebuah hubungan. Lagipula kami dipertemukan kembali hanya karena sebuah rencana perjodohan. Bisa saja ketika aku menerima Akmal, lelaki itu akan berubah pikiran.

***

Pada akhirnya kami memang saling bertukar pesan. Hanya saja tanpa sepengetahuan Akmal, aku tak pernah menyimpan nomor Whatsapp-nya. Intensitas pertemuan kami pun masih bisa dihitung dengan jari.

Aku memang orang yang pendiam. Bahkan aku hanya memiliki tiga sahabat yang hingga kini setia mendukungku. Mungkin itulah sebabnya aku hanya pernah berpacaran satu kali dalam hidupku.

"Pak ... aku mau ngomong."

Mungkin ini adalah keputusan yang tepat. Aku sudah menggantungkan perasaan kedua belah keluarga selama satu bulan. Lagipula, aku tak mau lagi mendengar omongan miring tetangga tentang status single-ku yang selalu dipermasalahkan. Mungkin dengan keputusanku ini, semua akan berakhir bahagia.

"Kenapa, Kak?" tanya Bapak.

Kulihat Beliau sedang memberi makan sapinya. Aku melangkah pelan menghampiri Bapak seraya merapalkan doa karena hatiku sangat berdebar.

Aku mengembuskan napas pelan. "Aku mau dijodohin sama Akmal. Tapi aku punya syarat, Pak."

Raut wajah Bapak yang semula biasa saja berubah sumringah. Tanpa sadar aku mendengkus kasar. Jika bukan karena keadaan, aku tak akan mau menuruti keinginan Bapak. Kehidupan bebasku harus segera terenggut oleh sebuah ikatan suci pernikahan.

"Apa, Kak? Asal jangan aneh-aneh aja."

"Aku nggak mau cepet-cepet nikah, Pak. Aku pengin kenal lebih dekat dulu sama dia. Kalau emang kita cocok, pasti kita akan nikah."

Kulihat Bapak diam. Namun tak lama kemudian raut wajahnya berubah lega. Tangan Bapak menepuk pelan bahuku. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.

"Nggak apa-apa. Lagian, Bapak sama orang tuanya Akmal juga udah lama berniat ngejodohin kalian."

Aku tak percaya hidupku layaknya kisah Siti Nurbaya yang sering diceritakan guruku semasa sekolah. Namun nyatanya kisahku ini memang benar terjadi. Hanya saja aku tak akan menyamakan akhir kisah cintaku dengan tokoh itu. Aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai, bukan dengan keterpaksaan. Dan jika nantinya memang Akmal-lah yang menjadi jodoh terbaik yang diberikan Tuhan, aku akan menerimanya dengan senang hati.

"Tapi kalau nanti Akmal beneran jadi suami aku, aku harap dia nggak ngelarang aku buat nge-fangirl. Iya, 'kan, Pak?"

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top